Solo Travelling To Uzbekistan: Its Fifteen or Fifty?
Lapangan terbang Islam Karimov muncul di depan mata. Saya mengucap syukur dalam hati berkali-kali, karena akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di negara ini. Negara yang selalu ada dalam mimpi saya: Uzbekistan.
Saya sudah bersiap bertepuk tangan, seperti halnya yang dilakukan di Azerbaijan. Namun ternyata di sini tak ada tepukan tangan ketika pilot mendaratkan pesawat dengan selamat. Semuanya hanya mengucap syukur dan mengusapkan tangan ke muka. Sama dengan Indonesia.
Baca Juga: Pengalaman Naik Buta Airways ke Tbilisi
Begitu keluar dari bandara, para supir taksi langsung menghampiri saya, menawarkan jasa pengantaran ke penginapan di kota. Jarak bandara ke kota Tashkent tak jauh, hanya 25 km. Hanya butuh waktu setengah jam menuju ke kota.
Namun, tak ada taksi resmi di kota ini. Semua mobil bisa jadi taksi di sini, bahkan mobil milik pribadi sekalipun. Ya, kita bisa menyetop mobil di jalan dan menanyakan apakah dia bersedia mengantar ke tempat yang kita tuju. Kalau searah dan sepakat soal harga, tinggal naik. Syaratnya, ya mesti bisa berbahasa Uzbek,
Sebenarnya ada Yandex, aplikasi taksi online asal Rusia yang bisa dipakai sebagai alternatif. Layaknya taksi online di Indonesia, harga taksi online ini jauh lebih murah daripada taksi biasa. Lebih terjamin harga dan keberadaannya pula.
Sayangnya, saat tiba di bandara, saya tak punya jaringan internet. Penjual sim card satu-satunya di bandara sedang tak punya stok, sementara jaringan wifi tak ada di bandara ini.
“Sixty to city, miss,” teriak salah satu pengemudi.
“Forthy,” teriak yang lainnya.
Akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada salah satu pengemudi tua berkopiah khas Uzbek, yang berteriak “fifteen“.
“Gunaydin,” sapa pengemudi taksi ini dalam bahasa Turki. Saya cuma tersenyum dan membalasnya dengan ucapan terima kasih. Dia mengira saya orang Turki. Wajar, karena jarang orang Indonesia yang datang ke sini seorang diri seperti saya. Rata-rata yang datang adalah rombongan tur yang berziarah sepulang umroh. Saya mungkin anomali.
Seperti halnya mayoritas masyarakat Uzbekistan, pengemudi taksi ini tak bisa berbahasa Inggris. Dia hanya bisa berbahasa Uzbek dan Rusia, dua bahasa yang jamak digunakan di Uzbekistan. Namun ia mengerti sedikit bahasa Turki karena memang kedua bahasa ini berasal dari akar rumpun bahasa yang sama: Turkic Languange.
Uzbekistan, Azerbaijan, dan beberapa negara Asia Tengah lainnya, termasuk ke dalam Turkic Etnic, sehingga bahasa yang digunakan di negara-negara tersebut agak mirip dan memiliki beberapa kosa kata yang sama. Seperti halnya bahasa Malaysia, Brunei dan Indonesia yang berasal dari rumpun bahasa Melayu.
Setengah jam kemudian saya sampai di hostel. Art Hostel, yang direkomendasikan banyak backpacker dunia karena letaknya yang strategis, murah, dan bersih. Saya segera memberikan uang 100ribu som, dan si bapak tua berkopiah khas Uzbek hanya mengembalikannya 50 ribu som. Saya protes.
“Your money. Hundred. And Fifteen,” katanya sambil menunjuk uang lima seratus ribuan yang saya berikan dan lima puluhan kembalian.
“No, you should give me 35.000 more,” kata saya sambil menulis di kalkulator handphone.
Percebatan alot terus terjadi dalam dua bahasa. Saya pakai bahasa Indonesia, karena toh dia tak mengerti juga bahasa Inggris, dan sang supir menggunakan bahasa Uzbekistan. Hingga akhirnya saya sadar, terjadi miskomunikasi antara saya dan si bapak. “Fifteen” versi si bapak adalah 50.000 sementara fifteen versi saya adalah 15.000.
Oalah…. sejak saat itu, setiap mau naik taksi di Uzbek, saya selalu memastikan “Fifteen or fifty? Thirteen or thirty? Fourteen or fourty?”
Baca Juga: Solo Backpacking ke Georgia: Antara Diwan Hotel, Indomie, dan Pasta Italia
One Comment
Pingback: