Berkunjung ke Desa Pajam, Desa Tenun Khas Wakatobi
Dengan lincah, jari-jari Aisyah (19) menata dua bilah kayu di antara benang-benang berwarna merah dan emas. Ia sedang membuat Homoru, sarung tenun khas Wakatobi, pesanan seorang langganan dari Makassar.
Tak jauh darinya tampak sang ibu dan adiknya yang masih duduk di sekolah dasar sedang duduk sambil menggulung benang di atas sebilah papan. Di luar rumah, ada sang nenek yang usianya di atas 70 tahun yang baru saja menyelesaikan tenunannya.
Pemandangan para perajin tenun yang sedang bekerja ini saya temui Desa Pajam, Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Desa tertua di Kaledupa ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua sekitar 30 menit dari pelabuhan utama Pulau Kaledupa.
Menembus Hujan
Perjalanan saya menuju Desa Pajam kali ini tak sendiri. Saya ditemani oleh Regita, staff khusus Bupati Wakatobi bidang pariwisata; Ramadhin, salah seorang penggiat wisata Wakatobi; Komaryuda, staff Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi; dan Fajri, staf Dinas Kominfo Wakatobi.
Dengan menaiki motor, kami beriringan menuju Desa Pajam, menembus hujan rintik-rintik yang turun membasahi bumi Kaledupa. Menaiki motor memang cara yang tepat menuju tempat ini karena lebih cepat dan lebih mudah.
Begitu sampai di bagian atas Desa Pajam, langsung terdengar suara-suara “klotok-klotok”. Regita yang bolak balik ke sini menceritakan, bunyi itu adalah bunyi mesin tenun yang sedang dipakai. Bunyi itu akan lebih terdengar bersahut-sahutan jika pesanan sedang membludak dan semua perajin di desa mengerjakan pesanan.
Adat Turun Temurun
Menurut Herlina, ketua kelompok penenun Desa Pajam yang menemani kami berkeliling, ada lebih dari 100 orang yang memiliki pekerjaan sebagai penunun di sini. Ketrampilan menenun diturunkan dari generasi ke generasi. Aisyah mendapatkan ilmu dari ibunya, dan ibunya mendapatkan dari neneknya. Begitu seturusnya. “Desa Pajam ini adalah desa tertua di Kaledupa dan dari awal masyarakatnya selain bertani juga menenun,” tutur Herlina.
Ia menambahkan, “Adat yang berlaku di sini, gadis-gadis dari kecil wajib diajari ilmu menenun ini sebagai bekal mereka berkeluarga.”. Seperti Aisyah, yang mempelajari ilmu menenun ini dari ibunya sejak ia berumur 8 tahun.
Butuh Waktu Lama
Tenunan khas Wakatobi ini hampir serupa dengan tenunan khas Buton yang didominasi garis-garis warna merah, biru, dan emas. Namun ada sedikit perbedaan dari motif yang digunakan. Ada motif tangkai bunga yang konon hitungannya hanya diketahui oleh para penenun di Wakatobi.
Untuk menenun satu buah kain, para perajin butuh waktu dari 20 hari hingga dua bulan, tergantung jenis benang yang digunakan dan motif yang dibuat. Makin rumit motifnya, makin lama proses pembuatannya.
Lamanya proses menenun ini karena ada 3 tahapan yang harus dilakukan untuk mendapatkan selembar kain tenun Wakatobi. Yang pertama adalah Purunga, yakni proses menggulung benang dengan menggunakan alat yang mirip kincir. Kedua, adalah Oluri, yaitu menggulung benang dengan menggunakan papan; proses inilah yang sedang dilakukan ibu dan adiknya Aisyah. Dan proses terakhir adalah menenun dengan menggunakan alat tenun manual.
Karena proses yang lama inilah harga tenun asli Wakatobi cukup mahal. Harga yang ditawarkan mulai dari 700 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kualitas benang yang digunakan dan jenis motifnya.
Wisata Tenun di Liya Togo
Selain di Desa Pajam, perajin Homuru Wakatobi bisa ditemukan di Desa Liya Togo, sekitar 8 km dari pusat kota Pulau Wangi-Wangi. Namun tak seperti Desa Pajam, di desa ini tak terlalu banyak keluarga yang mengkhususkan diri menjadi perajin Homuru.
Sebenarnya menurut informasi ada 5 keluarga perajin tenun yang ada di sini, namun saat itu saya dan rombongan hanya menemukan dua perajin. Salah satunya adalah Wa Ode Nasimu, yang sedang menenun di kolong rumah panggung miliknya. Dalam sebulan, ia mengaku bisa menjual 2-3 helai kain tenun yang ia buat bersama ibunya.
Keahlian menenun ini membuat Desa Liya Togo juga sering dikunjungi wisatawan. Perancang busana Samuel Wattimena pun bahkan beberapa kali menyambangi tempat ini. Apalagi jaraknya tak terlampau jauh dari pusat ibukota Kabupaten Wakatobi.
Tenun khas Kabupaten Wakatobi ini memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan, baik sebagai sektor industri maupun sebagai penunjang sektor pariwisata. Karena itulah, Bupati Wakatobi yang sempat saya temui di rumah dinasnya berencana mewajibkan para apartur daerah dan sekolah menggunakan tenun ini.
Selain tenun, di Desa Liya Togo yang masuk sebagai nominasi Desa Wisata Indonesia saya juga mengunjungi beberapa objek wisata di sana.
Katanya sih, di desa ini kita bisa berfoto dengan menggunakan baju adat Khas Wakatobi dan minum jus asam yang rasanya segar. Tapi entah, saya tidak menemukannya sama sekali. Desanya sepi, hanya ada beberapa anak yang menyapa saya dengan ramahnya.
***
Tulisan ini telah tayang di https://infokomputer.grid.id/read/122923547/strategi-smart-city-untuk-desa-pajam-desa-tenun-khas-wakatobi?page=all
19 Comments
Pingback:
Shyntako
wakatobi nih salah satu destinasi wisata impianku nih, sekarang jadi nambah spot wisata yang bisa dikunjungi nih nanti kalo mau travelling ke sana, melihat keindahan karya dan kearifan lokalnya
Inka Paramita
wah salut, di Wakatobi anak-anak usia 8 tahun sudah dibekali ketrampilan tenun ya.. jadi bisa untuk bekal untuk pendapatan ke depannya nanti 🙂 hasil tenunnya juga bagus ya..
dewi puspa
Indonesia itu begitu kaya akan budaya tenun. Setiap kali melihat hasil tenun dan melihat para perajin tumbuh rasa kekaguman karena menenun itu sulit dan perlu ekstra ketekunan. Salut buat para pelestari dan perajin tenun. Salam hangat kak Rahma
Sintia Astarina
Waktu mampir ke Baduy, pernah lihat ada yang membuat kain tenun juga seperti ini. Aku jadi penasaran, andai ada kesempatan untuk cobain langsung kala itu. Hehe. Aku pun jadi penasaran sama pola kain tenun ini. Kira-kira apa yaa yang jadi ciri khas masing-masing daerah…
Dayu Anggoro
Asik banget ya berkunjung ke dua desa yg ada wisata tenunnya, dan pasti harga kainnya lumayan. Karena proses yg dibuat gak sebentar.
Imawan
Senang banget ya Kak bisa lihat langsung proses pembuatan kain tenun khas Wakatobi ini. Dan salut ya sama para pengrajin kain tenun ini, sabarnya luar biasa, karena prosesnya lama juga ya ternyata, butuh minimal 20 hari hingga berbulan-bulan. Tapi hasilnya keren ya.
Anonymous
Senang banget ya Kak bisa lihat langsung proses pembuatan kain tenun khas Wakatobi ini. Dan salut ya sama para pengrajin kain tenun ini, sabarnya luar biasa, karena prosesnya lama juga ya ternyata, butuh minimal 20 hari hingga berbulan-bulan. Tapi hasilnya keren ya.
Hida
Wakatobi kaya banget ya dengan hasil kerajinan tenunnya. beruntung banget mbak bisa melihat langsung pembuatan tenun Wakatobi ini.
Anggun
Saya di Sulawesi tapi nda pernah ke wakatobi krn tauya Wakatobi cuma bawah lautnya. Ternyata ada ya kak wisata di daratnya.
unggulcenter
Wow, aku malah tertarik di informasi tulisan ini telah tayang di infokomputer nya. Smart city. Beda sudut pandang penulisan kayaknya ya disesuaikan
rahma ahmad
Iya, ada beberapa bagian yang beda dengan yang udah kutulis di Infokomputer 😀
Tanti Amelia
Sepintas aku liatnya persis seperti tenun dari NTT yang berwarna warni cerah ya, mbak Rahma
ternyata pada saat udah jadi, garis garisnya baru terlihat ini beda
Masih gadis udah bisa menenun? Hebaaaat!
rahma ahmad
Dari SD malah Mbak, wajib mesti harus mereka belajar tenun. Bagus juga ya biar ga ilang budaya ini
Gita Siwi
Aku tuh pengen deh mba , bisa plesiran jauh model gini. Maklum familiar dengan tenun tapi belum pernah lihat secara dekat bagaimana dari benang jadi sehelai kain yang indah dengan berbagai warna nya yang menarik
rahma ahmad
Yuk mbak ke Wakatobi. walaupun jauh, ga bakal nyesel deh 😀
Agung Han
Wakatobi masuk wish list saya, apalagi setelah menyimak artikel mbak Rahma.
Smoga langkah ini diringankan.
Sadewi Handayani
Ajak ajak dong kakak aku juga pengen lihat langsung pembuatan kain tenun
Pingback: