Membangun Kesetaraan Lewat Kemandirian
Siang itu, di sebuah teras rumah di Bogor, beberapa peserta duduk menghadap sebuah meja besar. Di antara mereka ada yang menggunakan kursi roda, ada yang kakinya tak sempurna, ada pula ibu dari penyandang disabilitas.
Merekalah sebagian pengurus dan anggota Diffable Action Indonesia (YDAI), sebuah lembaga yang dirintis oleh Isnurul Naeni, untuk mewujudkan masyarakat yang lebih setara.
“Di sini, kita belajar bersama, bukan siapa membantu siapa,” kata Isna—begitu ia akrab disapa— sambil tersenyum. Kalimat sederhana itu seperti menjadi ruh dari seluruh kegiatan di Yayasan Diffable Action Indonesia yang ia dirikan sejak tahun 2002 silam.

Dari Empati Menuju Aksi Nyata
Isna yang pembawaannya sangat tenang dan kalem ini tidak pernah bermimpi menjadi aktivis disabilitas. Awalnya, ia hanya seorang perempuan disabilitas yang tak bisa diam di rumah. Walaupun terkendala masalah kesehatan, seribu kegiatan diikutinya. Namun, interaksinya dengan sahabat-sahabat difabel perlahan mengubah cara pandangnya. Ia melihat langsung betapa banyak pintu yang tertutup hanya karena keterbatasan fisik dan ketidakpercayaan diri, bukan karena kurangnya kemampuan.
“Banyak dari mereka yang sebenarnya punya potensi luar biasa, tapi tidak diberi kesempatan,” ujarnya suatu kali. Dari situlah lahir keyakinan bahwa perubahan harus dimulai dari bawah.
YDAI kemudian berdiri sebagai jembatan antara dua dunia: dunia difabel dan dunia yang sering kali belum cukup inklusif untuk menerima mereka. Bersama timnya, Isna berupaya membangun bukan hanya kesadaran, tapi juga sistem yang memungkinkan penyandang disabilitas hidup mandiri secara ekonomi dan sosial.

Membangun Kesetaraan Lewat Kemandirian
Bagi Isna, kemandirian ekonomi adalah dasar dari kesetaraan. “Kalau punya penghasilan sendiri, mereka akan lebih percaya diri. Dan masyarakat pun akan lebih menghargai,” katanya. Prinsip itulah yang melahirkan Incubie UMKM Diffable Action, sebuah program pendampingan bagi UMKM yang dijalankan oleh penyandang disabilitas maupun non-difabel yang ingin belajar bersama secara setara.
Di sini, para peserta belajar mulai dari manajemen usaha, pengemasan produk, hingga strategi pemasaran digital. Hasilnya mulai terlihat: beberapa peserta kini sudah mampu memasarkan produknya ke luar daerah, bahkan menembus pameran nasional.
Selain itu, Isna sendiri juga mengelola usaha kreatif Shifa Zhafira Art dan brand Kayana Zafira, yang melibatkan perajin difabel dalam produksi kerajinan tangan. Bagi Isna, ini bukan sekadar bisnis, tapi ruang pembuktian bahwa karya difabel bisa bersaing dengan siapa pun jika diberi kesempatan dan dukungan yang layak.
“Difabel itu bukan objek belas kasihan,” tegasnya. “Mereka subjek pembangunan. Mereka ingin diakui karena kemampuan, bukan karena kasihan.”
Mengawal Inklusi di Ruang Publik
Perjuangan Isna tak berhenti di sektor ekonomi. Ia juga lantang menyuarakan pentingnya fasilitas publik yang benar-benar ramah difabel. Ia mengkritisi bahwa banyak gedung pemerintah atau ruang publik yang memiliki ramp terlalu curam, guiding block yang salah arah, atau toilet yang tidak bisa diakses kursi roda. “Sering kali fasilitas itu hanya formalitas agar terlihat inklusif,” ujarnya dengan nada tenang namun tegas.
Melalui berbagai forum dan kerja sama lintas lembaga, YDAI aktif mengawal kebijakan publik agar melibatkan penyandang disabilitas sejak tahap perencanaan. Bagi Isna, inklusi bukan soal menambah fasilitas, tapi soal mengubah cara pandang. “Kalau dari awal desainnya sudah melibatkan perspektif difabel, maka semuanya akan lebih manusiawi untuk semua orang,” tambahnya.
Kolaborasi yang Menguatkan
Upaya Isna bersama YDAI tidak berjalan sendiri. Mereka menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) yang memberikan pendampingan kepada UMKM binaan YDAI agar naik kelas. Dukungan seperti ini membantu pelaku UMKM difabel memperbaiki manajemen, meningkatkan kualitas produk, dan memperluas jaringan pemasaran.
M
Kolaborasi lintas sektor ini menjadi contoh nyata bahwa perubahan hanya bisa terjadi bila semua pihak terlibat. “Inklusi itu kerja kolektif,” kata Isna. “Bukan proyek satu orang, tapi gerakan bersama.”

Dari Bogor untuk Indonesia
Kini, YDAI bukan hanya dikenal di Bogor. Berbagai kegiatan pelatihannya menjangkau daerah lain, mulai dari pelatihan wirausaha, seminar publik, hingga kampanye sosial tentang hak-hak difabel. Dalam berbagai kesempatan, Isna juga menjadi narasumber di diskusi kebijakan, termasuk ketika berbicara langsung di forum bersama calon pemimpin nasional.
Namun, di balik semua kiprah itu, Isna tetap rendah hati. Ia lebih senang melihat hasil kerja tim dan perubahan kecil yang nyata: seorang teman difabel yang kini punya usaha sendiri, seorang tunanetra yang percaya diri berbicara di depan umum, atau seorang pegawai yang kini bekerja di kantor ramah disabilitas.
“Perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil,” katanya pelan. “Tugas kita hanya memastikan percikan itu tidak padam.”
Sebuah Perjalanan yang Terus Menyala
Perjalanan Isnurul Naeni bukan hanya kisah tentang perjuangan seorang aktivis, tapi tentang kemanusiaan yang sederhana: bahwa setiap orang berhak mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh. Ia mengubah empati menjadi aksi, dan menjadikan YDAI sebagai wadah untuk mewujudkan impian banyak orang.
