Permintaan Saya Sederhana: Bawa Saya ke Sumba Bersama Teman Hidup Traveloka
Kisah Sangkuriang dan Bandung Bandawasa memang berakhir tak bahagia. Permintaan perahu yang susah payah dikerjakan Sangkuriang gagal terpenuhi berkat kecerdasan Dayang Sumbi, seribu candi yang hampir jadi gagal terbangun karena kepiawaian pikiran Roro Jonggrang.
Namun tak seperti dua legenda di atas, cerita asal muasal Tanah Sumba berakhir bahagia layaknya kisah permintaan Alladin kepada jin penghuni lampu ajaib.
Alkisah, dulu kala ada seorang pria bernama Umbu Walu Manoku yang mendarat di sebuah pulau tak berpenghuni di utara Indonesia. Ia datang ke pulau itu bersama istrinya yang bernama Humba.
Umba Manoku amat mencintai istrinya itu sehingga permintaan istrinya untuk diabadikan sebagai nama pulau langsung dikabulkan. Jadilah pulau yang mereka tinggali itu disebut Pulau Humba. Lambat laun, karena pengucapan, nama Humba dilafazkan menjadi Sumba.
Ya, Sumba, sebuah pulau indah yang membuat siapa saja ingin melihatnya. Yang membuat saya dua kali mengajukan permintaan untuk diajak ke sana.
Perkenalan Pertama dengan Sumba
Saya mengenal nama Sumba pertama kali lewat Gery, teman yang duduk di depan saya di sekolah dasar. Bocah berkulit hitam yang suka tertawa, menampilkan gigi putihnya yang kontras dengan warna kulitnya yang legam.
Walaupun kerap di-bully karena logatnya yang berbeda dari kami, Gery tetap dengan semangat menceritakan soal tanah kelahirannya. Katanya, ia menjadi hitam karena sejak kecil suka berkuda bersama kawan-kawannya di bukit-bukit rumput dekat rumahnya. Bahkan ke sekolah pun ia selalu berkuda.
“Kamu tahu, tak ada yang naik sepeda dan becak di sana. Semuanya berkuda,” katanya bangga.
Mendengar itu, kami yang tiap hari ke sekolah naik sepeda atau becak–-dan hanya pernah lihat kuda di Ragunan–-cuma bisa bengong sambil membayangkan bagaimana rupa Sumba. Kami bahkan tak tahu di mana letaknya dan sejauh apa dari Jakarta. Maklum, kami hanya anak Jakarta yang kunjungannya seputar Jawa dan Bali saja.
Langsung saya mengajukan permintaan ke Gery,”Ajak dong saya ke Sumba!”
Diingatkan Kembali akan Sumba
Gery hanya setahun bersekolah di tempat saya, kemudian ia pindah sekolah tak tahu ke mana. Saya pun lupa dengan permintaan saya ke Sumba.
Adalah Yori Antar, arsitek kawakan yang kemudian mengingatkan saya akan Sumba. Kala itu, kami sedang mengunjungi Wae Rebo dan membicarakan kampung adat lainnya di Indonesia. Setelah berhasil merestorasi Wae Rebo, ia ternyata sedang diminta untuk merestorasi Kampung Adat Ratenggaro di Sumba Barat.
Ia memamerkan foto yang ia punya: sebuah kampung dengan 11 rumah adat yang atapnya menjulang tinggi. Di depannya ada danau, pantai, dan banyak kuda liar yang berlarian.
Saya langsung teringat akan Gery dan kudanya. Sejak itu, saya bertekad ingin ke Sumba. Dan lagi-lagi mengajukan permintaan kepada Yori: “Pak, kapan-kapan saya diajak ke sana, ya?”
Hingga kini, tekad itu belum terlaksana. Yaa…mungkin belum saatnya permintaan saya terwujudkan. Di saat semua kawan traveler saya akan ke Sumba, saya sedang menyelesaikan ujian semester magister. Di saat ada tawaran gratis ke Sumba dari salah satu perusahaan, saya sedang berada di luar Indonesia. Ah…
Bawalah Saya ke Sumba, Negeri Seribu Wisata
Saya menjuluki Sumba negeri seribu wisata karena banyaknya destinasi yang ada. Sumba yang saya dengar dari Geri dan Yori Antar hanya secuil dari Sumba sebenarnya. Banyak hal lain yang menarik di Sumba. Mulai dari budaya yang kaya, sejarah yang sarat makna, kampung adat yang masih dipertahankan hingga sekarang, hingga alam Sumba yang luar biasa menyejukkan mata.
Dua atau tiga hari tak akan cukup untuk mendatangi semuanya, tapi jika harus memilih, ini yang akan saya datangi.
Kampung Adat Ratanggaro
Inilah kampung adat yang diperlihatkan Yori Antar kepada saya. Kampung yang letaknya di Sumba Barat terdiri dari rumah-rumah yang disebut Uma Kelada.
Sekilas, rumah ini mengingatkan saya dengan rumah adat Wae Rebo, namun berbeda di bentuk atap. Jika atap Wae Rebo berbentuk seperti kerucut, atap rumah ini menjulang dengan tinggi sekitar 15 – 20 meter. Konon, tinggi atap tersebut menampilkan status sosial sang empunya rumah; makin tinggi rumahnya, makin tinggi status sosialnya.
Seperti halnya Wae Rebo yang mampu membuat saya tinggal di sana selama 3 hari, saya membayangkan akan betah berlama-lama di kampung ini, menikmati sejengkal demi sejengkal rumah adatnya, bermain bersama anak-anak dan berdiskusi seru dengan kepala kampungnya.
Bukit Wairinding
Bukit inilah yang (saya duga) diceritakan Gery kepada saya dan kawan-kawan. Hamparan perbukitan berundak-undak yang ada di Desa Pambota Jara, Kecamatan Pandawai. Di tempat inilah anak-anak-anak Sumba sering bermain atau menggembala hewan ternak seperti kuda dan domba.
Dari yang saya baca, ada dua cara untuk menikmati kawasan ini, yaitu datang pagi-pagi buta untuk menyaksikan matahari terbit atau sore hari sampai langit berubah menjadi jingga dan matahari terbenam dari balik bukit. Katanya indah, seperti lukisan.
Ketika musim hujan, hamparan perbukitan akan berwarna hijau menyejukkan, namun jika datang ketika musim kemarau, akan tampak seperti savana Afrika. Hmmm…rasanya saya akan sulit memilih datang saat kemarau atau musim hujan, karena bagi saya, semuanya tampak indah.
Pantai Walakiri
Pantai Walakiri ini terkenal dengan pohon mangrove “menari”. Apalagi saat matahari terbenam, siluet pohon menari ini membuat kesan romantis lebih terasa. Selain pohon-pohon yang kerap menjadi spot foto, pantai ini juga terkenal dengan pasir putihnya yang halus serta lautnya yang bening dan berwarna hijau tosca.
Danau Weekuri
Nama Weekuri berasal dari bahasa Sumba berarti air percikan. Sebutan ini tercipta karena danau ini terbentuk dari percikan air laut yang menembus batu karang sehingga membentuk laguna tersendiri. Saya membayangkan menyaksikan hempasan gelombang laut yang memecah karang, buih-buihnya menerobos terowongan dan sela-sela karang membentuk danau nan hijau.
Menurut informasi, di danau ini pengunjung bisa berenang sepuas-puasnya. Warga juga menyiapkan ban mobil untuk mereka yang belum mahir berenang tanpa mematok harga.
Pantai Bawana
Pantai Bawana atau Bwana ini bisa dibilang salah satu surga tersembunyi yang ada di sisi barat Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Sumba Barat Daya. Di tengah hamparan pasir putih dan debur ombak yang mengikis pantai, berdiri kokoh tebing karang setinggi kurang lebih 6 meter dengan lubang besar di tengahnya.
Hmmm…..Saya jadi membayangkan duduk di sana, sambil menikmati sunset yang menerobos dari sela-sela lubang.
Festival Pasola, Cerita Cinta Lain dari Sumba
Bagi masyarakat Sumba, kuda adalah harta yang ternilai harganya. Seperti Gery, yang amat bangganya menceritakan soal kudanya kepada kami, kawan sekolahnya. Kuda bukan hanya tunggangan masyarakat, tapi kuda sudah bagian dari budaya Sumba.
Adalah Pasola, salah satu budaya ketangkasan kuda yang masih dipertahankan hingga sekarang, yang berasal dari legenda kuat tentang cinta dan pengorbanan.
Menurut legenda, di Kampung Waiwuang hidup kepala kampung bernama Ubu Dulla bersama sang istri, Rabbu Kabba. Suatu ketika, Ubu Dulla mengembara ke luar kampung mencari solusi bagi warganya yang tengah dilanda kelaparan.
Bertahun-tahun mengembara Ubu Dulla tak kembali sehingga semua mengira ia sudah meninggal. Sang istri, yang telah diangkat menjadi kepala kampung, akhirnya menikah lagi dengan Teda Gaiparona.
Singkat cerita, Ubu Dulla akhirnya pulang dan terkejut mendapatkan istrinya sudah menikah lagi. Ubu Dulla mengumpulkan pasukan untuk menyerang Teda Gaiparona.
Untuk mencegah peperangan dan jatuhnya korban jiwa , Rabbu Kabba akhirnya mengorbankan diri, menceburkan dirinya ke laut. Masyarakat percaya, jiwa Rabbu Kabba berubah menjadi nyale, cacing laut yang muncul di saat-saat tertentu saja.
Karena itu lah, Pasola diawali dari pelaksanaan pencarian nyale. Apabila Nyale yang ada terlihat gemuk, sehat, serta berwarna-warni, maka dipercaya tahun tersebut akan mendapatkan banyak kebaikan. Begitupun dengan sebaliknya, jika nyale kurus dan tidak sehat, maka ini akan mendatangkan malapetaka. Festival Pasola baru akan dilaksanakan jika Nyale muncul.
Pasola melibatkan beberapa kelompok yang bertanding dengan menggunakan tombak dan kuda. Setiap kelompok terdiri atas 100 orang yang saling melempar lembing kayu sambil menunggang kuda.
Konon, pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.
Saya membayangkan derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya. Juga pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang. Ah, saya mau ke Sumba…
Traveloka, Teman Hidup Merencanakan Perjalanan ke Sumba
Bagi pejalan seperti saya, Traveloka memang lebih dari sekadar #temanhidup yang enak diajak “jalan bersama”. Traveloka sudah setia menemani saya menggapai cita-cita untuk melihat dunia dan menjelajahi Indonesia.
Booking hotel, pesan tiket pesawat, saya lakukan lewat Traveloka. Harganya bersaing, apalagi jika ada promo-promo yang memang selalu ada. Bahkan jemputan ke airport, sewa mobil, beli asuransi perjalanan, hingga atraksi wisata pun saya beli di sana.
Bagaimana dengan perjalanan ke Sumba?
Layaknya Roma, Banyak Cara Menuju Sumba
Saat Gery datang ke Jakarta, Sumba masih daerah yang sulit dijangkau. Kini, akses ke Sumba sangatlah mudah. Dari Jakarta memang tidak ada penerbangan langsung ke Sumba, melainkan harus transit terlebih dahulu di Denpasar, Bali atau di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Penerbangan ke Denpasar dari Jakarta dapat ditempuh selama 1 jam 50 menit, sedangkan dari Jakarta ke Kupang ditempuh selama 3 jam. Sementara penerbangan dari Denpasar ke Sumba atau Kupang ke Sumba ditempuh dengan waktu sekitar 50-60 menit, tergantung jenis pesawatnya.
Cukup banyak pilihan maskapai yang melayani jalur ini. Sriwijaya Air dan Nam Air; Lion Air, Batik Air, Super Jet dan Wings Air, serta Garuda Indonesia memiliki penerbangan lanjutan dari Jakarta-Bali-Sumba atau Jakarta-Kupang-Sumba.
Di Sumba sendiri, ada dua bandara, yakni Waingapu dan Waikabubak (Tambolaka). Waingapu berada di Sumba Timur, sedangkan Tambolaka berada di Sumba Barat Daya.
Kalau mengintip di TRAVELOKA, saat ini kisaran harga untuk Jakarta-Waingapu di Bulan November sekitar 2,5 juta-3,7 juta rupiah sekali jalan, sementara harga tiket Jakarta-Waikabubak (Tambolaka) sekitar 1,8 juta-3,3 juta rupiah sekali jalan.
Bandara mana yang harus dipilih, akan menentukan rute dan pilihan penginapan. Jika memilih mendarat di Tambaloka, Kampung adat Ratenggaro, Pantai Bawana bisa dipilih untuk dijelajahi lebih dahulu.
Sementara jika mendarat di Waingapu, objek-objek wisata di Sumba Timur–seperti savana Bukit Wairinding dan Pantai Walakiri bisa menjadi pilihan pertama untuk disambangi.
Untuk menghemat waktu, beberapa kawan yang sudah datang ke sana menyarankan untuk mengambil pilihan ini: mendarat dan terbang di bandara yang berbeda.
Dari Mewah Hingga Sederhana, Banyak Pilihan Hotel di Sumba Lewat Traveloka
Tak usah bingung jika ingin ke Sumba. Coba intip Traveloka Hotel, di sana akan ditemukan belasan penginapan di Tambolaka dan Waingapu. Mulai dari penginapan sederhana seharga dua ratus ribu rupiah hingga resor mewah seharga jutaan rupiah per malamnya ada di sana.
Nah, saat memilih hotel, saya biasanya melihat review dari yang pernah menginap di sana, lokasi, fasilitas, dan tentu saja, harga yang sesuai kantong saya. Untungnya di Traveloka, saya dengan mudah bisa melihat review, lokasi, atraksi terdekat dari penginapan, foto penginapan, dan tentunya harga.
Supaya lebih mudah, saya selalu menggunakan fitur “sort result” dan memilih review score. Pada situs, fitur ini ada di sebelah kiri, sementara di aplikasi, fitur ini ada di bagian bawah. Dengan begini, saya bisa memilih hotel dengan review tertinggi.
Kadang, saya gunakan filter juga untuk menentukan range harga dan lokasi yang saya inginkan. Misalnya di Sumba ini, saya memilih menggunakan filter free cancelation, karena saya tipe pejalan yang impulsif, yang tiba-tiba suka mengganti destinasi atau memperlama kunjungan di suatu daerah hanya karena saya suka suasananya.
Setelah keluar hasilnya, saya akan mengecek satu-satu review tiap hotel yang saya taksir. Review ini bagi saya penting, karena diberikan jujur oleh orang yang menginap di sana, sehingga saya dapat gambaran kondisi real penginapan yang saya taksir.
Nah, dari semua hotel yang saya lihat di Traveloka, beberapa hotel ini menarik minat saya karena sesuai dengan bujet, lokasinya strategis, dan review=nya bagus.
Hotel Pasola Sumba
Kalau melihat review di Traveloka, hotel ini punya rating yang cukup tinggi: 8.5. Harganya juga masih terjangkau oleh saya, 325 ribu rupiah per malamnya untuk kamar superior double. Lokasinya juga cukup strategis, hanya sekitar 400 meter dari Bandara Tambolaka.
Hotel ini tidak menyediakan sarapan, tapi tampaknya tak perlu khawatir karena di sekelilingnya banyak restoran dan tempat makan yang buka di pagi hari.
Padadita Beach Hotel
Hotel di Waingapu ini punya rating cukup bagus di Traveloka: 8.6 dari 700 review. Rasanya ini akan jadi pilihan pertama saya ketika menginap di Waingapu. Harganya juga masih masuk ke bujet saya, sekitar 425.000 rupiah per malamnya.
Hotel ini punya kolam renang di pinggir pantai, area piknik dan barbeku outdoor yang rasanya akan menyenangkan untuk dinikmati sambil melihat matahari turun dari peraduannya.
Kambaniru Beach Hotel and Resort
Walaupun sedikit di luar bujet, saya tetap memasukkan hotel ini sebagai salah satu list hotel di Sumba. Siapa tahu, semesta mendukung dan saya bisa menginap di sana.
Hotel ini tergolong hotel baru yang sangat disukai karena bersih, lokasinya strategis, punya fasilitas lengkap seperti kolam renang di pinggir pantai, restoran dengan view bagus, serta desain hotel yang sangat kekinian dan instagramable. Dan yang paling pentiing buat saya….harganya tak semahal resor lain di Waingapu.
Lelewatu Resort Sumba
Tentu saja, ini jauh dari kemampuan anggaran saya. Tapi kalau Alladin saja boleh berkhayal menikahi Putri Jasmin, saya bisa juga bermimpi menginap di resor mewah ini.
Resor ini punya fasilitas kelas atas yang memanjakan para wisatawan. Lokasinya menghadap pantai lepas, menyajikan pemandangan yang luar biasa dari balkonnya, bahkan dari dalam kamarnya. Kalau mengintip review dari para pengunjung, nih, mereka mengatakan hotel ini cocok bagi yang datang bersama teman hidupnya, karena romantis dan tenang.
Kamar-kamarnya berbentuk villa privat, dengan gaya arsitektur tropis khas Sumba, terlihat asri di antara pohon-pohon yang memang dibiarkan tumbuh alami. Harganya? mulai dari 6 jutaan saja per villa.
Fitur Guide Traveloka, Harta Karun Buat Saya
Bak Alladin yang menemukan lampu ajaib dengan tidak sengaja atau Alibaba yang menemukan harta karun yang di sebuah gua, saya menemukan fitur guide di Traveloka ini dengan tidak sengaja, ketika sedang mencari tiket ke Pulau Sumba.
Ternyata, dengan fitur guide di Traveloka ini, saya bisa “dibawa” ke Sumba dengan mudah. Tinggal cari FITUR GUIDE di bagian bawah webiste/aplikasi/mobile site, geser ke kanan atau klik salah satu kota mana saja, lalu pilihlah Sumba.
Akan muncuk panduan soal Sumba di sana, mulai dari transportasi, kuliner, penginapan, tiket pesawat, hingga tips travel ke Sumba.
Ah, melihat ini semua, tak sabar rasanya ingin segera mengepak koper dan berangkat ke Sumba. Saya siap #LIHATDUNIALAGI bareng Traveloka.
****
“Yuk ‘#LihatDuniaLagi dan bikin #StaycationJadi’ dengan Traveloka! Langsung meluncur ke Traveloka lewat link ini: https://trv.lk/kompetisi-lihatdunialagi-bloggerperempuan“