Cerita Umrah Mandiri: Antara Ditipu dan Lari-Lari Mengejar Bus

Setengah lari mengejar bus kuning—yang tak jelas berhenti di mana di terminal yang penuh dan luas—jadi kegiatan rutin kami setelah terawih di Mekkah. Melelahkan memang, namun akan selalu membekas di ingatan.

Ibis Style Hotel Mekkah menjadi satu-satunya pilihan kami di detik-detik terakhir, setelah kami tertipu. Sebenarnya di OTA ada beberapa penginapan murah lain yang lokasinya sekitar 1-1.5km dari dari Masjidil Haram dengan harga yang masih masuk bujet kami. Namun semuanya belum punya review dari penggunanya.

Kami tak berani mengambilnya sebab banyak cerita soal bookingan yang dibatalkan beberapa hari menjelang hari-H, walaupun sudah dibayar di awal. Ibis Hotel, walaupun jauh, paling tidak punya nama besar Accor di belakangnya. Jadi tak mungkin ia membatalkan bookingan kami.

***

Kamar Ibis Mekkah
Kamar yang kami tempati di Ibis. Foto ambil di webnya Accor karena saya lupa foto.
Pemandangan dari balkon kamar saya

Dari segi bangunan, kebersihan, fasilitas dan pelayanan, Hotel Ibis Style Mekkah ini sebenarnya sangat lumayan. Harganya juga terjangkau; kami masing-masing hanya perlu mengeluarkan 3 juta rupiah untuk 6 malam atau sekitar 500 ribu rupiah per orang per malam. Harga yang bagus untuk hotel di Ramadhan.

Namun, minusnya—dan ini jadi masalah utama kami—lokasinya sangat jauh, sekitar 3 km dari Masjidil Haram.

Sebenarnya sejak awal memesan kami sadar dengan jarak yang jauh ini, tapi saat itu kami tak menganggapnya masalah serius karena ada shuttle gratis yang berhenti di Ajyad Terminal, dekat masjid Haram. Tapi ternyata, karena Ramadhan, titik berhenti shuttle bus berubah ke Gazh Terminal yang letaknya lumayan jauh dari Haram.

Walaupun beroperasi 24 jam, jadwal shuttle-nya hanya setengah sejam sekali. Kalau tertinggal yaa wassalam. Dan kalau kami memaksakan diri naik taksi, ongkosnya lumayan. Sekali jalan para supir taksi yang mangkal di depan hotel mematok harga antara 40-50 SAR alias 170-200 ribu rupiah. Waah bisa jebol kantong kami kalau bolak-balik naik taksi.

Peta stasiun bus, ada satu stasiun lagi, tapi jarang saya pakai

***

Jadwal shuttle menuju hotel terakhir adalah pukul 23.30, dan terawih berakhir sekitar pukul 23.00. Alhasil, selepas solat terawih, kami harus setengah lari menuju shuttle. Bukan hal yang gampang bagi kami. Selain jauh, pergerakan keluar dari masjid sangat sangat lambat karena ribuan orang keluar dalam waktu yang bersamaan.

Ditambah lagi, terminal ini sangat-sangat luas dan riweh. Dan kami harus mencari posisi bus yang kerap berpindah-pindah, plus warna bus yang amat mirip dengan bus yang lain—dengan tulisan yang amat kecil—sehingga menyulitkan pencarian.

Shuttle Ibis. Tulisannya cuma sekecil itu, kebayang kan gimana nyarinya

Seru sih, tapi rada melelahkan. Hingga kami sering berkelakar, “Umrah Ramadhan selanjutnya kita di Ring 1 view Ka’bah lah, biar ga lari-lari kejar bus begini. Dari bandara dijemput Rollys Royce biar ga naik repot naik kereta”.

Aamiin…siapa tahu kelakar kami di sana diaminkan para malaikat.

Baca Juga: Panduan Lengkap Umrah Mandiri (Part 1)

Menyesal Solat Subuh di Haram

Karena terbatas dengan jadwal shuttle, kami harus mengatur siasat kapan harus berangkat. Kalau awalnya kami semua selalu jalan dan pulang berbarengan, serta janjian bertemu di depan WC 3 atau 4 yang legendaris, akhirnya diputuskan untuk jalan menuju masjid sendiri-sendiri sesuai kondisi dan kekuatan fisik masing-masing.

WC 3, tempat janjian

Jadwal saya begini. Jika tidak ambil umrah, sehabis terawih saya biasanya tidur dan kemudian bangun menjelang sahur. Setelah itu saya solat subuh di hotel dan tidur lagi. Lalu kembali ke bagian dalam Masjid Al Haram menjelang zuhur dan bertahan di sana sampai menjelang buka puasa.

Setelah solat magrib dan buka puasa di pelataran (yaa…saya lebih suka buka di pelataran!), biasanya saya janjian dengan Rizky, Firman, Bams, Erna, dan Bu Indah untuk kulineran, mencari makanan khas Arab yang ada di dekat masjid dan baru kembali ke masjid menjelang Isya.

Kami pernah mencoba makan di foodcourt di Hilton, di dekat tangga viral. Kami juga pernah mukbang, makan nasi biryani ala Arab di Al Romansiah di foodcourt Jabal Omar. Pernah juga, selepas teraweh kami makan nasi Mandhi dengan topping daging unta di daerah Aziziyah. (rekomendasi kuliner di Mekkah dan Madinah saya tulis terpisah yaa)

Di dua hari terakhir di Mekkah, barulah saya memaksa diri untuk sholat Subuh di Haram dan saya menyesal. Ya, saya menyesal kenapa baru dua hari ini saya sholat subuh di sana, padahal suasananya sangat syahdu.

Semua Jatuh Sakit

Lelah berkejaran dengan bus dan jadwal ibadah yang padat membuat beberapa dari kami jatuh sakit. Tiga kawan sekamar saya sakit dari hari keempat di Mekkah—kami 8 hari di Mekkah dan 8 hari di Madinah. Mereka batuk, meriang, dan mual.

Sakit mereka semakin parah di Madinah. Alhasil, saya harus mengalah tidur gerah tanpa AC, karena semua merasa kedinginan kalau AC dinyalakan.

Alhamdulillah, meski semua kawan sekamar saya sakit, Allah masih melindungi saya. Saya baik-baik saja sampai kembali ke Jakarta. Hanya ada batuk sedikit yang langsung sembuh dua hari setelah tiba di Jakarta.

Mungkin kondisi prima ini disebabkan saya memang doyan berjalan kaki ke mana-mana, ditambah lagi saya rutin vaksin influenza. Saya juga membekali diri saya dengan vitamin C, saffron, dan madu. Saya juga memaksa diri untuk makan sehat saat sahur dan buka, serta menghindari mie instan walaupun baunya sangat menggoda.

Oya, sebenarnya ada klinik gratis di Mekkah, lokasinya belakang WC3. Tapi kami baru tahu soal ini setelah sampai di Madinah.

Bersambung.

Cerita Selanjutnya: Belanja Kalap di Kakiyah

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!