Backpacking ke Kamboja dan Vietnam: Keliling Phnom Penh
Setelah pasrah di dalam bus umum selama enam jam (baca: Drama di Bus Kamboja), kami sampai di Phom Penh. Begitu keluar dari tempat bus, puluhan sopir tuk-tuk langsung menghampiri bak semut mengerubuti gula. Males dengan keributan dan keramaian itu, kami berjalan sedikit mencari tempat yang lebih sepi. Di sana, kami menawar tuk-tuk seharga $10 untuk mengantar kami ke hotel, sekaligus mengantar kami ke Killing Field.
Hotel yang kami tempati ternyata cukup bagus. Namanya Indochine. Letaknya ga jauh dari pinggir Sungai Mekong (bahasa kerennya Riverside) dan Royal Palace.
Oya, nama jalan di sini unik. Namanya berupa angka, jadi ada st 123, st 124, dan seterusnya. Enak, karena jelas mesti nyari ke mana dan berapa jauh dari tempat kita berada.
Baca Juga: Makanan Halal di Phom Penh
Setelah cuci muka, pakai bedak dan minyak wangi, kami pun diantar ke Killing Field. Ternyata letaknya lumayan jauh, sekitar 45 menit dari hotel. Sepanjang perjalanan, yang kami lihat adalah jalanan yang sedang digali, yang berdebu dan berpolusi. Selepas dari kota, barulah terlihat area pinggiran Phnom Penh yang mirip mengingatkan saya dengan area pedesaan di Sumatera.
Saya pikir, di Killing Field ini, saya akan menemukan bangunan besar dengan museum dan sebagainya. Saya sudah menganalogikannya dengan Lubang Buaya, karena sama-sama tempat pembantaian. Ternyata hanya ada satu monumen tinggi, tempat 9.000 tengkorak bekas pembantaian Khmer ditaruh.
Sebagai informasi, dulu di Kamboja ini dikuasai oleh rezim Khmer yang dipimpin oleh PolPot. Ia memerintah dengan cara diktator namun juga membunuh banyak orang dengan cara kejam. Kata sejarah sih, tujuannya untuk membersihkan etnis Khmer. Mereka dibunuh dengan disiksa ataupun dengan genosida. Dan di antara orang-orang yang dibunuhnya itu terdapat banyak ilmuwan, artis, politikus, dan orang-orang pintar, yang dikhawatirkan akan membangkang terhadap mereka.
Di belakang monumen tersebut, terdapat lubang-lubang yang konon adalah tempat mayat-mayat dikubur. Selain itu, ada gubuk-gubuk tempat pembantaian. Ada gubuk untuk pembubuhan bayi, ada juga khusus wanita. Cukup membuat saya merinding dan tak mau berlama-lama di sana..
Selepas dari ladang pembantaian yang mengerikan itu, ada dua pilihan menghadang. Ben Tanh Market atau Russian Market. Entah kenapa, saya selalu suka liat pasar. Menurut saya, pasar mewakili kehidupan masyarakat sebenarnya. Tapi karena waktu tak cukup untuk mencapai keduanya, akhirnya kami memilih Ben Tanh Market. Alasannya simpel. karena ia lebih dekat dengan hotel kami.
Ben Tanh market adalah sebuah pasar tua di yang gedungnya bergaya Perancis. Gedungnya berbentuk lingkaran, berwarna kuning, dan di bagian tengahnya berbentuk kubah. Menarik sih, tapi sayang, ketika kami datang, pasar ini sudah akan tutup.
Keesokan harinya, kami sepakat untuk mengunjungi Grand Palace, istana raja yang letaknya ga terlalu jauh dari hotel kami. Menuju Grand Palace, kami melewati riverside (tepi sungai Mekong). Tepian sungai ini menurut saya cukup bagus loh, walaupun sungainya keruh dan coklat. Di pinggir sungai ini dibuat semacam trotoar yang lebarnya lebih dari 5 m. Ada bangku-bangku dan taman untuk duduk-duduk. Saat malam hari, trotoar ini jadi tempat latihan anak muda buat belajar breakdance, skateboard, dan segala macam kegiatan anak muda lainnya. Kalau siang hari tempat ini kosong melompong. Panas soalnya…
Di seberang riverside ini terdapat bangunan-bangunan yang menurut saya, sebagai pencinta arsitektur, lumayan menarik. Bangunan-bangunan tersebut bergaya Perancis, dengan café-café terbuka yang menghadap langsung ke jalan. Memang, Kamboja dulu pernah dikuasi Prancis sehingga ada pengaruhnya terhadap bangunan di sini.
Baca Juga: Seharian Keliling Angkor Wat
Di jalan menuju Grand Palace, ada beberapa supir tuk-tuk yang menghampiri kami, menawarkan jasa tuk-tuknya. Karena kami menolak, mereka bilang kalau Grand Palace hari itu tutup karena ada hari besar keagamaan. Hehehe…tipuan lama. Di Thailand juga ada scam serupa, dengan harapan kami akan mengubah tujuan kita dan akhirnya ikut bersama mereka.
Nyatanya, Grand Palace tak tutup sama sekali. Memang, dari arah Riverside, pintu masuk bangunan ini tak terlihat. Pintu utamanya, yang berupa gerbang besar di depan taman, memang ditutup karena itu ga boleh dimasuki umum. Pintu untuk masyarakat dan turis terletak kira-kira 200 meter di samping kiri gerbang tadi.
Grand Palace ini ternyata mirip dengan grand palace di Bangkok. Bedanya, ini lebih kecil dengan bangunan yanglebih sedikit. Oya, Grand Palace dibuka jam 8:00-11:00 (morning shift) dan 14:00-17:00 (afternoon shift). Dan untuk masuk ke dalam sini harus membayar $10.