Myanmar Day 2: Bagan, Kota Seribu Kuil

Setelah melepas penat, saya dan kawan mmemulai perjalanan di Bagan, kota seribu kuil yang misterius. Suasana Bagan yang masih langsung lengang dan tenang mengingatkan sa akan kota-kota kecil di Jawa Tengah. I like it..

Ada banyak cara mengitari Bagan. Yang paling sering dipilih para turis adalah sepeda berdinamo. Cara ini disukai karena murah. Peminjam sepeda hanya dikenai biaya 2.500 kyat per hari. Cara ini sebenarnya menyenangkan, asalkan fisik kuat dan tahan panas. Ya, Bagan terkenal sebagai daerah yang panas, tandus dan berdebu. Terutama di Old Bagan, tempat kuil-kuil berada. Sebagian besar jalan di sana masih berupa tanah berdebu, yang akan semakin berdebu saat ada sepeda dan delman melintas.

Daripada terus terusan tertimpa debu, kami memilih cara lain yang (sayangnya) lebih mahal: naik horse cart alias delman. Delman ini bisa disewa per hari, mulai dari sunrise hingga sunset. Biaya sewanya tergantung negosiasi dengan si kusir. Biasanya berkisar antara 10.000-15.000 per delman.

Berhubung tak punya catatan sama sekali, kami pasrah saja dengan rute yang ditawarkan Pak Delman. Saya hanya mengingat beberapa nama kuil, yang sempat saya baca selintas sebelum terbang ke Myanmar, ditambah nama-nama dari peta Bagan, yang ajaibnya sempat saya cetak sebelum berangkat.

Perjalanan dimulai dari Shwezigon Pagoda, pagoda emas yang terletak tak jauh dari Terminal Bus. Konon, pagoda yang amat mirip dengan Shwedagon Pagoda di Yangon ini dibangun karena mimpi Raja. Di mimpi tersebut, Raja melihat seekor gajah putih (hewan yang disucikan) membenamkan kepalanya di dalam gundukan pasir. Nah, untuk menangkal bencana, di tempat itu dibangun sebuah pagoda.

Shwezigon Pagoda

Penjelajahan dengan delman pun dilanjutkan ke area Old Bagan, di mana kuil-kuil lama berada. Old Bagan ini cukup besar, sebenarnya tak cukup jika dijelajahi hanya dalam satu hari. Namun, mengingat pengalaman di Angkor Wat, kami tak ingin menjelajahi satu persatu kuil di sana. Kala di Angkor Wat, kami mabuk kuil, sehingga di akhir, kami tak terlalu antusias melihat kuil.

Sang kusir dan kudanya membawa kami ke sebuah kuil kecil yang saya tak ingat lagi namanya. Di kuil ini, kami bisa naik ke atas sambil melihat pemandangan. Wow, ternyata Bagan memang benar-benar kota seribu kuil. Di depan mata, yang tersaji hanyalah kuil dan kuil, dalam bentuk dan ukuran yang berbeda.

Random temple. Di atasnya ada pelataran yang bisa dinaiki.

Setelah selesai berfoto ria di pelataran candi yang panas, kusir membawa kami ke sebuah restoran vegetarian. Yeay, makan! Tak seperti di Yangon dan Mandalay, sulit menemukan restoran berlabel halal di sini. Alhasil, kami meminta pak kusir untuk membawa kami ke restoran vegetarian. The Moon, nama restoran itu. Makanannya cukup enak, tempatnya cukup nyaman, dan harganya tidak terlalu mahal. Saya tak ingat menu apa yang saya makan, yang saya ingat adalah saya minum dua gelas Lessi, sejenis yogurt yang dicampur dengan jus buah. Harganya hanya 700 kyat, dan rasanya….mantap!!

Outdoor area di The Moon.

Perjalanan dilanjutkan menuju HtilMinlo Temple. Kuil yang dibangun di tahun 1211 ini termasuk kuil yang sangat dilindungi pemerintah Bagan. Di dalam kuil ini sebenarnya terdapat banyak pahatan yang indah. Sayangnya, saat gempat besar melanda Myanmar, kuil ini runtuh. Proses rekontruksinya tidak terlalu baik, sehingga bagian dalam hanya dilapisi dengan plesteran kasar saja.

HtilMinlo Temple. Katanya, di senja hari, temple ini amat indah.

Tujuan selanjutnya adalah Ananda Temple, kuil tersuci di Bagan. Namun sebelum mencapai kuil itu, kami dibawa ke beberapa kuil lagi, yang entah bernama apa. Di kuil-kuil kecil tersebut, saya diikuti beberapa pedagang kecil. Ketika saya menolak tawaran barang mereka, mereka meminta uang Rupiah sebagai tanda mata. Dengan bahasa Inggris yang baik, mereka tak segan-segan mengobrol dan berbagi cerita.

Seperti sebuah templete, begitu dagangan ditolak, mereka akan menanyakan asal usul. Begitu dijawab Indonesia, mereka langsung sumringah, dan berkata bahwa jarang sekali orang Indonesia berkunjung ke sana, apalagi yang mengenakan hijab seperti saya. Ajaibnya, begitu dengar kata Indonesia, mereka langsung menghentikan kegiatan “memaksa”, dan berganti dengan obrolan ramah. Hal ini nampaknya tak terjadi pada turis Barat. Para pedagang cilik itu terus saja menguntit mereka. Entah apa sebabnya. Mungkin karena kedekatan emosional dengan Indonesia (sesama negara ASEAN), atau mereka pikir orang Indonesia tak punya uang banyak?

Ananda Temple berbeda dengan kuil lainnya yang terbuat dari bata, kuil ini bercat putih. Entah memang begini asalnya, atau ini akibat restorasi yang dilakukan setelah terkena gempa. Yang jelas, temple ini sejatinya memang indah. Konon, karena indahnya, temple ini sempat dijuluki sebagai Westminster Abbey-nya Burma.

Sayangnya, seperti kuil lainnya di Bagan, Ananda temple tidak terestorasi dengan baik. Elemen-elemen arsitektur yang indah seperti pahatan di dinding hilang ditelan pleseteran dan cat. Ditambah lagi perawatan yang kurang baik, membuat kuil-kuil di Bagan sangat kotor. Jauh berbeda dengan kuil-kuil di Angkor Wat.

Bagian luar Ananda Temple

Di dalam Ananda Temple ini, saya sempat bertemu seorang biksu. Awalnya saya mendengar lantunan irama dari salah satu ruang di dalam kuil. Irama merdu itu sangat mirip dengan lantunan suara Qori saat membaca ayat Al Quran. Tergerak saya untuk mendekatinya. Dengan bahasa Inggris terbata-bata, si biksu yang sedang duduk sambil membaca kitab mempersilakan saya masuk ke ruangan itu. Saya bilang, ayat yang dia baca dari kitab di depannya terdengar sangat mirip dengan lantunan kitab dari agama saya. Ia meminta saya mencontohkannya. Saya akhirnya membaca surat Al Fatihah, dengan cara yang sangat biasa. Saya, kan, bukan qoriah yang pandai melantunkan Al Quran dengan suara indah. Namun ternyata suara itu sudah cukup membuat dia kagum. Dia bilang, suatu hari, dia akan pergi ke Mandalay, mencari masjid dan mendengarkan ayat-ayat AlQuran. Ah, jadi terharu!

Biksu yang sedang membaca kitab.

Perjalanan di Bagan terus berlanjut ke beberapa kuil, dan akhirnya berakhir di Shwesandaw Temple untuk menikmati sunset. Temple ini terletak cukup tinggi dan memiliki pelataran cukup luas sehingga menjadi tempat favorit untuk menunggu matahari terbenam. Sayangnya, saat itu awan mendung menutupi tenggelamnya matahari, sehingga sunset di Bagan yang konon sangat indah itu tak dapat saya nikmati.

Note:
 – Tak ada biaya masuk ke tiap temple, tapi untuk memasuki Bagan, kita diharuskan membayar admission fee sebesar $15.
– Semua temple mengharuskan pengunjungnya membuka alas kaki, termasuk kaus kaki. Jadi lebih baik, gunakan alas kaki yang mudah dibuka.
– Hampir seluruh lantai temple dipenuhi kotoran burung yang mengering. Sediakan tissu basah untuk membersihkan kaki.

Artikel ini telah diterbitkan di Tabloid RUMAH edisi April 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!