D’Shafa Edufarm Malakasari: Oase Hijau yang Memberdayakan Perempuan

Jakarta selalu identik dengan gedung pencakar langit, jalanan padat, dan panasnya cahaya matahari. Tapi siapa sangka, di balik padatnya kawasan Malaka Jaya, Duren Sawit, Jakarta Timur, ada sebuah oase hijau yang menyejukkan mata sekaligus menumbuhkan harapan.

Namanya Edufarm D’Shafa Malakasari, sebuah pusat pertanian perkotaan yang bukan hanya tempat belajar menanam, tetapi juga ruang pemberdayaan bagi puluhan ibu rumah tangga di RW 5 Malaka Jaya.

Edufarm D’Shafa ini lahir dari mimpi seorang perempuan sederhana bernama Haryati. Bersama Kelompok Wanita Tani (KWT) D’Shafa, ia berhasil mengubah lahan kosong yang dulunya sempat menjadi tempat pembuangan sampah, menjadi lahan produktif yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.

Ia pun berhasil membawa para ibu rumah tangga untuk lebih produktif sehingga tak lagi bergantung pada pemberian suami.

Dari Pertanian Menuju Produk Turunan

Edufarm D’Shafa memang terasa berbeda dibandingnya lingkungan sekitarnya. Di bagian depan, di antara rimbunnya pepohonan, terdapat toko tempat Haryati dan kawan-kawan menjual dan men-display hasil olahan produk pertaniannya.

Di tengah-tengah lahan ada greenhouse berukuran sekitar 18 m x 5 m dengan 2.000 lubang hidroponik, yang menjadi tempat tumbuh berbagai sayuran. Kale, pakcoy, selada, kangkung, hingga mint tertanam di sana.

Di bagian belakang terdapat ruang pertemuan serta sebuah dapur besar tempat para ibu-ibu mengolah berbagai produk hasil pertanian, memasak catering pesanan, hingga mengemas produk yang akan dijual di galeri.  

Toko tempat mendisplay produk hasil olahan pertanian.

“Kalau datangnya pagi di sini ramai mbak, ibu-ibu tadi siapin pesanan katering. Sekarang tinggal Mbak Dea yang sedang mengemas kentang mustafa, ini sebagian pesananan orang, sebagian lagi kami letakkan di galeri (depan). Kami alhamdulillah harus ready stock, jaga-jaga kalau ada tamu yang tiba-tiba datang ke sini,” tukas Haryati mengenalkan kami kepada seoarang ibu yang sedang membungkus kentang mustafa ke dalam beberapa toples bening.

Selain menjual hasil pertanian, Haryati memang mengajak ibu-ibu untuk mengolah hasil itu menjadi produk-produk seperti keripik, camilan, minuman, hingga jamu herbal.

“Saya nggak puas kalau ini hasilnya hanya berupa hasil pertanian aja. Harus ada nilai tambahnya, dengan mengolah ini menjadi berbagai macam makanan dan minuman,” ujarnya.

Berawal dari Mimpi

Berawal dari lomba Gang Hijau, saya mengajak masyarakat di RW 05 untuk menghijaukan kawasan. Setiap keluarga saya minta menyumbangkan satu tanaman agar cepat hijau. Berat awalnya, tapi alhamdulillah kita menang,” kenang Haryati dengan senyum.

Kemenangan itu menjadi titik balik. Semangat Haryati kian berkobar untuk memanfaatkan lahan kosong di sekitar pemukiman. Salah satunya adalah lahan bekas pembuangan sampah seluas 200 meter di samping SMAN 44 Jakarta. Bersama tim PKK, ia merapikan area tersebut hingga pelan-pelan berubah menjadi lahan produktif.

Tidak puas hanya menjual hasil panen, Haryati dan ibu-ibu yang bergabung juga mulai melakukan pembibitan. Usaha sederhana ini justru semakin berkembang saat pandemi COVID-19 melanda. Tahun 2020, mereka merambah lokasi lain di Masjid Baiturrahim dan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) D’Shafa.

Uniknya, di masa sulit itu para bapak yang dirumahkan karena pandemi justru ikut terlibat. “Karena banyak bapak-bapak yang dirumahkan, lahan sebelumnya kami serahkan untuk mereka kelola,” ujar Haryati.

Mengangkat Potensi Perempuan Sekitar

Usaha yang makin berkembang membuat Pemda Jakarta Timur akhirnya memberikan lahan kosong untuk menjadi “markas” KWT D’Shafa. Lahan tak produktif seluas 2.000 meter yang sempat menjadi tempat pembuangan sampah itu berubah total menjadi sebuah pusat pertanian kota.

“Alhamdulillah dikasih lahan ini, tapi kemudian bingung. Ini lahan kosong gede mau diapaiin?  

Kini, wajah Edufarm D’Shafa benar-benar berbeda dari dulu. Di bagian depan, berdiri sebuah galeri mungil tempat hasil panen dan produk olahan dipajang: mulai dari keripik kale, jus sehat, minuman herbal, hingga bumbu dapur siap pakai. Di tengah terdapat greenhouse berukuran 18 x 5 meter dengan 2.000 lubang hidroponik, tempat pakcoy, kale, selada, kangkung, dan mint tumbuh subur. Di belakang, sebuah dapur besar selalu ramai oleh ibu-ibu yang memasak catering pesanan atau mengemas produk.

“Kalau datang pagi-pagi, suasananya ramai, ibu-ibu sibuk siapkan catering. Ada juga yang mengemas kentang mustafa untuk pesanan. Kami harus selalu ready stock, jaga-jaga kalau ada tamu datang,” cerita Haryati sambil tersenyum.

Namun, Haryati tak ingin berhenti hanya menjual hasil panen. “Saya nggak puas kalau hasilnya cuma berupa sayuran segar. Harus ada nilai tambahnya, makanya kami olah jadi macam-macam makanan dan minuman,” ujarnya. Dari situlah, lahir catering, snack box, hingga lunch box yang dipasarkan ke berbagai instansi.

Perjalanan D’Shafa tak selalu mulus. Pernah, mereka kesulitan distribusi pesanan. Solusinya, warga yang berprofesi sebagai ojol atau sedang dirumahkan ikut membantu. Belasan motor antre setiap pagi untuk mengantarkan catering ke berbagai lokasi. D’Shafa pun tak hanya memberi penghasilan tambahan bagi anggotanya, tapi juga membuka peluang bagi masyarakat sekitar.

Kesempatan semakin terbuka ketika D’Shafa berjejaring dengan Yayasan Astra – YDBA. Dari situ, mereka belajar manajemen bisnis: 5R, QCC, administrasi keuangan, hingga cara presentasi profesional. Haryati mulai menyadari bahwa bertani bukan hanya soal menanam, tetapi juga bisnis dengan rantai nilai yang luas. Kini mereka menjual bibit, paket edukasi, starter kit hidroponik, bahkan instalasi greenhouse. Dari hasil panen pun lahir inovasi produk bernilai tambah seperti keripik kelor, stick sayur, hingga minuman herbal.

Paket edukasi juga menjadi daya tarik. Dengan Rp35 ribu, anak-anak sekolah bisa belajar menanam, panen, lalu membawa pulang hasil dan camilan sehat. Kegiatan ini tak hanya mempercepat perputaran produk, tapi juga menanamkan kesadaran sejak dini tentang pentingnya pertanian kota.

Lebih dari 30 ibu kini aktif di D’Shafa. Setiap minggu, mereka bisa memanen 20–30 kilogram sayuran segar. Bagi banyak anggota, perubahan hidup terasa nyata. Dea, salah satu ibu yang bergabung sejak 2018, menuturkan, “Sekarang kalau gajian saya bisa membagi-bagi: untuk kebutuhan sehari-hari, beli baju, kosmetik, kasih ibu, kasih adik, bahkan ada tabungan. Rasanya bangga bisa mandiri.”

Nama D’Shafa sendiri diambil dari kata shifa yang berarti “obat”. Filosofinya sederhana namun kuat: mengajak masyarakat mengonsumsi makanan sehat, sekaligus memberi obat bagi masalah sosial ekonomi di sekitar. Dari lahan bekas sampah, kini lahir pusat pertanian kota yang memberi kehidupan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!