Akhirnya, Saya ke Wakatobi!
“Gue yang mesti ke Wakatobi, ga boleh yang lain.” Begitu pesan yang saya kirimkan ke Tolenk alias Wisnu, sahabat saya yang juga koordinator penulis buku Smart City saat di awal penugasan.
“Give me one reason,” katanya. Mancing, padahal tanpa alasan pun saya tahu ia akan langsung mengabulkan permintaan saya ini.
“Gampang. Gue kan dah dua kali gagal ke sono ya. Naah, mesti gw ini sekarang yang pergi,” saya memberi alasan yang tak ada korelasinya dengan buku yang akan saya tulis.
Ya, sudah dua kali saya berniat ke Wakatobi tapi gagal. Kali pertama, saya tak mendapat izin untuk cuti, padahal saat itu saya dibiayai pemerintah Wakatobi bersama dengan 50 fotografer di Indonesia. Kali kedua, kawan-kawan komunitas traveler saya ke sana saat saya sedang backpacker di China. Ditinggal lah saya. Dan karena kawan traveler saya kebanyakan sudah datang ke sini, saya tak punya teman yang bisa diajak share cost ke Wakatobi.
Seperti dugaan saya di awal, saya lah yang kemudian ditugaskan ke Wakatobi. Dan Raja Ampat. Dan Morotai (seharusnya). Dan beberapa kota eksotis lainnya.
Kali ini, saya datang tak sendiri seperti penugasan tahun-tahun sebelumnya. Ada 3 orang dari ITB yang datang bersama saya. Mereka akan membimbing pembentukan masterplan smart city di Wakatobi, sementara tugas saya: jalan-jalan!
Hahaha…nggak deh, liputan.
Perjalanan Panjang ke Wakatobi
Untuk mencapai Wakatobi dari Jakarta tidaklah susah, tapi cukup lama dan melelahkan. Ya, dari Jakarta saya harus ke Kendari (transit di Makassar), lalu berganti pesawat ATR Wings Air menuju Wangi-Wangi, ibukota Wakatobi.
Ditambah lagi, saat itu PPKM Level 4 masih diberlakukan di mana-mana sehingga jadwal penerbangan Wings Air hanya ada dua kali seminggu. Ada bagusnya sih, saya jadi lebih lama di Wakatobi.
Baca Juga: Cara Menuju Wakatobi
Disambut Tarian
Begitu kaki mendarat di landas pacu Bandara Matohara, saya terkejut. Ada tarian penyambutan untuk kami. Dua baris penari wanita sudah berdiri di pintu depan kedatangan, bersiap melakukan tarian.
Ternyata oh ternyata, bukan kami yang disambut, melainkan rombongan staff ahli Menteri Pariwisata yang kebetulan satu pesawat dengan saya. Mereka datang untuk melihat Desa Wisata Loya Togo yang masuk dalam nominasi Anugerah Desa Wisata. Tapi lumayan lah, saya jadi bisa melihat tarian khas Wakatobi.
Soal tarian dan budaya ini, kawan saya selalu bilang saya ini “selalu tak sengaja beruntung”. Seringkali ketika berkunjung ke satu daerah, sedang ada tarian, perayaan, atau upacara di sana.
Seperti halnya ketika saya datang ke Toraja, ternyata ada upacara kematian besar-besaran yang membuat mereka harus merobohkan satu sekolah. Pun ketika saya iseng healing ke Ubud, ternyata ada upacara ngaben Raja Agung Peliatan di sana. Dan ajaibnya, saya datang tanpa tahu info ini sebelumnya.
Hanya Lima Hari
Saya berada di Wakatobi selama 5 hari. Cukup singkat memang, karena saya punya tugas lain setelahnya di Konawe Selatan dan tak memungkinkan untuk memperpanjang kunjungan saya di Wakatobi.
Selama 5 hari itu, walau agak terburu-buru, saya sempat naik motor berkeliling ke objek wisata serta perajin di Wangi-Wangi, Kaledupa, dan Tomia. Saya juga sempat merasakan ganasnya ombak laut Wakatobi, pisang goreng yang entah kenapa enak sekali, cafe pinggir pantai dengan suasana menarik namun hanya menyediakan pop ice sachet, makan anggur laut pertama kalinya dan berbagai hal menarik lainnya.
Sayangnya, karena disambi tugas peliputan dan wawancara serta ada miskomunikasi dengan yang mengantar saya, ada beberapa hal yang luput saya lakukan. Misalnya saja, saya belum diving di sana, bahkan berenang pun tidak. Yaa, say it. Di Wakatobi yang terkenal sebagai surga bawah laut, saya nggak diving.
Dan satu hal lagi yang belum saya lakukan: dolphin watching alias melihat lumba-lumba berloncatan di sekitar perahu sambil menikmati sunrise.
Ok, Wakatobi. Saya akan kembali….kapan-kapan.
Sementara saya belum kembali, yuk cek cerita perjalanan saya selama di sana.
One Comment
Pingback: