Being A Solo Female Traveler? Begitulah Travelling Cara Aku
Begitulah kalimat-kalimat yang sering saya dengar dari orang ketika saya menceritakan kisah perjalanan saya. Ya, saya, seorang perempuan muslimah berjilbab, memilih bertualang dan berjalan sendirian ke berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara di dunia.
Dari empat puluh dua negara yang pernah saya sambangi, dua puluh di antaranya saya datangi sendirian.
Saya pernah merasakan sengatan matahari saat bulan puasa di Oman, kedinginan sendirian di kota romantis Praha, tersasar di Kota Kohsiung Taiwan karena kendala bahasa, masuk ke markas TKI di Makau, ditraktir TKW, sampai terperangkap di dalam kereta bersama kakek tua dalam perjalanan ke kota Khiva Uzbekistan.
Begitu banyak memori yang melekat selama solo travelling, apalagi sebagai seorang perempuan berjilbab. Jadi, kalau ditanya soal pengalaman saat solo travelling yang paling berkesan, jujur, saya bingung pengalaman mana yang harus saya ceritakan.
Tapi baiklah, saya akan ceritakan beberapa di antaranya.
Pengalaman yang akan saya ceritakan ini bukan pengalaman saat menikmati keindahan suatu destinasi, namun pengalaman lain yang saya temui saat menuju atau bahkan saat di perjalanan itu. Karena buat saya, sebuah perjalanan bukan hanya soal indahnya destinasi, tapi juga soal perjalanannya.
Seperti kata sasatrawan Inggris favorit saya, TS Elliot ” The journey, not the destination matters“.
.
MY SOLO TRAVEL STORY
Terjebak di Kereta Uzbek Bersama Kakek Tua
Uzbekistan adalah salah satu destinasi impian saya. Negara di Jalur Sutera ini punya sejarah panjang dari zaman Persia hingga zaman keemasan Islam. Negara yang pernah berada di bawah Rusia ini juga punya arsitektur yang menarik. Arsitektur yang akan membawa pengunjungnya ke zaman 1001 malam.
Itu sebabnya, di 2019, saya memberanikan diri untuk menunjungi negara ini seorang diri, walaupun jarang sekali solo traveler Indonesia yang datang ke sini. Apalagi perempuan. Padahal cukup banyak perempuan dari negara Barat yang datang ke sini karena tempat ini dinilai eksotis, sarat sejarah, dan penuh dengan keindahan.
Saya mengunjungi 4 kota utama di sana yakni Tashkent, Samarkand, Bukhara dan Khiva. Saya menggunakan kereta untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Kereta di Uzbekistan cukup bagus dan sistemnya teratur, karena ini merupakan peninggalan sistem kereta Rusia yang selama belasan tahun menduduki Uzbekistan.
Salah satu yang saya naiki adalah sleeper train dari Bukhara ke Khiva. Awalnya saya ingin memesan gerbong ekonomi yang terdiri dari 8 tempat tidur susun di ruang terbuka, namun ternyata tiket ekonomi habis sehingga mau tak mau saya harus membeli kelas VIP yang hanya terdiri dari 2 tempat tidur di kompartemen tertutup.
Dalam hati saya berdoa saya akan mendapatkan teman kompartemen seorang petualang tampan yang akan menceritakan pengalamannya keliling dunia, seperti halnya yang saya baca di novel-novel travel romantis. Namun ternyata, tempat kompartemen saya adalah kakek tua yang kegerahan sehingga hanya berkaus singlet. Duh!
Kakek ini berusaha untuk berakrab ria dengan bertanya dalam bahasa Uzbekistan. Ia tak bisa berbahasa Inggris seperti halnya penduduk Uzbek lainnya. Sementara saya menjawabnya dalam bahasa Indonesia saja. Saya tak mau susah payah berbahasa Inggris karena toh percuma saja, dia sama sekali tak bisa bahasa Inggris dan saya juga tak bisa bahasa Uzbekistan.
Percakapan “akrab” kami dalam bahasa masing-masing terhenti ketika sang kakek mencoba keluar. Ternyata pintunya macet total alias tak bisa dibuka! Tak ada yang bisa dimintai tolong karena tak ada satupun penjaga yang bolak-balik, orang lain pun tak ada yang lewat karena itu kereta malam; mereka semua tertidur lelap di kompartemen masing-masing.
Alhasil, di 6 jam sisa perjalanan, saya yang tadinya berniat tidur dengan nyenyak, sama sekali tak bisa memejamkan mata. Pintu akhirnya terbuka ketika ada seorang yang lewat dan saya berteriak minta ia membuka pintu dari luar.
Ya, begitulah seninya solo travelling. Sendirian. Perempuan.
Mengintip “Markas” TKW di Makau
Sebagai seorang solo-muslimah-female-traveler, saya merasakan banyak keuntungan. Salah satunya, banyak yang mempercayai saya untuk melihat “rahasia” mereka. Misalnya saja di Makau, 2015 silam.
Saat itu saya sedang menikmati indahnya gedung-gedung bergaya Portugis di Senado Square sambil melahap egg tart, kue khas Portugis yang juga banyak dijual di Makau. Kota tetangga Hongkong ini memang memiliki banyak peninggalan gedung bergaya Portugis karena mereka sempat dijajah negara itu.
Di sanalah saya bertemu dengan pekerja Indonesia. Indah, begitu nama yang dikenalkan ke saya. Saya tak tahu itu nama asli atau tidak, yang saya ketahui ia bekerja sebagai tenaga pembersih di penginapan besar di sana, setelah sebelumnya kabur dari majikan yang tak menggajinya selama 5 tahun.
Alih-alih mengajak saya keliling ke destinasi wisata lain Makau, Indah malah mengajak saya ke kediamannya, yang belakangan saya ketahui sebagai tempat penampungan TKW yang habis visanya.
Para TKW ini harusnya keluar dari Makau dulu untuk mendapatkan visa baru, namun sambil mereka mengumpulkan uang untuk membiayai visanya, mereka “bersembunyi” dulu di sana.
Rumah Indah sangat sederhana. Terletak di lantai dua di daerah kumuh yang kira tak akan saya jumpai di Makau. Terdiri dari dapur kecil, kamar mandi, dua ruang tidur–satu ditempati oleh dia dan dua kawannya, satu lagi ditempati oleh adik-adik TKI yang habis visanya tadi.
Dari situlah saya melihat bagaimana kerasnya perjuangan Indah dan kawan-kawan TKI untuk mencari nafkah bagi keluarganya di Indonesia. Saya juga jadi menyaksikan bagaimana cara mereka menjaga diri dari godaan Kota Makau yang terkenal sebagai pusat judi Asia.
Ketika saya bertanya kenapa Indah, yang baru saya kenal, berani mengajak saya, ia menjawab dengan lugas, “Karena mbaknya perempuan sendirian. Saya nggak mungkin mengajak laki-laki ke sini”
Ya, tentu. Saya tentu tak akan bisa ke rumah Indah hal ini seandainya saja saat itu saya tidak solo travelling; Indah tak akan mungkin mengajak orang banyak ke rumahnya.
Ditraktir Seluruh Dunia
Seorang wanita yang berjalan sendirian, selain mendatangkan rasa kagum dan salut bagi sebagian orang, kadang juga mendatangkan rasa empati dan iba. Itu sebabnya, saya sering ditraktir dan diberi gratisan saat sedang jalan sendirian.
Saya pernah ditraktir oleh ibu-ibu berkebangsaan Malaysia di dalam sebuah restoran di Disneyland Hongkong. Ibu yang datang bersama anaknya ini kasihan melihat saya yang jalan sendirian di sana, dan akhirnya mengajak saya makan burger di salah satu resto di sana.
Masih di Hongkong. Saya pernah ditraktir oleh TKW asal Jawa Timur di salah satu resto cepat saji di daerah Victoria. Sebenarnya sudah saya tolak berkali-kali, namun sang TKW bersikeras memberikannya karena menurutnya, “Mbaknya kan masih panjang perjalanan tripnya, kalau abis duitnya gimana. Kalau saya kan akhir bulan akan gajian lagi.”
Hal serupa terjadi saat di Guangzhou, China. Walau tak bisa berbahasa Inggris, bapak pemilik resto muslim menggratiskan seluruh makan siang saya. Bahkan ia mengajak saya ke toko roti milik anak perempuannya dan meminta saya mengambil roti cukup banyak tanpa harus membayar.
Anaknya, yang bisa bahasa Inggris sedikit mengatakan bahwa ayahnya sangat takjub dan senang bertemu dengan saya, wanita berjilbab asal Indonesia yang jalan-jalan sendirian.
Ya, kebaikan ini mungkin tak akan saya temukan jika saya berjalan bersama kawan-kawan.
.
Kenapa Saya Memilih Solo Travelling?
Mungkin bagi sebagian traveler Indonesia, solo travelling bukan hal yang terlihat menyenangkan. "Jalan-jalan kok sendiri, kayak ga punya teman" atau "Emang ga ada yang nemenin mesti solo travelling?" begitu komentar yang sering saya dapatkan. Apalagi saya seorang wanita, berjilbab pula. Solo travelling tampaknya bukan menjadi hal yang lumrah. Tapi percayalah, banyak keuntungan yang saya rasakan dari solo travelling.
Solo Travelling Menambah Teman dan Melatih Komunikasi
You never really travel alone. The world is full of friends waiting to get to know you.
–Unknown
Berjalan sendirian begini juga membuat saya tahu kelemahan dan kelebihan saya. Salah satu kelemahan saya (dulu) adalah soal komunikasi dengan orang baru.
Ya, dulu saya amat enggan berkenalan dengan orang baru selain narasumber liputan saya. Malas berbasa-basi, beramah tamah, apalagi ngobrol panjang lebar. Namun saat solo travelling, saya sendirian, sehingga mau tak mau saya harus mencari “teman baru” di perjalanan.
Teman baru ini saya temui di hotel, di kereta, bus, di pesawat, atau bahkan di destinasi wisata. Seperti halnya Guilia, warga Milan yang saya temui saat bertandang ke Uzbekistan. Ia, yang satu penginapan dengan saya di beberapa kota akhirnya jadi kawan baik saya hingga sekarang.
Atau beberapa kawan Malaysia-Singapura yang saya temui saat saya solo birthday trip ke Luang Prabang. Hingga sekarang, saat saya ke Malaysia dan Singapura, saya pasti dijamu dan diantar oleh mereka.
Alhasil, kini saya jadi lebih terbuka. Tak malas lagi kalau harus bertemu dan berbicara dengan orang yang baru dikenal.
Solo Travelling Membuat Lebih Mandiri dan Mengambil Keputusan dengan Cepat
As you travel solo, being totally responsible for yourself, it’s inevitable that you will discover just how capable you are!
–Unknown
Saat solo travelling, mau tak mau semua hal harus dilakukan sendiri. Mulai dari merencanakan perjalanan, menentukan destinasi, hingga membuat keputusan jika ada hal mendesak. Tak ada orang lain yang diandalkan dan ada teman tempat bergantung.
Ini membuat saya lebih mandiri. Dari kecil saya telah dilatih mandiri oleh orang tua saya, namun tetap saja, solo travelling membuat saya lebih mandiri lagi.
Kebiasaan solo travelling ini juga ternyata berpengaruh kepada pekerjaan saya. Saat masih bekerja sebagai editor dan memiliki beberapa orang tim, saya bisa dengan tenang dan cepat mengambil keputusan jika ada hal mendadak. Kini, saat saya menjadi penulis lepas, saya juga tak mudah overthinking, cemas. dan panik jika menghadapi sesuatu yang di luar rencana saya.
Konon katanya, sebuah perusahaan di luar negeri ada yang meminta riwayat solo travelling orang yang melamar kerja di perusahaannya, lho, karena menurut mereka orang yang bisa melakukan solo travelling adalah orang yang punya karakter kuat.
Dengan Solo Travelling, Lebih Banyak Interaksi dengan Orang Lokal
Some journeys can be only traveled alone
–Kein Poirot
Ini benar-benar saya rasakan. Saat berjalan ramai-ramai bersama teman, apalagi dalam jumlah banyak, saya lebih sering berinteraksi dengan kawan-kawan seperjalanan. Sementara jika solo travelling, saya akan berusaha membaur dengan orang lokal dan akhirnya menemukan pengalaman yang mungkin tak dialami orang lain.
Misalnya saat solo travelling di Azerbaijan. Syahriar, warga Baku mengajak saya ke sebuah pantai di Laut Caspia, tempat orang lokal menghabiskan waktu liburnya. Hal yang mungkin akan sulit dilakukan jika saya pergi beramai-ramai, karena saya belum tentu kawan seperjalanan saya mau mendatangi tempat yang tak ada dalam bucket list kami, tempat yang jarang didatangi turis.
Atau saat saya di Kuala Lumpur empat tahun lalu. Saya tiba-tiba diajak melihat pernikahan ala India oleh kenalan yang di penginapan saya. Saya dijamu layaknya tamu dan dipersilakan melihat upacara pernikahan dari awal hingga akhir.
Di Uzbekistan, saya diajak menghadiri pesta ulang tahun karena saya berkenalan dengan Salim Toshbayev, orang lokal yang mahir berbahasa Indonesia yang hingga kini menjadi kawan baik saya.
Lebih Bebas Menentukan Destinasi dan Bujet
Selain lebih bebas menentukan destinasi dan mengubah itenerary semau saya tanpa harus berkompromi dengan kawan seperjalanan, saya juga lebih leluasa menentukan bujet. Jika sedang ingin liburan bujet rendah, bisa. Jika tiba-tiba memutuskan untuk liburan dengan bujet yang lumayan, saya tak perlu merundingkannya dengan orang lain.
Wishlist: Kembali Solo Travelling ke Turki
Turki jadi negara yang ingin saya datangi tahun ini. Sebenarnya, sudah empat kali saya bertandang ke Turki. Namun rasanya, negara ini terus memanggil nama saya. Tak bosan saya kembali ke sana untuk kelima kali, ke enam, bahkan mungkin hingga ke sepuluh kali.
Yang baru saya sadari, ternyata saya belum pernah solo travelling ke sana! Kali pertama, saya datang bersama mama, adik, dan keluarga besar. Kali kedua, bersama sahabat saya. Ketiga, bersama saudara saya dan kawan-kawannya, dan kali keempat transit sehari sebelum saya bertolak ke Spanyol sambil menengok sepupu saya yang tinggal di sana.
Karena itu, saya bertekad saya mesti kembali ke Turki. Tapi tentu saja, sendirian alias solo travelling!
Destinasi Anti Mainstream
Tujuan solo travelling saya kali ini agak berbeda. Selain Istanbul dan Cappadocia, ada kota anti-mainstream yang akan saya datangi. Misalnya saja Safranbolu, kota tua yang pernah menjadi pusat perdagangan sejak abad ke-13 sekaligus menjadi jalur perdagangan di era Jalur Sutera.
Inilah enaknya solo travelling, saya bebas menentukan destinasi semau saya, destinasi yang sesuai dengan kesukaan dan hati nurani saya walaupun itu bukan destinasi populer.
Rute saya kurang lebih akan begini: Istanbul-Safranbolu-Cappadocia-Istanbul
Detail masing-masing daerah akan saya ceritakan selanjutnya, ya.
Merencanakan Solo Travelling ke Turki
Salah satu yang saya lakukan saat akan melakukan travelling sendirian adalah membuat itenerary. Dulu, sebelum internet sangat mudah ditemui, itenerary yang saya buat sangat lengkap hingga ke rute dan peta. Kalau sekarang, cukup merencanakan ke mana saya akan pergi, di mana saya akan menginap, dan apa yang harus saya naiki jika saya mesti pindah kota atau pindah penginapan.
Untuk merencanakan solo travelling saya ke Turki, saya menggunakan bantuan situs Traveloka. Mulai dari melihat harga pesawat, mencari penginapan, dan membeli beberapa experience.
Penerbangan ke Turki
Hal pertama yang saya harus lakukan adalah mencari tiket pesawat. Banyak maskapai yang menawarkan penerbangan dari Jakarta ke Istanbul. Saya selalu memilih yang paling murah agar bujet bisa ditekan.
Saat mengintip Traveloka kemarin, saya menemukan penerbangan Emirates yang harganya sekitar 9.5 juta rupiah pp. Maskapai ini akan transit 10 jam di Dubai sehingga saya bisa sekaligus mengeksplor Dubai. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui, kan?
Memilih Penginapan
Langkah selanjutnya adalah memilih penginapan. Karena saya solo travelling, penginapan biasanya sudah saya booking dari Jakarta. Walaupun kadangkala, kalau saya sedang impulsif, saya baru booking sesaat sebelum datang ke kota itu. Lewat Traveloka, tentunya.
Berbeda dengan jalan beramai-ramai atau berdua, solo traveler seperti saya mesti mencari penginapan yang memiliki kamar single, dormitori, atau paling tidak harganya tidak terlampu mahal. Untungnya di Traveloka ada fitur “sort”, sehingga saya bisa lebih mudah mencari hotel dengan bujet yang sesuai.
Penginapan Bergaya Ottoman di Safranbolu
Rumah-rumah bergaya Ottoman yang cantik banyak terdapat di kota ini. Inilah yang akan jadi pilihan saya selama menginap di sana. Ternyata, saat mengintip Traveloka, penginapan dengan gaya begini cukup banyak. Harganya mulai dari 250 ribu per malam.
Dari semua penginapan ini, saya memilih Yorncioglu Konak yang harganya 380.000 per malam karena lokasinya sangat strategis.
Penginapan Dalam Gua di Cappadocia
Cappadocia terkenal dengan rumah-rumah gua yang sensasinya akan berbeda dengan menginap di bangunan biasa. Karena itu, setiap ke Cappadocia, saya memilih untuk menginap di penginapan gua (cave).
Dari sangat banyaknya pilihan di Traveloka (banyaknya luar biasa sampai saya bingung mesti pilih yang mana), saya menjatuhkan minat ke Has Cave Konak karena lokasinya di Gerome. Bagi solo traveler seperti saya, lokasi ini sangat strategis ketimbang Neveshir karena di sinilah stasiun bus ke berbagai tempat dan juga banyak tur operator untuk hiking atau baloon tur di sini.
Penginapan Dormitory di Istanbul
Kalau biasanya saya menumpang menginap di rumah sepupu di sana, kali ini tidak. Selain karena sepupu saya sudah kembali bekerja di Jakarta, saya ingin mencoba penginapan di sana.
Berbeda dengan kota lain, di Istanbul ini cukup banyak penginapan dengan bentuk dormitori. FYI, penginapan dormitori ini adalah penginapan yang satu kamarnya beramai-ramai dengan orang lain. Saya berencana akan memilih jenis penginapan ini agar bisa mengobrol dan berkenalan dengan solo traveler lain.
Di aplikasi Traveloka, saya langsung gunakan filter dan pilih hostel. Jadi pilihan yang keluar hanya hostel-hostel yang punya kamar dormitori. Pilihan saya jatuh pada Antique Hostel and Guest yang harganya 307.000/malam karena mereka punya kamar khusus perempuan.
.
Membuat Itenerary
Salah satu tip untuk solo female traveler adalah buatlah itenerary sebelum berangkat, agar paling tidak sudah ada bayangan ketika di sana. Walaupun nantinya itenerary ini bisa berubah sesuai kondisi lapangan.
Di perjalanan kali ini, seperti perjalan-perjalanan saya lainnya, saya memadukan antara mengunjungi objek wisata dengan pengalaman lokal seperti minum teh safron di Safronbolu, menyicipi makanan terkenal di Cappadocia, atau menonton pertunjukan Whiriling Dervises di Istanbul.
Rute saya kurang lebih akan begini: Istanbul-Safranbolu-Cappadocia-Istanbul
Day 1 Perjalanan ke Istanbul
Day 2-3 Kota Safranbolu
Safranbolu merupakan sebuah kota yang kaya akan warisan budaya dan sukses menjaganya hingga sekarang. Di sini terdapat sekitar 1.500 bangunan rumah bergaya Ottoman yang menjadikan kota ini sebagai salah satu warisan dunia UNESCO pada 17 Desember 1994.
Gaya arsitektur bangunan dan jalan di Safranbolu masih bergaya standar arsitektur perkotaan dalam periode Kekhalifaan Utsmani. Misalnya, tipikal bangunan berangka kayu dan dinding bercat putih. Kehadiran gang-gang kecil bernuasa Eropa masa lalu menambah eksotis kota ini.
Menyusuri Eski Carsi
Berjalan sendirian menyusuri Eski Carsi akan menjadi pengalaman menyenangkan. Di sini terdapat permukiman bergaya Ottoman, pasar yang sangat cantik dan terkenal dengan kerajinan logam dari ratusan tahun yang lalu, serta toko-toko dengan produk kosmetik yang merupakan ciri khas Safranbolu.
Menyesap Teh Safron di Cafe
Kota Safronbolu terkenal sebagai penghasil Saffron, rempah termahal di dunia. Salah satu tempat yang direkomendasikan untuk melakukan hal ini adalah Cafe Boncuk Arasta Kahvesi, kafe legendaris yang dibangun sejak tahun 1661.
Mengunjungi Mahmet Pasa Mosque
Safranbolu punya banyak masjid indah, salah satunya adalah Koprulu Mehmet Pasa Mosque, yang letaknya masih di area Eski Carsi. Masjid ini dibangun di abad 18 dan memiliki arsitektur khas Ottoman.
Mencoba Hammam di Cici Hammam
Turki terkenal dengan pemandian (hammam), termasuk di Safranbolu. Salah satu yang terkenal adalah Cici Hamam, pemandian air panas yang dahulu banyak digunakan kalangan istana. Biaya untuk pijat dan spa di sini sekitar 200 TL.
Hiking ke Hidirlik Hill
Tempat ini merupakan tempat yang tepat untuk melihat kota Safranbolu dari ketinggian. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk naik ke atas. Melelahkan memang, namun panorama yang tersaji di atasnya sangat sebanding.
Dary 4-5 Cappadocia
Kota Cappadocia menjadi viral sejak disebut Kinan dalam film Layangan Putus. Tapi memang, Cappadocia jadi tempat impian tiap orang, termasuk saya. Setiap ke Turki, setiap itu pula saya ke Cappadocia.
Namun karena sudah dua kali ke sini, kali ini saya ingin mencoba destinasi yang berbeda, yang masih jarang dilakukan orang Indonesia.
Berfoto Ala Negeri 1001 Malam
Di Cappadocia terdapat banyak toko karpet yang bukan hanya menjual karpet namun juga menjadi studio foto untuk berfoto ala-ala Aladdin dan Jasmin di negeri 1001 malam.
Galerie Ikman salah satunya. Tempat ini bak toko karpet di zaman 1001 malam dulu karena di dalamnya terdapat sebuah atrium dengan langit langit terbuka yang dipenuhi karpet. Saya berencana membuat foto di sini, tentu dengan merogok kocek sebesar 20 TL.
Sunset ATV Tour
Berjalan di antara bebatuan menjulang di Cappadocia adalah hal yang sangat menyenangkan. Namun, berkendara di sana dengan ATV terlihat jauuuh lebih menyenangkan.
Karena itu, saya berencana mengikuti ATV yang akan membawa saya berkendara ATV di antara di Rose Valley dan berakhir dengan menikmati sunset di sana. Tur ini harganya sekitar 45 TL.
Menikmati Indahnya Balon Udara dari Bawah
Menikmati sunrise di Cappadocia di dalam balon udara sudah pernah saya lakukan sebelumnya. Mahal memang, tapi sangat worth it untuk dilakukan. Namun untuk kali ini, saya ingin menikmati sunrise di ketinggian sambil menatap puluhan balon udara di langit Cappadocia.
Ada beberapa tempat untuk melakukan ini antara lain bukit di Gerome, lembah di Rose Valley, Sword Valley. Beberapa penginapan yang letaknya di atas punya rooftop untuk ini, misalnya saja Sultan Cave Hotel, Mithra Cave Hotel, atau Koza Cafe Hotel
Mencicipi Kebab Pot
Turki terkenal dengan kebabnya. Daging berbumbu yang diiris tipis-tipis yamg disajikan dengan kentang atau dimasukkan ke dalam ekmek. Namun agak berbeda dengan di Cappadocia. Kebab di sini dimasukkan dan dimasak di dalam kendi. Kalau ingin makan, ya harus pecahkan dulu kendinya.
Di hari terakhir di Cappadocia, saya akan datang ke Aysel’in Mutfağı, salah satu restoran keluarga terkenal di Kapadokya yang menyajikan kebab pot ini. Hmm….nikmat!!
Day 6-8 Istanbul
Tiga hari rencananya saya akan habiskan di sini. Menikmati sisi Istanbul yang belum saya nikmati sebelumnya.
Sholat Berjamaah di Hagia Sofia
Mendaraskan doa dan bersujud di dalam Hagia Sofia adalah keinginan saya setiap bertandang ke Istanbul. Saya sudah melakukannya saat transit di Istanbul setahun lalu, namun tak puas rasanya. Saat itu saya hanya bisa solat sunnah karena memang waktunya tak pas. Menunggu hingga tiba waktunya solat juga tak mungkin karena waktu transit saya cukup singkat.
Jadi, niat saya, begitu sampai di Istanbul saya akan mengunjungi Hagia Sofia dan solat berjamaah di sana. Tentu saja, sambil sebelumnya berkeliling mengagumi keindahan salah satu warisan era Ottoman ini.
Menikmati Boshporus Cruise
Bosphorus adalah selat yang menjadi nadi Istanbul. Di sisinya, berderet tempat-tempat menarik yang untuk didatangi, mulai dari Dolmahbace Palace hingga pasar-pasar di sisi Asia.
Dengan menaiki hop on hop off boat, saya bisa mengeksplor semua sisi Istanbul seharian penuh. Saya bisa naik turun di lima dermaga (yakni Kabatas- Emirgan- Kucuksu- Beylerbeyi- Besiktas) dan bisa menikmati wisata di sekitar dermaga. Atau sekadar duduk-duduk di tepian dermaga, memandangi kesibukan di selat termahsyur yang memisahkan benua Asia dan Eropa ini.
Tiket Hop on Hop Off Boat Bosphorus ini rencananya akan saya beli di Traveloka Experience dengan harga 198 ribu rupiah.
Menonton Whirling Dervish
Menonton pertunjukan Whirling Dervish, tarian khas para sufi, tak boleh dilewatkan saat berada di Turkey. Saya pernah menontonnya di kota asalnya, Konya, dan sangat sangat terpukau dengan gerakan lembut penuh filosofi yang dibawakan para penari. Kali ini, karena Konya tak ada dalam itenerary, saya akan menontonnya di Istanbul.
Tiket Whirling Dervish saya akan beli di Traveloka Experience. Pertunjukannya diadakan di daerah Fatih, setiap hari. Harganya hanya sekitar 250 ribu rupiah, cukup worth it untuk pertunjukan seperti ini.
Belanja!!!
Yang tak boleh dilewatkan ketika berada di Istanbul adalah belanja dan menikmati kuliner khasnya. Saya biasa berbelanja di Eminonou, atau di bagian belakang Grand Bazaar. Atau melipir ke supermarket kecil untuk menemukan sutlac, penganan pusing beras khas Istanbul yang membuat saya ketagihan.
Menutup kunjungan di Istanbul, saya rencananya akan menikmati teh di salah satu cafe dengan pemandangan ke arah Selat Boshporus.
.
Perkiraan Biaya
Selain membuat itenerary, yang saya lakukan saat solo travelling adalah memperkirakan biaya. Terutama biaya untuk penginapan, transportasi, makan, dan tiket masuk wisata. Untuk 8 hari perjalanan solo travelling ini, perkiraan yang akan saya keluarkan sekitar 16 jutaan.
Pengeluaran terbesar ada pada tiket pesawat. Maklum, harga saat ini memang sedang tinggi-tingginya. Semoga saja, ada promo lagi dari Traveloka sehingga bujet ini bisa lebih ditekan.
Destinasi | Pengeluaran |
Tiket pesawat Jakarta-Istanbul pp | Rp 9.500.000 |
Penginapan di Safranbolu 2 malam @380.000 | Rp 720.000 |
Penginapan di Cappadocia 2 malam @698.000 | Rp 1.386.000 |
Penginapan di Istanbul 2 malam @307.000 | Rp 614.000 |
Bus Istanbul Safranbolu | Rp 380.000 |
Bus Safranbolu-Cappadocia | Rp 380.000 |
Bus Cappadocia-Istanbul | Rp 380.000 |
Hammam di Safranbolu | Rp 200.000 |
Foto di toko Cappadocia | Rp 30.000 |
Sunset ATV Tour | Rp 450.000 |
Boshporus Cruise | Rp 198.000 |
Whirling Dervish | Rp 250.000 |
Makan plus jajan 8 hari @50TL = 1200 TL | Rp 1.200.000 |
Biaya transportasi lain | Rp 500.000 |
Biaya lain-lain | Rp 500.000 |
TOTAL | Rp 16.688.000 |
Lets #LifeYourWay
Ya, begitulah cara saya menikmati perjalanan, cara saya menghargai diri sendiri dengan melakukan solo travelling. Awalnya memang saya takut, karena banyak omongan yang menjatuhkan tentang solo travelling ini. Tapi, setelah saya jalani, ternyata mengasyikkan dan mendatangkan banyak pengalaman. Apapun pilihan kalian untuk travelling, jangan ragu. Mau jalan beramai-ramai, silakan. Mau ikut tur, silakan. Mau jalan sendirian seperti saya, silakan. Choose your own travelling style sesuai keinginan dan kemampuan. Beranikan diri untuk #LifeYourWay
12 Comments
Ami
Aku mikirnya Turki kurang bersahabat buat solo traveler perempuan, apalagi transportasi umum antar kotanya kayak belum secanggih Jepang. Tapi ternyata bisa ya? Kebanyakan bus, ya, Mbak? Nah itu pesannya langsung di Turki kah? Emang bisa dari Traveloka?
rahma ahmad
Kalau transportasi antar-kota belum bisa mbak dari traveloka. Bisa on the spot, tapi bisa juga pake aplikasi bilet.com, busbud.com.
Myra (Jalan-Jalan KeNai)
Saya gak bisa solo traveler. Alasannya lebih karena penakut. Tapi, seringkali menarik melihat perjalanan solo traveler. Apalagi yang bener-bener sendiri, gak ikut rombongan tour.
Buat Saya, jalan-jalan memang ttg menikmati perjalanannya. Gak masalah juga kalau sendiri. Malah kelihatannya pada asik aja. Daripada harus maksain ada teman, tapi gak klop di perjalanan.
rahma ahmad
Betul bgt Mbak Myra, kalau temennya ga asik, perjalanannya jadi ikutan ga asik juga. Dapet travelmate yang asik itu langka banget, mbak. Jadi kalau udah ada, mesti di-keep bgt itu 😀
Katerina
Mbak Rahmaaaa…ya ampun aku hampir ga bisa berkata-kata baca tulisan yang bagus banget ini. Sungguh kaya pengalaman travelingmu, dan aku kagum banget!
Inilah hebatmu mbak, berani dan mampu solo traveling menjelajah dunia, dan aku sungguh belum bisa untuk itu 🙁 Pengen coba, tapi banyak takutnya. Lha wong tidur sendirian di hotel aja ga berani haha.
Kapan-kapan mau dong mbak jalan bareng gitu, ramean yuk sama Tami, Mbak Lidya dll
Turki emang sewonderful itu untuk dikunjungi bahkan berulang kali. Semoga terwujud ya mbak!
Hufft…aku baca artikel ini pengen diulang ulang saking sukanya. Lengkap banget!
rahma ahmad
Yuuuk….baca tulisan Mbak Tami ke NZ jadi pgn ke sana. road trip seru banget
Dewi Sulistiawaty
Waaww keren bingiiit…solo traveling. Pengen denger langsung cerita traveling sendiri ke negara antah berantahnya. Yg paling seru yg mana Mbak?
rahma ahmad
Semuanya seru Mbak Dewi
Tami
Bener banget mbaak… Tiap solo traveling ada aja yang komentar: “Wow, I never met a women with hijab traveling alone.”
Seru2 deh pengalamannya Mbak Rahma
rahma ahmad
Dikirain kita bisanya ke Mekkah doang kayaknya 😀
Endah Kurnia Wirawati
Wedehhhh… Traveler idolaku… keren banget sih jaan-jalannya..
Jadi berikutnya kita mau kemana lagi, bestie???
*bikin list aja terus pake Traveloka…*
rahma ahmad
Wkwk….semua kan dimulai dari “list aja dulu”, begitu ada kesempatan langsung samber