Kampung Yaboi, Kampung Sagu Warna Warni di Sentani

“Ja takut kakak, ombak su besar. Tapi sa jaga kakak,”

Begitu tutur salah satu penumpang perahu yang duduk di belakang saya. Seorang pria berkaus kuning, berkulit hitam legam, dan berambut keriting—khas Papua.

Ia berkata seperti itu karena saya terus menerus mendekap erat tas hitam saya. Sebenarnya bukan karena saya takut ombak, namun saya cemas kamera nircermin yang ada di dalam tas ikutan basah terciprat air yang masuk ke perahu. Saya lupa bawa tas kedap air.

Ombak Sentani sore itu memang cukup besar sehingga perahu nelayan kecil yang saya tumpangi dari Kampung Yaboi menuju Dermaga Yatim sedikit berayun ke kanan dan ke kiri. Walaupun ini danau, bukan lautan lepas, ada ombak di sini. Mungkin karena Danau Sentani ini luasnya 9.360 hektar dan dikeliling perbukitan, yang membuat angin jadi berembus kencang.

“Ini belum besar, kakak. Makin sore nanti ombaknya makin besar.”

Kali ini wanita muda di sebelah kiri saya yang berbicara. Ia membawa seember ikan gabus berwarna hitam yang akan dijualnya di pasar di Dermaga Yatim. Katanya, hasil penjualannya akan ia belikan pisang dan keperluan dapur lainnya. Besok pagi, baru ia kembali ke Yaboi lagi. Begitu rutinitasnya setiap hari.

Di belakang saya, di sebelah pria tadi, ada lagi ibu-ibu yang terus tertawa-tawa sambil mencolek bahu saya dan mengajak saya bercakap-cakap. Tapi dia tak bisa bahasa Indonesia, sehingga saya bingung mesti menjawab apa. Saya hanya sesekali memutar kepala menghadap ke arahnya, sambil mengangguk merespon keramahannya.

***

Begitulah suasana sore di perahu kayu tanpa atap ini. Perahu yang membawa saya, beberapa kawan, dan penduduk Kampung Yaboi menuju Dermaga Yatim.

Perahu ini memang menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan kampung-kampung di pinggir Danau Sentani dengan daratan di Kabupaten Jayapura. Harganya lumayan murah untuk ukuran kantong saya, hanya 10-15 ribu rupiah sekali jalan untuk wisatawan, dan 5.000 rupiah untuk penduduk lokal.

View Danau Sentani dari Bukit Tungku Wiri
Perahu kayu yang jadi transportasi andalan penduduk di Sentani

Trek Mengitari Kampung Sagu

Kampung Yoboi yang saya datangi dengan perahu itu adalah salah satu kampung wisata di Danau Sentani. Permukiman khas Papua ini menjadi viral di dunia maya karena dermaga warna-warni instagramable yang ada di seantero kampung.

Namun sebenarnya, Kampung Yoboi bukan hanya punya dermaga viral itu. Di sini, wisatawan dapat berjalan melintasi trek kayu sepanjang 420 meter di tengah hutan sagu dan, jika beruntung, bisa ikut serta petani memanen sagunya.

Sagu memang menjadi komiditi utama kampung yang sebagian besar berdiri di atas air ini. Mereka memiliki hutan sagu seluas 1.600 hektar dengan 20 jenis sagu, dan katanya ini merupakan jenis sagu terbanyak di Indonesia.

Selain itu, wisatawan dapat melihat kehidupan sehari-hari masyarakat kampung yang pernah dikunjungi oleh Sandiaga Uno ini. Saat festival atau perayaan tertentu, mereka bisa mencicipi sajian khas dari sagu atau bahkan—jika berani—ikutan mencoba menikmati sate ulat sagu yang termahsyur. 

Seluruh kampung berada di atas air
Foto Kampung Yaboi saat festival. Sumber: Kemenparekraf

Sepi dan Kosong

Sayangnya, tak semua hal menarik tadi benar-benar saya temui di sini. Dermaga kayu warna-warni memang ada, trek mengitari hutan sagu pun sangat menarik minat. Tapi, “napas” sebagai Kampung Sagu kurang terasa di sini.

Tidak ada kios yang menjajakan makanan atau buah tangan khas sagu. Satu-satunya kios yang saya temui adalah kios penjual minuman dingin kemasan, yang lokasinya dekat dermaga.

Petunjuk untuk wisatawan juga terasa kurang; tak ada papan petunjuk, peta, ataupun pemandu lokal yang menjelaskan tentang kampung ini. Jembatan kayu warna-warni yang mengitari kampung pun mulai pudar dan bahkan sudah rusak di beberapa tempat.

Kami yang berharap bisa memanen sagu ataupun mencicipi penganan khas sagu, hanya bisa gigit jari. Akhirnya kami hanya mengitari kampung ini sambil melihat beberapa penduduk yang sedang menjemur baju di depan rumahnya. Selebihnya tak ada orang lagi; mungkin karena kami datang di siang hari ketika udara sedang panas membara dan matahari tepat ada di atas ubun-ubun kepala.

Saya hanya bertemu Mama Hanny, penduduk Kampung Yoboi yang juga penggiat literasi. Ia memanggil ketika saya lewat depan rumahnya dan meminta saya memfotonya di depan perpustakaan yang ia bangun.

Mama Hanny yang telah berkali-kali mendapatkan penghargaan ini menceritakan kalau ia masih berusaha mengajak penduduk lokal untuk menaikkan “citra sagu” di kampung ini. Ia juga terus menerus melakukan upaya-upaya lain—seperti mengajak untuk membersihkan sampah—supaya Kampung Yoboi lebih bersih dan dapat “dijual” kepada wisatawan.

Semoga saja, ketika saya kembali ke sana nanti, upaya Mama Henny membuahkan hasil, sehingga tagline mereka sebagai Kampung Sagu bukan sekadar wacana, namun benar-benar terwujud nyata.

Baca Juga: Antara Legenda Naga dan Lukisan Kulit Kayu Kampung Asei Jayapura

*** Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

20 Comments

  • fajarwalker

    Terkadang mempertahankan itu yang memang agak sulit ya mbak. Selain dari masyarakatnya, pemerintah juga harusnya bisa ikut support dengan menyediakan transportasi terjangkau bagi wisatawan yang ingin bermain ke ranah Papua.

    jaya selalu Papua dan seluruh manusia di dalamnya.. Amiiin

  • Anonymous

    Terkadang mempertahankan itu yang memang agak sulit ya mbak. Selain dari masyarakatnya, pemerintah juga harusnya bisa ikut support dengan menyediakan transportasi terjangkau bagi wisatawan yang ingin bermain ke ranah Papua.

    jaya selalu Papua dan seluruh manusia di dalamnya.. Amiiin

  • Tika Samosir

    Sebenarnya 2 tahun lalu setelah covid sudah niat mau melancong ke Jayapura, kebetulan abang aku yang pertama tinggal di Sentani juga. Luar biasa memang indahnya negeri titipan Tuhan ini. Di Sentani ikan lautnya segar-segar pula.

  • lendyagassi

    Indah sekali Kampung Yaboi dan Kampung Asei.
    Mereka hidup dengan apa-apa yang masih sederhana dan disediakan oleh alam. MashaAllaa~
    Inilah yang disebut masyarakat adat, penjaga bumi Indonesia.

  • ulfi

    Luar biasa!!
    Cerita tentang Indonesia Timur selalu menggugah Aku untuk bisa kesana..

    Aku baca tulisan ini serasa di bawa kesana.. Terimakasih

  • Raja Lubis

    Emang ya Indonesia tuh sudah dianugerahi Tuhan dengan keindahan alam, dan keragaman tradisi adat budayanya. Tinggal dipoles lagi sedemikian rupa, biar menarik wisatawan berkunjung. Btw, aku suka banget lukisan di atas kulit kayu, sangat indah nan kreatif.

  • Hida

    Wuaaa…senengnya bisa liat langsung Danau Sentani..cantik banget ya pemandangannya. Pengen banget suatu saat nanti bisa berkunjung ke tanah Papua. Btw, lukisan kulit kayunya termasuk murah ya padahal buatnya handmade.

  • Fanny_dcatqueen

    Ya ampuuuun mbaa, aku jadi pengen ke sanaaaa . Papua ini memang menarik, surga, dan ada banyaaaak sekali yg bisa dilihat sebenarnya yaaa.

    Aku kebayang keramahan orang lokalnya di dalam perahu yg mba naikin . Jd inget dulu papa kerja di oil company yg ada di Tangguh, teluk Bintuni. Kerjanya 3 minggu full, libur 2 minggu. Begitu terus. Jd tiap kali libur dan pulang ke medan, pernah bawa seember besar kepiting yg udah dibumbui, yg besarnya byangetttttt, capitnya aja segede lengan ku, tapi hrg 1 ember itu waktu itu cuma RP150rb. 1 ember penuh kepiting besar loh. Aku sampe speechless. Mana ada di jkt hrg segitu

    Itu yg bikin aku pengen ke papua, tp memang ketabrak mulu ama jdwal trip LN.

    Lukisan di kulit pohon aku juga pengen. Pasti ga mudah utk menulis di situ . Wajar kalo dihargai agak mahal.

  • Fanny_dcatqueen

    Ya ampuuuun mbaa, aku jadi pengen ke sanaaaa . Papua ini memang menarik, surga, dan ada banyaaaak sekali yg bisa dilihat sebenarnya yaaa.

    Aku kebayang keramahan orang lokalnya di dalam perahu yg mba naikin . Jd inget dulu papa kerja di oil company yg ada di Tangguh, teluk Bintuni. Kerjanya 3 minggu full, libur 2 minggu. Begitu terus. Jd tiap kali libur dan pulang ke medan, pernah bawa seember besar kepiting yg udah dibumbui, yg besarnya byangetttttt, capitnya aja segede lengan ku, tapi hrg 1 ember itu waktu itu cuma RP150rb. 1 ember penuh kepiting besar loh. Aku sampe speechless. Mana ada di jkt hrg segitu

    Itu yg bikin aku pgn ke papua, tp memang ketabrak mulu ama jdwal trip LN.

    Lukisan di kulit pohon aku juga pengen. Pasti ga mudah utk menulis di situ . Wajar kalo dihargai agak mahal

    • rahma ahmad

      Waaa kebayang itu enaknya kepiting segede itu. Aku belum pernah makan kepiting selama di Papua, seringnya nyobain ikan.
      Dilema sih ya, Ke LN emang kadang lebih murah harganya ketimbang ke Indonesia Timur. Sedih tapi gimana yaaa

  • Myra (Jalan-Jalan KeNai)

    Lukisan kulit kayu memang bagus banget. Ingat waktu suami ada kerjaan di Papua juga beli beberapa lukisan ini. Seneng lihatnya kalau anak-anak di sana masih diajarin juga melukis di kulit kayu. Cakep banget ya pemandangan alam di Papua

  • Leila

    Wah, bulan lalu ke sekitaran Danau Sentani juga tapi cuma melihat dari atas Bukit Teletubbies. Terlihat luas sekali memang, dan ternyata di tepiannya banyak aspek budaya yang bisa kita pelajari yaa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!