Catatan dari Iran: Antara Niayesh Hotel dan Guide Presiden Soekarno
Shiraz. Ini adalah kota kedua yang saya datangi di Iran.
Saya menggunakan bus dari Tehran untuk menuju Shiraz. Bus yang lumayan nyaman, sehingga perjalanan 14 jam saya tidak terlalu terasa. Apalagi, sang kondektur berbaik hati memberikan tambahan snack berupa roti dan aneka jajanan lainnya.
Baca Juga: Keliling Iran Naik Bus
Bus hanya dua kali berhenti di toilet dan sekali di rumah makan. Tak ada yang saya beli, karena Mbak Afifah, host kami di Tehran, dengan baik hati memberi kami bekal untuk makan di jalan. Bus juga berhenti di salah satu musala saat subuh tiba. Saya ikutan turun untuk solat, dan agak terkejut karena yang turun untuk solat hanya saya, kawan saya, supir bus, dan dua orang tua. Yang lainnya, yang kebanyakan anak muda, tetap duduk dengan santainya.
Menginap Gratis di Hotel
Siang hari kami sampai di Shiraz. Kami menginap di Niayesh Boutique Hotel yang letaknya sangat strategis. Hanya perlu berjalan kaki menuju tempat-tempat wisata di Shiraz. Hotel ini sangat terkenal di Shiraz, sehingga saya tak perlu menjelaskan apa-apa kepada sopir taksi di mana letak hotel ini.
Mungkin kalian tak percaya kalau kami menginap di sini gratis. Bukan karena di-endorse, tapi karena sang manajer adalah member couchsurfing dan menawarkan kami untuk menginap di sana. Kami diberi dua bed di mix dormitori room yang walaupun letaknya di basement, namun lega dan terang. Kekurangannya hanya satu, toiletnya ada di lantai atas.
Niayesh Botique Hotel ini punya 7 buah bangunan. Yang kami tempati adalah bangunan ketiga, yang dipisahkan oleh lorong-lorong dari yang pertama. Ya, untuk menuju bangunan kedua, kami mesti melewati lorong-lorong yang instagramble. Pastinya saya foto-foto di sana saat lewat.
Di tiap bangunan ada semacam open space yang isinnya restoran. Harga makanannya lumayan mahal sih, itu sebabnya saya tak pernah makan di situ. Ada pula rooftop yang bisa digunakan untuk melihat Shiraz dari atas. Di bangunan saya, rooftopnya dijadikan cafe, yang walaupun ada di hotel mewah, harganya tidak terlalu fantastis.
Di depan Niayesh ini ada agen perjalanan. Saya memesan tiket bus untuk menuju Isfahan di sana. Harganya tak berbeda dengan membeli di konter, hanya saja mereka mengenakan biaya tambahan.
Kakek Tua Guide Sukarno
Saya menginap tiga malam di sana. Di malam pertama, di kamar itu hanya ada 3 orang Rusia yang salah satunya berprofesi sebagai kameramen. Dia pernah mengunjungi Indonesia selama 3 bulan untuk meliput soal orang utan. Dua orang lagi saya lupa, tapi yang jelas mereka selama beberapa bulan ini berkeliling negara-negara Eropa dan Asia.
Di malam kedua, kami mendapat tamu tambahan: kakek-kakek Iran.
Di siang hari, saya sempat bertemu dia dan dia mengaku kalau ia masih keturunan pemilik hotel ini. Dia menawarkan saya untuk menonton konser biola kawannya di salah satu taman di Shiraz. Dia juga mengaku pernah menjadi guide Presiden Soekarno sewaktu ia berkunjung ke Iran dan melihat Persepolis.
Percaya nggak percaya, saya mengiyakan saja semua omongan kakek itu. Daripada kualat.
Kehadiran kakek itu mengubah banyak hal di kamar. Pemandangan saya, yang tadinya kasur kosong berganti dengan kakek-kakek. Apes.
Ia juga mengatur semua hal di sana. Mulai di mana handuk mesti diletakkan hingga di mana baju harus digantung. Kami juga tak boleh ngobrol kalau lampu sudah dimatikan, padahal malam sebelumnya kami melakukannya hingga larut malam. Tak boleh bersuara saat naik ke atas, yang agak sulit dilakukan, karena pintu kamar pasti berdecit saat dibuka. Walau agak sebal, semua menurut saja. Takut kualat juga mungkin.
Dari sekian banyak peraturan, yang paling saya syukuri adalah, si kakek memarahi para lelaki yang seenaknya saja hilir mudik di kamar dengan pakaian seadanya. Saya sebenarnya sudah beberapa kali terpaksa menginap di mix dorm, dan sudah mafhum dengan kebiasaan para bule yang seperti itu. Tapi menurut si kakek “its not polite, boys. Theres two young women here.”
Alhamdulillah Kek….
Next: Catatan dari Iran: Terpesona dengan Cahaya Masjid Nasir Al Mulk
3 Comments
Pingback:
Matius Teguh Nugroho
Syukur ya kak bisa dapet hotel gratis tanpa ada beban kewajiban nulis review buat barter kerjasama 😀
Peraturan kakek yang soal nggak boleh ngobrol setelah lampu mati sama nggak boleh berisik saat naik ke atas memang bikin gregetan sih. Itu kan bukan benar salah ya, kayak cuma preferensi dia aja. Apakah memang cuma ada dorm di situ, kak? Nggak ada kamar privat?
rahma
Wkwkw, beneer. Ga mikir dan mesti moto sna sini.
Hotel boutique itu sebenernya, kamar privat yang mahal-mahal. Cuma buat couchsurfing dia sediain dorm. Kalau soal ga berisik emang seharusnya hostel begiu sbenenrya, biar ga ganggu yg lain. Tapi masalahnya, kita semua yg ngobrol wkwk jadi ga ada yg keganggu. Pas ada kakek itu baru deh sunyi senyap.