Antara Legenda Naga dan Lukisan Kulit Kayu Kampung Asei Jayapura

Alkisah, di zaman dahulu kala, beberapa penduduk purba dari wilayah Papua Nugini melakukan perjalanan panjang dengan mengendarai seekor naga. Mereka mencari area baru untuk ditempati dan berencana menetap di sana. Malangnya, naga yang mereka kendarai tidak mampu terbang lebih jauh dan akhirnya jatuh dan mati di sebuah danau besar—Danau Sentani.
Para penunggang naga yang selamat berusaha bertahan dan hidup di atas tubuh naga. Konon, lama-kelamaan bagian-bagian tubuh naga itu mengeras dan berubah menjadi pulau-pulau. Kepala naga menjadi pulau di sisi timur danau, bagian ekornya menjadi pulau di sisi barat, dan tubuhnya menjadi pulau di bagian tengah.
Legenda tentang naga Danau Sentani dan asal usul penduduk yang menempati pulau-pulau di sekitarnya ini masih turun temurun diceritakan para tetua di Danau Sentani. Termasuk di Pulau Asei, pulau yang konon tercipta dari tubuh naga.


Lukisan Kulit Kayu di Asei
Pulau Asei terkenal sebagai penghasil kerajinan lukisan di atas kulit pohon Khombhow. Para wisatawan yang datang berkunjung bisa membeli lukisan ini sekaligus melihat proses pembuatannya. Malo, begitu masyarakat setempat menyebut lukisan kulit kayu itu.
Lukisan Malo inilah yang membawa saya dan beberapa orang dari tim Smart City Kominfo mengunjungi pulau yang termasuk ke dalam Distrik Sentani Timur ini. Kami menaiki perahu pinjaman dari Dinas Perhubungan Kab. Jayapura dari Demaga Khalkote, dermaga yang biasa digunakan untuk Festival Danau Sentani. Hanya butuh waktu 5 menit.
Disambut Babi
Begitu turun dari perahu, kami disambut babi. Ya, babi lengkap dengan suara ngok-ngok-nya. Memang, seperti banyak daerah di Indonesia Timur, di sini babi adalah hewan peliharaan layaknya kucing dan anjing. Mereka berkeliaran bebas di seantero pulau. Untunglah saya sudah mafhum, berkali-kali mengalami hal ini, sehingga saya tak kaget lagi.
Tak jauh dari dermaga tempat perahu bertambat, akan terlihat deretan penjual lukisan kulit kayu yang menjajakan karyanya di bawah pohon. Dengan ramah mereka menawarkan lukisan kayunya kepada kami. Salah satunya adalah anak dari Mama Corry, yang dengan aktif mengajak kami melihat Malo buatan ibunya.
Malo milik Mama Corry dijual dengan harga mulai dari 150 ribu—1,5 juta rupiah, tergantung ukurannya. Saya yang awalnya hanya ingin mengantar kawan, malah tergoda membeli dua lukisan dengan harga 250 ribu rupiah per lukisannya. Harga yang jauh lebih murah kalau dibanding harga di toko souvenir di pusat Kota Jayapura.


Baca Juga: Kampung Yaboi, Kampung Sagu Warna Warni di Sentani
Warisan Turun Temurun
Mama Corry mengaku diajarkan cara melukis kayu ini oleh orang tuanya sejak ia duduk di bangku sekolah. Dan menurutnya, hingga saat ini keterampilan melukis di atas kulit kayu ini masih terus dilestarikan. Anak-anak Kampung Asei sedari dini diwajibkan mempelajari keterampilan ini.
Lukisan ini dilukis di atas kulit pohon dengan menggunakan perwarna tradisional yang berasal dari pigmen tumbuhan, arang, tanah liat dan kapur sirih. Motifnya bermacam-macam, mulai dari fauna dan flora yang ada di Sentani, motif geometris, perahu, hingga simbol-simbol keondoafian (simbol kerajaan).
Mama Corry mengatakan kalau lukisan di atas kulit kayu ini bisa bertahan hingga bertahun-tahun dan tak mudah using dimakan usia. Bahkan sudah ada yang berusia ratusan tahun. Lukisan ini juga dipamerkan di Musee d’Ethnographie du Trocadero, sebuah museum terkenal di Paris yang memamerkan karya seni antropologi dari berbagai belahan dunia.
Sebenarnya, di kampung ini kita juga bisa melihat banyak hal lain, misalnya saja ikutan workshop melukis, atau melihat langsung proses pengulitan pohon Khombhow. Sayangnya, saya terlampau sore ke sana dan harus pulang segera ke Kota Jayapura.
Ah, semoga lain kali saya bisa kembali ke Sentani dan menikmati kampung lainnya.

26 Comments
Dede Abdurahman
Ahh ini sih juara banget mbak, bisa menikmati dan melihat karya karya kreatif mama mama papua. Saya sangat suka kerajinan dan hal-hal yang berbau khas daerah hehehe
Helena
Whoaaa lukisan di kulit kayu pakai bahan alami, cantiknyaaa!
seberapa banyak wisatawan ke sana, mbak? lapaknya sederhana banget padahal karya seni ini berharga. Aku baca sambil mikir ini mereka sedang semacam bazar sampingan atau memang jadi pekerjaan utama untuk berjualan malo?
Fenni Bungsu
ciamik skill nya bisa melukis seperti ini, karena belum tentu banyak orang yang bisa melakukannya, salah satunya adalah daku. semoga keterampilan tersebut terus diturunkan ya ke generasi berikutnya
Lendyagassi
Dulu Bapak rahimahullah pernah ditugaskan ke Papua.
MashaAllaa.. ada beberapa hiasan juga masih menjadi kenangan di rumah kami.
Namun, lukisan kulit kayu seperti ini rasanya gak ada.. adanya lukisan di atas koteka.
Dan memang masyarakat adat Papua ini sangat ramah ramah sekalii..
Erin Friyana
Indonesia itu memang unik, punya cerita legenda yang masih melekat dari generasi ke generasi lainnya. Cerita naga juga ada di daerahku. Benar atau tidaknya masih menajdi misteri, tetapi aku suka mendengar cerita legenda.
Myra
Suami saya pernah bawain oleh-oleh lukisan kayu ketika ada tugas di Papua. Beneran tahan lama. Udah hampir 20 tahun dan kualitasnya masih bagus.
rahma ahmad
Anti air juga katanya. Dulu sempet khawatir bawa pulangnya gmn, takut kena air. Ternyata gpp
antung apriana
cantik sekali ya danaunya, mbak. memang papua ini merupakan salah satu surga di negara kita ya yang sayangnya malah mau dikeruk sumber daya alamnya oleh pihak tak bertanggung jawab
rahma ahmad
Semoga Sentani ini dan objek indah lainnya di Papua ga diganggu gugat alamnya
Aisyah Dian
wah saya malah baru tahu cerita danau Sentani ini baguss banget ternyata ya mbak pengen deh kesana kebetulan saya punya teman yang pernah kesana tapi cerita disambut babi ini diskip ceritanya tapi nggak papa deh tetap nggak mengurangi keinginan kesana
rahma ahmad
Tenang mbak, babinya jinak kok. Cuman bikin kaget aja dikit 😀
Leila
Bagus juga ya kalau generasi mudanya diwajibkan belajar. Soalnya supaya ada yang meneruskan punya keterampilan melukis kayu ini, kan. Jadi tradisi dan keindahannya nggak punah seiring dengan berjalannya waktu. Sayang sekali kalau sampai kejadian begitu.
Eni M
Indah banget ya budaya di Jayapura, unik banget deh itu lukisan kayunya, aku suka lihat di dinding-dinding majangnya. Dulu ada tetanggaku asal Sorong, pajangannya banyak khas Jayapura. Cuma aku bayangin disambut babi, pasti awalnya aku takut wkwkwk…mereka nyerang atau jinak ya?
rahma ahmad
Jinaak kak, tapi tetep takut aku siih, takut diseruduk.
Heni Hikmayani Fauzia
Lukisan di kulit kayu lebih awet ya kaak? itu ngelukisnya pakai apa kaa? Bagus yaa buat cenderamata…
rahma ahmad
katanya awet walau kena air. yang ga boleh terlalu sering kena matahari langsung nanti catnya rusak. Pakai pewarna alami dari daun, buah dll kak. ramah lingkungan ini lukisannya
Yayu Arundina
menarik juga ya jjs ke danau sentani. baru tahu ada lukisan kulit kayu. jadi pengen lihat lukisannya lebih jelas deh. Pelestarian lukisan kulit kayu ini moga terus disukai oleh generasi milenial. pengetahuan buhun yang gak boleh hilang, termasuk pohon kombhownya yah
rahma ahmad
Main ke rumahku kaak, kalau mau liat lukisannya. Udah kupajang di kamar
Yonal Regen
Kalau yang baru ke Asei kayanya bakal kaget banget kali ya disambut sama babi (lengkap dengan ngok ngok nya.. hehe), tapi kalau kita paham dengan perbedaan kebiasaan di tiap daerah Indonesia pastinya akan cepat menyesuaikan dan beradaptasi dengan kondisi seperti ini, asal tetap bisa saling menghormati, ya.
rahma ahmad
Betuul…kalau jalan-jalan pagi di daerah Indonesia Timur pasti ketemuan ama babi. Dulu kaget banget, lama-lama biasa liatnya.
eryka
Cantik2 lukisan di kulit kayunyaa…dan ini semua adalah hasil tangan penduduk pulau asei yaa…
Ini brarti jenis kulit kayunya juga spesial ya kak gak bisa asal? Hanya bisa dilukis di pohon Khumbhow sajakah?
Jadi penasaran dengan proses melukiskan dan bahan2 yang digunakan..sayangya kak sudah sore jadi tidak bisa melihat proses nya lebih detail
rahma ahmad
Katanya begitu, karena ga semua jenis kulit kayu bisa dilukis. Kalaupun bisa, ga bisa setahan lama pohon Khumbow ini.
Andiyani Achmad
Kaya banget ya budaya Papua. Aku jadi penasaran pengen lihat langsung lukisan kulit kayunya. Makasih Mba Rahma udah berbagi cerita dan legendanya, bikin aku makin pengen ke Jayapura!
Didik
keren2 lukisannyaa dan memiliki makna, filosofi tertentu. dari harganya sih menurut saya cukup terjangkau ya. kalau saya sih mau yg ukurannya kecil saja biar bisa dipajang d dinding rmh. hehehe
rahma ahmad
betul, aku beli yang kecil juga. Selain biar terjangkau harganya, lebih gampang juga dibawa pulangnya 😀
rahma ahmad
Makasih juga udah mampir dan baca tulisan ini