3 Kampung Wisata yang Wajib Dikunjungi di Banjarbaru
Kalau mendengar kota Banjarbaru, pasti mengira kota ini sama dengan Banjarmasin. Ya, saya pun begitu. Ketika dulu pertama kali datang ke Banjarmasin, saya malah memesan hotel di Banjarbaru. Padahal, walaupun bersebelahan, jarak antarkota ini kurang lebih 1 jam!
Nah, kali ketiga saya ke Banjarmasin, saya akhirnya berkesempatan ke Banjarbaru juga. Bukan sekadar lewat atau menginap, tapi bisa mengeksplor kota ini. Untung saja saya ditemani oleh Pak Johan Arifin, Kadis Kominfo Banjarbaru dan Mbak Afrida dari Indosat Oredoo sehingga bisa lebih dalam mengenal tempat ini.
Banjarbaru sebenarnya pemekaran dari kota Banjarmasin. Dulu, karena Banjarmasin sudah penuh dan tak ada lahan untuk mengembangkan, dibuatlah kota Banjarbaru. Kemudian, kota ini berkembang dan akhirnya memiliki administrasi dan sistem pemerintahan sendiri.
Bandara Syamsudin Noor itu sebenarnya bukan terletak di Kota Banjarmasin, tapi di kota Banjarbaru. Pendulangan intan yang terkenal itu juga sebenarnya bukan ada di Banjarmasin, tapi di Banjarbaru. Tapi ya, karena namanya mirip-mirip, cuma orang lokal yang paham benar soal ini. Pelancong seperti saya mah tahunya ini semua di Banjarmasin. Padahal bukaan…
Nah, selain tambang intan itu, Banjarbaru ternyata punya beberapa objek wisata. Di antara objek-objek wisata itu, yang menarik menurut saya adalah wisata kampung tematik. Ada 3 kampung tematik yang sempat saya kunjungi di sini, dan menurut saya semuanya sangat menarik.
Kampung Pejabat
Awalnya saya mengira, kampung ini adalah kampung tempat tinggal pejabat-pejabat negara. Ternyata, Pejabat ini adalah singkatan dari “Penjual Jamu Loktabat”. Di kampung ini memang tinggal para pembuat jamu dari Solo yang sudah turun temurun menjadi penjual jamu di kota Banjarbaru.
Di kampung Pejabat ini ada sebuah kafe yang menjual jamu. Kalau di Jakarta dan kota-kota besar kan ada yang namanya Kafe Ora Jamu, kafe elit yang menjual jamu. Nah kafe jamu Kampung Pejabat ini versi sederhananya dengan harga yang jauh lebih murah. Saya dan rombongan minum 5 gelas jamu plus makan kacang dan beberapa cemilan lainnya, totalnya ga lebih dari 30 ribu! Murah, kan?
Saya sempat ngobrol dengan pemilik cafe. Sepasang suami istri berusia 60tahun lebih yang sudah puluhan tahun menjual jamu di Banjarbaru. Kata mereka, sekarang ini mereka sudah tak kuat lagi berkeliling sehingga akhirnya membuka kafe di depan rumah mereka.
Layaknya cafe, di sini ada WiFi, sumbangan dari Pemda Banjarbaru, sehingga sambil minum jamu, saya bisa sambil cek-cek media sosial saya.
Di depan kafe pejabat ini juga ada tempat makan yang menjual makanan berat semacam nasi goreng dan lain-lain. Saya ga sempat coba karena mesti kembali dan makan siang bersama Walikota.
Oiya, saran saya sih, datanglah pagi karena katanya akan ada pemandangan menarik, yakni para penjual jamu keluar rumahnya untuk berjualan jamu gendong di area lain. Bagus tuh buat objek foto.
Kampung Purun
Kampung Purun adalah nama kampung di Banjarbaru yang menjadi sentra pembuatan kerajinan dari purun. Mengutip Wikipedia, Purun adalah tanaman sejenis rumput yang tumbuh liar di rawa-rawa dan tepian sungai. Nah, oleh perajin, purun ini dan kemudian dianyam untuk dijadikan aneka kerajinan.
Saya datang ke salah satu perajin di sana. Seorang ibu dan anak-anaknya yang saya lupa namanya. Workshopnya berbentuk rumah sederhana yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya.
Begitu masuk ke rumahnya, tampak ia dan anaknya sedang menganyam tas belanja. Ada 1000 tas pesanan dari Jakarta katanya. Ketika saya tanya harga satu tasnya, saya kaget sekaligus sedih. Satu tas pesanan itu hanya ia hargai sepuluh ribu. Ya, sepuluh ribu rupiah. Padahal, di Jakarta, tas begitu bisa dijual berkali-kali lipat harganya.
Saya berkeliling ruang rumahnya yang tak besar, mencari apa yang bisa saya beli. Sayang, barang yang ada di sini tinggal sisa-sisa, karena barang-barang sang nenek baru saja diborong orang. Untunglah, di sela-sela tumpukan barang, saya melihat sebuah tas jinjing. Langsung saya sambar dan simpan, takut direbut oleh kawan saya yang matanya juga sedang jelalatan mencari barang yang bagus. Hahaha….
Tas itu ternyata harganya hanya 15 ribu. Saya bengong, yang membuat si ibu khawatir dan bertanya, “kemahalan tasnya?”. Saya nyengir lebar sambil menjawab, “Ada 5 lagi ga Bu tasnya?”
Sayangnya, walaupun kampung ini punya potensi besar menjadi sentra kerajinan, petunjuk jalan amat minim. Letak workshop ataupun rumah yang mesti didatangi pun tak jelas.
Kampung Pelangi
Mengubah wajah kampung kumuh menjadi kampung warna-warni sedang menjadi tren di mana-mana. Mulai dari Malang, Semarang, hingga Jakarta ada kampung semacam ini. Di Banjarbaru pun ada Kampung Pelangi ini.
Dahulu Kampung Pelangi ini adalah kampung kumuh di bantara kali Kemuning. Katanya, kampung ini dulunya jorok, kotor, dan sering terkena banjir. Tapi berkat revitalisasi, kampung ini bukan hanya jadi bersih, tapi juga jadi objek wisata.
Kampung pelangi ini memanjang di sepanjang Sungai Kemuning. Di kanan kiri sungai terdapat trotoar yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Ada lampu-lampu, kursi taman, dan tanaman hias di sepanjang pinggir sungai. Kayaknya sih, kalau sore menjelang malam, tempat ini oke banget. Sayang, saya datang di siang bolong. Panasnya plong!
Buat yang doyan foto-foto ala instagram, tempat ini wajib didatangi. Banyak mural-mural kece buatan warga yang bisa dijadikan spot foto.
Kece deh…
Oiya katanya, selain 3 kampung ini, Pemda Banjarbaru akan membuat kampung-kampung lain seperti kampung silat atau kampung herbal. Kita tunggu undangannya #kodebanget