Backpacking ke Kamboja dan Vietnam: Bus ke Phnom Penh yang Penuh Drama

Alih-alih melihat para bule bermata biru, di bus antara Siam Reap dan Phom Penh ini kami malah bersama  preman, waria, dan kakek-kakek berminyak angin.

Setelah puas mengunjungi Angkor Wat, saya dan kawan-kawan harus pulang ke Jakarta via Kuala Lumpur. Namun karena pesawat ke Kuala Lumpur bertolak dari Phnom Penh, dari Siam Reap kami pun harus kembali menuju Phnom Penh.

Sama seperti perjalanan pergi, perjalanan pulang dari Siam Reap ke Phom Penh pun harus ditempuh selama 6 jam dengan menggunakan bus. Karena kemarin bus Sinh Tourist agak mengecewakan, busnya kecil dan ngebut, kami pun ingin mencari alternatif bus lain. Ketika bertanya tempat pembelian bus ke petugas hotel, dia malah menjual tiket bus AC dengan harga cuma $ 6. Tanpa pikir panjang, kami langsung mengiyakan karena harga bus lain sekitar $ 10-12. Selain murah, kami tak perlu susah payang menggotong-gotong ransel ke tempat bus, ataupun menyewa tuk-tuk lagi.

Baca Juga: Seharian di Angkor Wat

Ternyata, bukan bus lah yang menjemput kami di hotel, melainkan mobil L300. Memang, bus hanya boleh masuk sampai terminal di ujung kota dan tak boleh masuk ke dalam kota Siam Reap. Karenanya, kami dijemput terlebih dahulu dengan menggunakan mobil kecil. Kalau naik tuk-tuk ke terminal ini, katanya biayanya $6/orang. Katanyaaa….


Sampai di terminal, kami kaget. Terminalnya lebih mirip pasar yang becek. Walaupun sudah mafhum dengan kondisi Kamboja yang tak sebagus Indonesia, kami masih berpikir kalau paling tidak bus ini punya tempat tersendiri seperti Shin Tourist atau bus company lainnya.

Kejutannya bukan hanya itu. Ternyata bus yang kami tumpangi bukan bus pariwisata yang biasa dipakai oleh turis. Ini adalah bus umum alias bus yang memang biasa dipakai orang lokal untuk menuju kota lain. Mirip bus antar kota antar propinsi gitu lah.


Dari luar, kondisi busnya bagus, walaupun bagasinya kotor dengan sisa sayur atau entah barang apa. Koper salah satu kawan saya jadi basah karenanya. Untung saat itu saya pakai koper fiber, sehingga lebih aman.

Kami berempat duduk baris ketiga dari belakang. Okelah, pikir saya, Busnya bersih dan ber-AC. Tak masalah kalau bus ini adalah bus umum. Bisa lihat keadaan orang lokal.

Tapi begitu bus berjalan lima menit kemudian, semua berubah. Di depan saya, duduk seorang ibu dengan anaknya yang muntah di sepanjang perjalanan. Dan ibu itu tak berusaha sama sekali mengobati anaknya, atau paling tidak memberi kantong plastik untuk wadah muntah anaknya. Sang kondektur lah yang berinisiatif memberikan kantong, pasti karena khawatir busnya bakal kotor dan ia mesti lembur buat membersihkan muntahan si anak. Saya juga sibuk memberi kantong, khawatir muntahannya mengalir ke bangku saya dan membuat saya ikutan muntah.

Di sebelah kanan depan bangku kami, ada kakek-kakek yang dengan setianya menaburkan minyak angin di seluruh tubuhnya. Baunya itu loh, menjalar ke seluruh bagian bus. Ditambah lagi dengan bau parfum semerbak dari waria yang duduk di sebelahnya, yang dandanannya super seksi dan super ajaib.

Di kursi paling belakang, ada bapak-bapak yang tampangnya sangar. Dengan moto “ini bus gue, yang lain cuma numpang“, ia tidur dengan suara ngorok yang menggelegar dan  kaki baunya  yang dinaikkan ke atas kursi.

Kebayang, kan nasib kami selama enam jam? Eh, bukan cuma itu. Awalnya saya berniat tidur saja sepanjang perjalanan. Tapi gagal karena sang supir menyetel keras-keras karaoke khas Kamboja yang musiknya mirip dengan dangdut Pantura. Diselingi dengan lawak berbahasa Khmer yang membuat semua orang di bus (kecuali kami) tertawa terbahak-bahak.

Nasib…

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!