Bhrisco Jordy, Pahlawan Aksara Bagi Anak-Anak Papua
Bagi anak-anak Papua, khususnya di Pulau Mansinam, pahlawan mereka bukanlah Gatot Kaca ataupun Superman. Pahlawan mereka adalah Bhrisco Jordy, seorang pemuda asal Monokwari yang mengajari mereka membaca.
…
“Saat perahu kita datang mereka itu sudah ramai berkumpul di pinggir pantai. Kalau kita pulang mereka semua mengantar sampai ke tengah laut, ramai-ramai mendorong perahu kita sampai ke tengah. Baru setelah itu mereka kembali berenang ke pantai.”
Begitulah cara anak-anak Pulau Mansinam, Papua Barat, menyambut dan mengantar Bhrisco Jordy, pemuda berusia 23 tahun yang mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak secara sukarela. Sebuah sambutan sederhana yang menyiratkan rasa terima kasih karena berkat Jordy,panggilan akrabnya, anak-anak itu kini bisa membaca.
Berawal dari Liburan
Kisah pengabdian Jordy berawal dari liburannya ke Pulau Mansinam. Pulau seluas 410 hektar ini terkenal sebagai salah tujuan wisata bahari karena memiliki laut yang biru dengan pantai berpasir putih dan alam bawah laut yang memesona. Pulau ini juga menjadi tempat penting bagi umat Kristiani karena di pulau inilah Injil dan misionaris pertama kali masuk ke Tanah Papua.
Namun di balik keindahan pulau itu, Jordy mendapat kejutan karena ternyata anak-anak di sana banyak yang belum bisa membaca meskipun mereka sudah duduk di kelas 6 sekolah dasar. Padahal pulau ini tak jauh dari Kota Monokwari, ibukota Papua Barat. Hanya 6 km atau kira-kira 10-15 menit berperahu.
Rupanya, ketidakmampuan membaca ini disebabkan oleh kurangnya akses pendidikan di sana; hanya ada satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah di pulau ini. Waktu pembelajaran pun hanya berlangsung dari pukul 9 pagi hingga pukul 11, karena guru-guru mereka kebanyakan tinggal di Monokwari dan harus bolak balik dengan menggunakan perahu kayu umum yang baru beroperasi kalau penumpang sudah penuh.
“SMP di sana nggak penuh siswanya karena anak-anak kebanyakan hanya sampai SD. Jam masuknya nggak tentu, Kak, karena gurunya sering terlambat datang menunggu Taxi Laut (perahu) penuh. Kalau cuaca tidak baik, ya guru tidak datang dan mereka tidak bersekolah,” cerita Jordy sambil memperlihatkan foto sebuah perahu panjang dari kayu.
Faktor ekonomi juga menjadi kendala utama karena sepulang sekolah anak-anak ini dituntut untuk membantu orangtuanya berkebun atau menangkap ikan di laut. Ditambah lagi ada budaya patriaki yang meanggap bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena akan berada di rumah saja.
Awalnya Dua, Kini Dua Ratus Orang
Melihat hal ini, Jordy tak tinggal diam. Di tahun 2021, pemuda berkacamata yang pernah mengeyam pendidikan di President University ini pun berinisiatif untuk mendirikan Lembaga Masa Depan Papua (Papua Future Project). Lewat lembaga nirlaba ini, ia berusaha mengajak kawan-kawannya mengajar anak-anak di Pulau Mansinam setiap Hari Sabtu.
Tapi ternyata tak mudah. Awalnya hanya satu orang yang bersedia terlibat, lalu bertambah lima, lalu jadi sepuluh orang.
“Pertama-tama cuma saya dan kawan saya mau. Selain kesibukan, kendalanya terutama soal biaya, Kak. Kalau ke sana, kami harus sewa perahu, beli snack untuk anak-anak, bawa alat-alat peraga. Paling tidak kami butuh minimal 1 juta sekali jalan,” tuturnya.
Menurut ceritanya, untuk biaya awal Jordy bahkan harus merogoh koceknya sendiri. Sembari berkuliah, Ia mengumpulkan uang dari bekerja sebagai baritsa dan pencuci piring di restoran.
Namun Jordy tak patah semangat, Ia terus-terusan mengajak kawan dan semua orang untuk terlibat. Kegigihan Jordy membuahkan hasil. Kini Papua Future Project sudah memiliki 250 relawan online dan offline, termasuk salah satunya warga pulau Mansinam yang sedang mengeyam pendidikan di Monokwari.
“Saya punya tekad kuat karena saya mikirnya gini, Kak. Kalau mereka ga bisa baca tulis dan hitung kan mereka gampang dibodoh-bodohi orang. Gimana masa depan mereka nanti? Buat apa saya yang sekolah tinggi tak bisa membuat orang di kampung halaman saya pintar,” ucapnya dengan penuh semangat.
Tambah Semangat Karena Antusiasme Anak-Anak Papua
Jordy dan kawan-kawan membagi kelasnya menjadi 3 tingkatan, yakni kelas kecil, kelas menangah, dan kelas besar. Untuk kelas kecil, pelajaran dasar yang diajari adalah pelajara dasar membaca, menulis, berhitung. Sementara untuk anak-anak kelas besar ada tambahan pelajaran tentang panca indera, organ tubuh, serta belajar bagaimana cara menjaga kesehatan organ. Ada pula pelajaran kosa kata bagian-bagian tubuh dalam bahasa inggris.
Para relawan Papua Future Project yang seluruhnya anak muda ini berupaya menggunakan sistem pengajaran yang menyenangkan dan tidak terlalu formal. Mereka seringkali menggabungkan permainan tradisional dengan pelajaran. Tempatnya pun bervariasi, mulai dari di bangunan sekolah hingga di tepian pantai.
Hal tersebut menyebabkan anak-anak Pulau Mansinam tertarik mengikuti kelas Jordy. Bahkan, aku Jordy, anak-anak yang rumahnya jauh dari lokasi bimbingan rela untuk datang ke sana. Apalagi setelah sesi pembelajaran di kelas, anak-anak diberikan waktu untuk membaca buku-buku yang mereka sukai.
“Kelas kami selalu penuh, Kak. Nggak pernah kurang dari 80 orang. Dan sampai sekarang mereka tetap semangat belajar,” cerita Jordy tentang antusiasme anak-anak. Masyarakat adat pun, yang awalnya menentang, kini mulai mendukung upaya Jordy dan kawan-kawannya.
Jordy mengaku, banyak hal menarik dan sentimental yang ia dapatkan dari selama mengajar ini. Selain antusiasme anak-anak menjemput dan mengantar mereka, salah satu anak bahkan menulis nama Jordy ketika ia sudah mulai bisa menulis.
“Ini yang bikin kami tambah bersemangat,” aku Jordy, yang terlihat sangat menggebu-gebu saat menceritakannya.
Menyisipkan Juga Soal Kelestarian Lingkungan
Jordy kini mulai bekerja sama dengan beberapa NGO untuk mulai menjangkau sejumlah wilayah terpencil lainnya di Papua. Mereka berupaya membangun literasi di kampung-kampung itu dengan mendirikan pojok baca dan menggencarkan program donasi buku. Total kini ada 14 kampung di Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua yang telah dijangkau. Dan ada sebanyak 810 lebih anak-anak asli Papua yang telah merasakan dampak dari program-program yang telah di jalankan sebelumnya.
Dan kini, Jordy mulai berusaha menyisipkan soal kelestarian lingkungan kepada anak-anak dan masyarakat adat Pulau Mansiman karena ia sadar, masyarakat adat yang hidup di sana lah yang akan terdampak bila terjadi kerusakan lingkungan. Misalnya saja dengan mengajar mereka untuk mengatasi masalah sampah dengan metode 3R, dan sebagainya.
“Laut dan tanah adalah ibu mereka yang memberikan kehidupan. Sumber hidup mereka dari sana. Kalau alam rusak, mereka bisa hidup dari mana. Mereka tak punya skill untuk bertahan hidup di kota,” ujarnya.
Ke depannya, Jordy ingin menjadikan Papua Future Project sebagai wadah bagi anak-anak muda Papua yang ingin ikut berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan untuk mendapatkan pelatihan secara profesional tentang pengembangan komunitas, kurikulum, dan advocacy. Sehingga, kelak mereka dapat turut membantu anak-anak di daerah mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan inklusif.
***
Kontribusi nyata Jordy bagi masyarakat Papua, khususnya anak-anak di Pulau Mansiman ini akhirnya berhasil membawanya terpilih sebagai penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2022 Bidang Pendidikan dari Astra.
Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.
Sumber:
- Booklet SATU Indonesia Awards 2022
- Wawancara dengan Bhrisco Jordy
- Instagram: PapuaFutureProject