Cara Menerbitkan Buku di Penerbit Indie
Di pertengahan tahun 2024, Salman, salah seorang travel blogger, mengajak saya bergabung dalam buku antalogi bersama beberapa blogger lainnya. Saya langsung mengiyakan ajakannya karena tema yang dia tawarkan sangat menarik yakni “meet the strangers” alias bertemu dengan orang-orang baru selama perjalanan travelling.
Ditambah lagi, saya belum pernah membuat buku antalogi travel sebelumnya. Yaa, ini adalah buku antalogi travel pertama saya; dua buku sebelumnya (Keliling China Selatan hanya 3 Jutaan dan Discovering Uzbekistan) adalah buku tunggal.
Kalau buku-buku arsitektur, NGO, dan buku-buku kementrian tentu saya buat bersama tim. Tapi kalau nulis buku travel keroyokan, bakal beda rasanya, kan?

Sesuai judulnya, buku ini bercerita tentang pertemuan-pertemuan kami (tujuh orang blogger/penulis) dengan strangers, orang-orang baru yang kami temui selama perjalanan.
Saya menyumbang dua tulisan. Yang pertama adalah kisah tentang pertemuan saya dengan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Macau yang berkahir dengan kunjungan ke “markas” PMI di sana. Tulisan satunya adalah pengalaman saya bertemu dengan orang-orang “ajaib” ketika saya menginap di hostel, mulai dari hostel di Iran, Kazakhstan, hingga hostel di Uzbekistan.
Alasan Memilih Penerbit Indie
Nah, berbeda dengan buku-buku saya sebelumnya, buku ini diterbitkan oleh penerbit indie, bukan penerbit mayor. Buku-buku interior dan arsitektur saya (yang saya lupa apa saja karena dua bulan sekali saya ditargetkan untuk menulis satu buku), tentu saja diterbitkan oleh Kompas Gramedia, tempat saya bernaung.
Buku travel pertama saya, “Keliling China Selatan hanya 3 Jutaan“, diterbitkan oleh Mizan Publishing, sementara buku travel kedua saya “Discovering Uzbekistan” diterbitkan oleh Diva Press yang berbasis di Jogja.
Kami memilih penerbit indie dengan alasan kemudahan dan kecepatan. Menembus penerbit mayor, apalagi saat ini, sangat sulit. Apalagi ini adalah buku antalogi, yang menurut kawan saya yang bernaung di GPU Gramedia, lebih sulit untuk disetujui diterbitkan ketimbang buku penulis tunggal.
Saya juga coba menghubungi Diva Press, penerbit saya sebelumnya. Sayangnya, karena kondisi ekonomi dan makin menurunnya pembeli buku, Diva Press mulai mengurangi menerbitkan buku-buku baru, apalagi yang bergenre travel seperti ini.
Atas dasar pertimbangan itulah, akhirnya kami sepakat memilih penerbit indie.

Penerbit Indie vs Mayor
Karena pernah menerbitkan buku di dua jenis penerbit ini, saya jadi merasakan sendiri beda keduanya. Menerbitkan buku di penerbit mayor, tentu saja, memiliki kebanggaan tersendiri karena tidak semua penulis bisa diterbitkan bukunya di penerbit mayor. Mereka tentu menerapkan kriteria dan seleksi yang ketat. Sementara di penerbit indie, siapa saja bisa menerbitkan buku.
Namun pastinya, ada beberapa keuntungan dan kekurangan lain kalau menerbitkan buku di penerbit mayor dan indie, dari kacamata saya tentunya. Nah, saya rangkum dalam bentuk poin aja ya, supaya lebih gampang dibaca.
Keuntungan Menerbitkan Buku di Penerbit Mayor
- Tidak harus membayar apapun karena mereka lah yang akan membayar kita. Pembayarannya ada dua jenis, yakni royalti dan beli putus dengan jumlah dan ketentuan tergantung kesepakatan antara penulis dengan penerbit. Biasanya royalti berkisar 8-15 persen, tergantung kepopuleran si penulis. Makin populer, makin kuat posisi si penulis untuk meminta royalti yang lebih besar.
- Tidak perlu memikirkan masalah promosi, pemasaran, dan penjualan, karena mereka yang mengatur semuanya.
- Buku bisa didapatkan di toko buku di seluruh Indonesia.
- Akan ada editor, yang bukan hanya mengedit ejaan dan typo, tapi juga men-suggest beberapa hal agar tulisan menjadi lebih enak dibaca.
Kekurangan Menerbitkan Buku di Penerbit Mayor
- Tidak semua bisa menerbitkan buku di sana
- Waktu terbit bisa lama, apalagi kalau baru pertama kali menerbitkan di sana.
- Layout terserah mereka, tidak bisa menyarankan jenis layout tertentu. Ini terjadi dengan buku Discovering Uzbekistan. Sebenarnya saya tidak terlalu sreg dengan layout isi buku yang terlalu ramai, namun sayangnya saya tidak bisa minta layout diubah karena itu hak prerogatif penerbit.
Keuntungan Menerbitkan Buku di Penerbit Indie
- Siapa saja bisa menerbitkan buku di sana
- Bisa memilih penerbit yang sesuai dengan gaya dan selera.
Kekurangan Menerbitkan Buku di Penerbit Indie
- Kita harus membayar jasa untuk menerbitkan buku. Biayanya tergantung paket yang dipilih. Di penerbit El lunar yang kami gunakan, biayanya mulai dari 800 ribuan. Biaya ini termasuk layout cover dan isi, ISBN, editing standar (typo dan EYD), serta 6 eksemplar cetak.
- Pemasaran dan penjualan harus dilakukan sendiri. Beberapa penerbit juga memiliki toko online, sehingga pembelian bisa dilakukan lewat sana.
- Jika memilih paket standar, editing hanya berupa editing ejaan. Editor tidak akan memeriksa alur cerita, menyunting naskah yang terlalu panjang, dan sebagainya. Jadi sebelum masuk cetak, penulis harus memastikan sendiri kalau tulisannya sudah memiliki alur yang baik.
Karena editornya kebanyakan hanya memeriksa ejaan ini lah, saya suka gemas dan gataal kalau melihat tulisan di buku yang alurnya kacau balau. Maklum, naluri editor saya masih melekat kuat 😀
Pengalaman Menerbitkan Buku di Ellunar
Kami memilih Ellunar karena dua orang penulis, Yayan dan Heru, sudah pernah menerbitkan buku di sana. Dan review mereka cukup positif soal penerbit ini. Karena itulah, kami segera mengiyakan dan Salman segera menghubungi Ellunar.
Ada beberapa paket yang ditawarkan, kami memilih paket Rekomendasi (R) karena setelah dihitung-hitung dan ditimbang-timbang, ini paket yang pas buat kami.

Harga ini adalah harga untuk 100 halaman A4. Karena naskah kami lebih dari 100 halaman, kami harus menambah biaya Rp2.500 per halaman. Total kami harus membayar sebesar 980 ribu rupiah. Karena kami bertujuh, kami bisa urunan; masing-masing membayar 140 ribu rupiah. Enak juga sih ya..
Setelah mengirim naskah komplet (termasuk foto dan blurb), seminggu kemudian mereka mengirim inovice. Beberapa hari selanjutnya, mereka kirim surat pernyataan yang harus dibubuhi tanda tangan di atas materai. Proses ini yang lumayan bolak balik dan merepotkan karena kami harus tiga kali mengirimnya.
Di surat yang pertama, Salman lah yang diminta menandatangani surat, karena memang dia yang bertindah sebagai koordinator kami. Namun kemudian, surat itu harus diubah dan ditandatangani oleh saya, karena di urutan penulisan, nama saya ada di halaman paling depan.
Alhasil, saya harus bolak balik mencari tempat mem-print, karena saya tak punya printer di rumah. Semua tukang print dekat rumah saya pulang kampung karena masih dalam suasana Lebaran. Saya terpaksa pergi ke tempat print yang jauh dari rumah.
Setelah dikirim, ternyata ada kesalahan nama penulis; nama Salman tertulis dua kali. Surat mesti dikirim lagi dan terpaksa saya mengulangi lagi bolak balik saya tadi.
Proses Layout dan Editing
Sebulan setelahnya, kalau saya tak salah ingat, proses layout dan editing selesai. Mereka mengirimkan filenya dan kami diminta mengecek hasilnya dan menginfokan jika ada koreksi yang harus dilakukan. Kami diberi kesempatan satu kali koreksi saja.
Saya agak kaget sebenarnya, karena di flyer ditulis kalau kami akan dibuatkan Grup WA bareng redaksi, tapi nampaknya ini tak terjadi. Tau-tau, PDF sudah dikirimkan. Mungkin mereka mengejar agar bisa cepat terbit.

Hasil editing dari editornya bagus, setidaknya di beberapa tulisan yang sempat saya baca. Ejaannya tepat, walau memang, sesuai yang tertera di paket, ia tak membetulkan alur cerita apalagi menyusun ulang kalimatnya.
Setelah proses koreksi selesai, dua bulan kemudian, alhamdulillah buku kami naik cetak dan terbit di akhir Juni. Jadi yaa…kira-kira dari awal pembayaran dan pengiriman naskah (awal bulan Februari) hingga akhirnya selesai cetak, kurang lebih memakan waktu empat bulan.
Nah, buat yang penasaran dengan bukunya dan cerita-cerita di dalamnya, silakan DM saya atau para penulis lainnya untuk beli yaaa atau bisa juga cek di marketplace Ellunar.



24 Comments
Lendyagassi
Covernya cantiikk, cerah dan menggambarkan isinya sekali, tentang traveller.
Sukka banget dengan perjalanan lahirnya buku antologi pertama.
Kereeen, kaa.. uda biasa menulis.. jadi lihai dalam memberikan sentuhan-sentuhan cantik di sepanjang cerita.
Heni Hikmayani Fauzia
Dari pengalaman saya menerbitkan beberapa artikel bersama penulis lainnya menggunakan penerbit Indie juga. Lebih fleksibel dan dijamin naskah pasti terbit. jadi yaa seneng gitu akhirnya karya kita dibuat dan dicetak dalam satu buku.
Hidayah Sulistyowati
Baru tahu kalo menerbitkan buku di penerbit indie bisa dengan biaya minim, apalagi antologi ini bisa diatur bareng gitu. Duluuu banget aku pengen bisa menerbitkan buku tapi gagal karena penerbit mayor sangat susah ditembus. Meski ada plus minusnya, paling tidak ada kelebihan bagi penulis yang ingin nyobain nyetak buku sendiri. Makasih informasinya ya mbak, sangat terbantu dengan penjelasannya.
Hidayah Sulistyowati
Baru tahu kalo menerbitkan buku di penerbit indie bisa dengan biaya minim, apalagi ini antologi ya bisa diatur bareng gitu. Duluuu banget aku pengen bisa menerbitkan buku tapi gagal karena penerbit mayor sangat susah ditembus. Meski ada plus minusnya, paling tidak ada kelebihan bagi penulis yang ingin nyobain nyetak buku sendiri. Makasih informasinya ya mbak, sangat terbantu dengan penjelasannya.
Aisyah Dian
lho mbak nerbitin buku indie gini terjangkau ya apalagi kalau barengan antologi gini misal 10 orang cuma 100k saja seru nih ajakin genk rumpi bikin buku yang bermanfaat … kalau tembus penerbit mayor susyeh soalnya
rahma ahmad
Beneer…kmrn aku total-total sekitar 145 rbu per orang. Murah meriah
Jiah Al Jafara
Selamat buat bukunya. Aku sampai sekarang belum ada buku sendiri. Kalau nanti memamg mau, Penerbit Indie emang jadi salah satu pilihan dengan berbagai ketentuan termasuk soal editing. Apa pun itu, semoga bisa menularkan semangat dan manfaat untuk banyak orang
antung apriana
selamat atas kelahiran buku barunya, mbak. baru tahu diriku kalau dirimu juga seorang arsitek. menerbitkan buku secara indie itu memang kadang terkendala di editing ya biasanya dan pastinya juga penulis harus benar-benar bisa mempromosikan bukunya tersebut
rahma ahmad
Lulusan arsitek lebih tepatnya mbaak….wkwk, skrg ga berkecimpung langsung di dunia arsitektur. 😀
Okti
menerbitkan buku saat ini bukan sebuah hal sulit lagi ya
Tak seperti dulu naskah masuk penerbit (mayor) itu rela nunggu antrian sekian lama itu pun belum tentu diterima diterbitkan
Alhamdulillah nih sekarang lebih mudah kalau menerbitkan dengan penerbitan sendiri
bisa menyesuaikan keinginan juga
rahma ahmad
Betul Mbak. Jadi makin memacu penulis-penulis baru buat nerbitin buku.
Yonal Regen
Sekarang banyak orang bisa menerbitkan buku dengan mudah karena kehadiran penerbit indie yang bisa menjadi solusi. Tinggal kita rajin membuat draft sampai finalisasi menulis, ya, kan
rahma ahmad
Naah, ngumpulin niat buat nulis itu bagian yang paling susah. 😀
Hidayah Sulistyowati
Kalo nerbitin buku secara indie bisa murah begini oke juga sih. Karena kalo pilih penerbit mayor susah di proses seleksinya, hahahaa. Tapi tetap ya butuh niat, eksekusi ide sampai selesai, jadi angan angan menerbitkan buku bisa terealisasi.
Didik Purwanto
Loh ternyata terjangkau ya kalo ingin menerbitkan buku di penerbit Indie. Dulu ada sih yg gratis. Tp kan hrs desain cover, daleman, hingga urus ISBN sendiri. Kalo ditotal2 ya malah bs lbh sih krn kita ga th harga pasaran dan selera pasar spt apa.
Smg antologi travelingnya ini laku keras ya kak. Dan smg bs jalan2 lgi dan nulis cerita yg seru kayak dua buku sebelumnya.
rahma ahmad
Wah, aku malah baru tau ternyata ada yang gratis. Repot tapinya ya, karena ga semua orang punya kemampuan buat desain, apalagi buat apply ISBN.
Aaamiin buat doa-doanya juga, Mas Didik
Leila
Bahkan “hanya” pengecekan ejaan pun terkadang masih seadanya, lho. Gemes, kan. Tapi memang nggak semuanya begitu sih. Yang editornya teliti juga ada, sampai kasih masukan berharga juga.
Nah, bikin buku bareng sama teman-teman yang jelas punya hobi yang sama ini juga menarik banget sih. Kebayang beberapa tahun lagi bisa bikin buku lanjutannya mungkin, atau minimal konten seru-seruan mengenang buku ini saat dibuat dan bagaimana perkembangan penulis atau tempat yang dituju kemudian.
rahma ahmad
Iya bener mbak, ini aku lagi baca buku. Baru dua halaman pertama udah nemu 10 kesalahan ejaan. Gateel aku pengen ngedit
Tanti Amelia
Kok relate banget ya mbak tulisannya, pas banget aku ingin menerbitkan buku indie juga!
Yaa bener banget! Menerbitkan buku indie bukan hanya soal menyalurkannya ke penerbit, tapi bagian dari perjalanan kreatif dan usaha membangun audiens. Artikelmu menjadi panduan hangat dan inspiratif untuk siapapun yang ingin melihat imajinasinya jadi buku nyata.
Terima kasih atas sharing-nya—semoga semakin banyak penulis pemula yang termotivasi mewujudkan karya mereka sendiri dengan penuh kesiapan.
rahma ahmad
Ayoo mbak semnagat buat terbitin bukunya.
Didik
Menarik sekali pengalamannya. saya pun dari dulu pengen banget punya buku sendiri atau tulisan saya bisa dijadikan buku. tp belum kesampaian. padahal tulisan sudah banyak.
jadinya masih asyik nulis blog saja. lumayan juga pembaca setianya. (sombong amat). hehehe
Yayu Arundina
Pengalaman seru yah menerbitkan buku keroyokan atau antologi dengan penerbit indie. Apalagi kalo banyak yang suka dengan bukunya. ketagihan pastinya. saya juga pernah. Pengennya bisa menerbitkan buku di penerbit mayor. belum kesampaian, sayang kondisi ekonominya tidak sestabil dulu yah.
Gita Siwi
Wah sebuah pengalaman menarik ya. Kayak musik juga ya ini merekam dengan label/indie. Nah mba royalti buku itu selama kita hidup gitukah ? Atau bahkan bisa diteruskan anak andai seorang penulis wafat?
rahma ahmad
Bisa diteruskan ke ahli warisnya mbak. Tapi harus hubungi si penerbit karena masuknya kan ke rekening si penulis.