KRL Jabotabek, Dulu dan Kini

 

IMG_20191117_134904-01

Oktober 1999, jam 06.30

Ting..tong..ting… tong….

Bunyi bel di persimpangan kereta Kalibata berbunyi. Saya lari-lari mengejar kereta KRL Ekonomi ke Stasiun UI. Kuliah akan dimulai jam 08.00, sehingga saya harus naik kereta pukul 06.30. Kereta hanya ada setengah jam sekali, itu pun kalau saya beruntung bisa masuk ke dalamnya.

Di pintu stasiun Kalibata ada penjaga berseragam PT KAI. “Abu, Pak,” teriak saya ke arahnya sambil terus berlari. Abu adalah singkatan dari abudemen, alias karcis bulanan yang saat itu harganya Rp 17.500 untuk pemakaian selama sebulan.  Si petugas percaya saja, tak memeriksa lagi abudemen saya.

Kereta KRL ke Depok datang. Penuh sesak hingga ke pintu, tapi saya tetap harus masuk. Saya melirik ke atap kereta, di sana sudah penuh juga dengan orang-orang yang duduk karena tak ada lagi tempat. Padahal sebulan sebelumnya, ada satu penumpang yang duduk di atap terkena tegangan listrik di perlintasan KA, sehingga terjatuh dan langsung meninggal dunia.

Saya tak punya pilihan. Saya mesti berdesakan di antara para penumpang, laki-laki dan perempuan, bahkan kadangkala bersama ayam dan sayuran. Saya harus menyeimbangkan diri karena saya tak bisa berpegangan, tubuh terhimpit di kanan-kiri, bahkan kaki saya tak menapak ke lantai kereta. Keringat bercucuran deras karena udara hanya dari jendela yang setengah terbuka. Tak ada kipas angin apalagi AC. Baju kuliah basah dengan keringat, bedak yang saya taburkan tadi pagi di wajah tak ada bekasnya.

Begitulah perjuangan saya dan kawan-kawan setiap hari, dari stasiun Kalibata menuju stasiun UI. Kereta adalah sarana tercepat saya untuk sampai ke kampus, walau harus saya lalui dengan penuh cucuran keringat.

Oktober 2019, 06.30, Dua Puluh Tahun Kemudian

Saya kembali naik kereta ke stasiun UI, di rute dan jam yang sama dengan yang saya lalui dua puluh tahun dulu.

Kali ini, tak ada lagi teriakan “abu” ke petugas. Saya tinggal men-tap kartu elektronik di gerbang masuk, lalu menunggu kereta di peron. Peron Kalibata yang dulu berantakan kini berbeda. Bersih, teratur, dan lebih modern. Pintu masuk hanya satu, dilengkapi dengan mesin scan tiket elektronik sehingga hanya orang memiliki tiket yang bisa masuk ke sini. Dulu, orang bisa masuk dari arah mana saja: pintu samping, pagar yang bolong; sejauh tak terlihat petugas KAI.

Kereta saya datang. Saya melirik ke atas atap kereta. Lega, tak ada lagi yang duduk di atap. Penampilan kereta pun lebih menarik, dengan warna-warni iklan ataupun mural lainnya. Tak kusam dan kaku berwarna abu-abu seperti kereta zaman saya kuliah dulu.

Saya naik di gerbong wanita yang bagian luarnya diwarnai dengan warna merah muda. Semua kursi yang empuk penuh dengan mahasiswi berdandan modis dan cantik. Mereka tak lagi perlu bercucuran keringat seperti saya dulu karena kereta ini dilengkapi dengan AC dan tambahan kipas angin yang sejuk. Mereka juga tak perlu berlari-lari dan was-was tertinggal kuliah karena jadwal kereta yang pasti dan hadir setiap lima belas menit sekali.

Pintu tertutup rapat secara otomatis, kereta berangkat. Saya ingat dulu, pintu selalu terbuka lebar. Jikalau saya kebagian berdiri dekat pintu, saya deg-degan setengah mati, takut terlempar ke luar.

Tak ada teriakan pengamen, pedagang kaki lima, tukang sayuran, tukang ayam yang dulu mengganggu ketenangan saya menghapal bahan kuliah atau bahan presentasi.

Kereta Jabotabek saya sudah makin modern, nyaman, aman, dan jauuh lebih baik.


Pernah merasakan naik kereta zaman dulu dan sekarang membuat saya sangat bangga dengan kemajuan yang dicapai Kementrian Perhubungan selama beberapa tahun terakhir ini.

Menurut info yang saya dapatkan, Kementrian Perhubungan melalui PT KCI (PT Kereta Commuter Indonesia) memulai modernisasi angkutan KRL Jabodetabek pada tahun 2011. Saat  itu mereka mengubah nama KRL ekonomi AC menjadi kereta Commuter Line. Mereka juga menyederhanakan rute yang ada menjadi lima rute utama saja dan menghapus KRL Pakuan Express yang membuat perjalanan KRL Ekonomi menjadi terhambat. Ya, saat ada KRL Express, KRL Ekonomi  yang selalu saya naiki harus mengalah, menunggu entah berapa lama di stasiun Pasar Minggu.

Ada pula gerbong khusus wanita, yang walaupun hanya dua gerbong, cukup membuat wanita seperti saya merasa lebih nyaman dan aman. Kata dosen arsitektur saya dulu, setiap orang punya space nyaman tersendiri. Dan ukuran space sesama jenis (wanita dengan wanita misalnya) lebih rapat sehingga secara psikologis berada di gerbong yang semuanya wanita akan membuat si wanita merasa nyaman meskipun kereta dalam keadaan penuh.

Air conditioner pun diadakan di setiap kereta, kadang ditambah dengan kipas angin sehingga udara di dalam kereta menjadi lebih sejuk. Nggak perlu keringetan seperti saya dulu. 

Proyek modernisasi kereta Jabodetabek itu dilanjutkan dengan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta. Dulu, waktu jalur kereta belum disterilisasi dan dipagari, saya pernah kena batu yang ditimpuk oleh preman yang berkelahi di jalur kereta.

Stasiun yang makin berbenah. Sumber: beritajakarta.id
IMG_20191117_134923-01.jpeg
Membenahi fasilitas stasiun adalah salah satu hal yang dilakukan.

Stasiun kereta pun dipercantik dan diperbaiki fasilitasnya. WC umum yang dulu saya lewati saja membuat malas, sekarang lebih bersih. Stasiun Kalibata, Palmerah, Serpong dan stasiun-stasiun lain menjadi lebih baik penampilannya. Cantik seperti di luar negeri.

Bahkan yang saya cukup suprise, di stasiun Juanda dan beberapa stasiun besar lainnya ada co working space. Penumpang kereta seperti saya bisa menumpang bekerja di situ secara cuma-cuma, sambil menunggu keberangkatan kereta.

IMG_20190907_161742
Workingspace gratis di Stasiun Juanda

Pada 1 Juli 2013. mulai diterapkan sistem tiket elektronik (E-Ticketing) dan sistem tarif progresif. Makin jauh jaraknya, makin mahal harganya. Fair sih buat saya. Sistem elektronik ticket ini juga memudahkan saya dan para pengguna kereta lainnya. Tinggal tap tanpa harus mengantri lagi di loket. Persis di luar negeri.

Dari data yang saya intip di situs PT KAI Indonesia, hingga Juni 2018 lalu, KCI telah memiliki 900 unit KRL, dan akan terus ditambah di tahun 2019 ini. Dengan bertambahnya jumlah unit kereta ini, frekuensi kereta makin banyak sehingga ujung-ujungnya, perjalanan kereta akan semakin cepat, aman, dan makin nyaman.

KAI

Sinergi dengan Kereta Bandara

Sejak Januari 2018, KRL Jabodetabek alias Commuter Line juga sudah bersinergi dengan kereta bandara Soekarno Hatta. Dengan begini, pengguna bandar Soekarno Hatta dapat langsung meneruskan perjalanan ke stasiun terdekat. Seperti saya misalnya, saya bisa naik kereta bandara hingga Manggarai, lalu berpindah peron menuju kereta Commuter Line jurusan Kalibata.

Mudah, aman, cepat dan nyaman.

Dibangunnya kereta bandara ini seperti menjawab impian saya. Ketika travelling ke Bangkok lima tahun silam, saya bertanya-tanya kapan Jakarta bisa memiliki kereta yang menghubungkan bandara dengan pusat kota. Kereta yang tepat waktu dan anti macet. Makanya, ketika Kementrian Perhubungan melaunching kereta bandara ini di 2 Januari 2018, saya amat gembira.

56932684ka1.jpg
kereta bandara yang terintegrasi dengan dua stasiun KRL Jabodetabek. Foto: railink.co.id

Rasanya, kemajuan transportasi dan perhubungan di Indonesia semakin terlihat saja. Apalagi di Agustus 2019 lalu, rute kereta Bandara diperpanjang hingga stasiun Manggarai.

Kabarnya, selain di Jakarta dan Medan, kereta bandara ini akan dibangun juga di Bali, Surabaya, Bandung, dan Makassar. Kita tunggu saja…

Untuk melihat perkembangan pembangunan dari Kementerian Perhubungan bisa melalui:

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!