Menyesap Teh di Puncak Darjeeling
“You should smell this,” kata gadis penjual teh di pinggir kebun teh. Dia kemudian meletakkan teh itu di tangan, meniupnya, dan kemudian meminta saya mengendus bau teh itu. Teh Darjeeling yang termahsyur.
Siapa yang tak kenal Darjeeling Tea, teh yang amat termahsyur di dunia. Merek-merek teh dunia seperti Twinings, Ahmad Tea, Dilmah, pasti memiliki jenis teh ini.
Darjeeling memang salah satu deerah Utara India yang menghasilkan teh. Letaknya yang cukup tinggi, sekitar 2042 mdpl, membuatnya cocok dijadikan sebagai kebun teh. Kebun teh ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, namun jadi populer sejak Inggris menduduki India dan membawa hasil teh ini ke negara mereka. Itu sebabnya, saya yang penggemar berat teh, kegirangan bukan main ketika kawan saya mengajak saya mampir ke sini dulu sebelum melawat ke Sikkim.
Dari stasiun New Jaipalguri, kami naik share Jeep selama kurang lebih 6 jam. Ya, enam jam berdesak-desakan di jok belakang menyebabkan saya amat lelah dan lapar ketika sampai di sana. Alhasil, begitu jeep sampai di tujuan, yang saya cari pertama kali adalah tempat makan!
Baca Juga:Â 6 Jam di Jeep Menuju Darjeeling
Di sinilah saya berkenalan dengan Momo. Bukan nama orang, tapi nama dumpling khas Nepal. Karena Darjeeling ini berbatasan dengan Nepal, beberapa makanannya pun mirip. Kawan saya, yang sebelumnya pernah ke Nepal, yang menganjurkan saya untuk makan ini. Dan ternyata rasanya enak bukan main, jadi makanan wajib saya selama di sana.
Setelah kenyang, PR selanjutnya adalah mencari penginapan. Karena kami memutuskan untuk go-show, kami belum membooking penginapan sama sekali. Satu-satunya penginapan yang kami booking adalah penginapan di Kolkata, itupun sehari sebelum berangkat karena kami berdua sama-sama salah melihat jadwal.
Setelah berjalan ke sana-sini, akhirnya kami memutuskan menuju ke sebuah penginapan yang kami lewati, yang keliatannya cukup nyaman dihuni. Hotel Meghma namanya. Saya lupa berapa harganya, yang pasti kami dapat harga tersebut setelah tawar menawar. Ternyata di sini, harga hotel pun bisa ditawar!
Sebenarnya, di Darjeeling ini banyak hotel cantik dan villa yang sering diinapi penduduk India yang ingin berlibur. Namun harganya tak cantik, paling tidak buat kantong kami berdua.
Darjeeling adalah kota kecil. Tak banyak objek wisata yang ada di sini. Yang menarik bagi kami hanya sebuah monastery. Ghum Monastery namanya.Â
Tujuan utama kami di sini sebenarnya perkebunan teh, namun ternyata gempa yang baru saja terjadi di Nepal yang berimbas ke sini dan menyebabkan gondola yang biasa digunakan untuk menuju kebun teh rusak parah. Padahal gondola ini merupakan gondola legendaris untuk menuju spot-spot wisata perkebunan teh di Darjeeling. Alhasil, kami hanya bisa duduk di sebuah gubuk warung di pinggir kebun teh, sambil menyesap teh hangat Darjeeling yang baru dibuat oleh si pemilik warung dan memandangi hamparan kebun teh yang masih tertutup kabut tebal.
“Mirip ngeteh di puncak ini mah” kata saya.
“Beda lah. Di sini yang bikin teh orang India,” jawab teman saya sekenanya.
Padahal, warga Darjeeling tak seperti warga India yang saya lihat di Kolkata. Mereka kebanyakan berasal dari bangsa Nepal, Tibet, dan Bhutan, yang berkulit putih dan bermata sipit. Mayoritas beragama Budha sehingga monastery banyak dibangun di sini.
Darjeeling juga amat berbeda dengan India lainnya yang kumuh, kotor, dan panas. Darjeeling bersih, sejuk, dan nyaman dihuni. Saya yang tak berani menyentuh makanan di kaki lima Kolkata, dengan tenangnya makan di pinggir jalan di Darjeeling.
Karena teh adalah komoditas utama di Darjeeling, puluhan toko teh dan cafe bisa ditemui di sini. Sebagai pencinta teh, saya kalap. Setiap toko teh saya masuki, dan berakhir dengan membeli setumpuk teh. Mulai dari teh biasa, teh masala, hingga teh coklat yang ternyata rasanya tak terlalu enak.Â
Esok dini hari, kami sudah terjaga karena kami berniat menuju Tiger Hill, sebuah view point tempat melihat sunrise. Dari sini, akan terlihat puncak Kanchenjunga, bagian dari pegunungan Himalaya, yang berselimut salju abadi. Tapi sepertinya, dewi fortuna sedang ngambek kepada kami. Pemandangan indah yang seharusnya tersaji di sana lagi-lagi tertutup kabut tebal.
Gagal maning.
Menghibur diri, kami mampir ke stasiun Darjeeling, stasiun tempat kereta wisata Darjeeling Steam Railway berujung. Kereta ini semacam kereta Ambawara yang konon jalurnya telah dibangun sejak 1828 oleh pemerintah Inggris. Harganya mulai dari 1000 rupee dan melewati beberapa titik stasiun.
Kami tak ingin naik kereta. Kami hanya ingin foto di depan stasiun kebangaan Darjeeling ini. Paling tidak, ada kenangan dan jejak kami pernah berada di sini.
Sepertinya kami harus kembali lagi ke Darjeeling suatu hari nanti.
9 Comments
Sintia Astarina
Mbak, itu Momo menggugah selera banget. Pengin banget ngerasain langsung definisi “enak” seperti yang Mbak katakan *auto-ngiler* 😀
rahma
Wkwk, ini semacam dumpling. Saya penggemar dimsum, somay, dan segala macam sejenis dumpling. Kayaknya ada faktor itu juga jadi berasa enaaak
Sintia Astarina
Samaaa! Wajib cobain banget sih. Itu dari fotonya aja udah bikin laper haha
dhaniwar
Keren mbaa 🙂 saya yang sudah setahun tinggal di India malah belum pernah ke Darjeeling, hehe
rahma
Wkwk, saya belum pernah ke Taj Mahal. Di kota mana Mbak tinggalnya?
dhaniwar
Saya di Aligarh, Mbak. Cuma 1,5 jam kalau naik bus menuju Taj Mahal dari sini. Main sini yuk! hehe 😀
rahma
Mauu….ntar deh kalau ke sana aku kabar-kabarin.
mysukmana
Asik sekali pasti..menikmati teh dengan suasana India
rahma
Di sini ga berasa kayak India. Bersih, teratur, dan ga jorok. Berasa lagi di puncak aja 😀