Kolkata, Kota dengan Seribu Cerita (part 2)
Selama menyusuri bangunan-bangunan di Kolkata, kami lebih banyak berjalan kaki. Pegal memang, tapi dengan begini, kami melihat sisi eksotis Kolkata, yang mungkin akan terlewat jika kami terus menerus menggunakan subway dan angkutan lainnya.
Dari lapangan Maiden, kami berjalan lagi menyusuri sudut Kolkata. Tujuan kami adalah tepian sungai Gangga. Tak afdol rasanya jika ke India tapi tak melihat sungai kebanggaan warga India ini.
Setelah berjalan cukup jauh di bawah terik matahari Kolkata yang menyengat, sampai juga kami di Sungai Gangga, yang warnanya lebih bening ketimbang warna sungai Ciliwung di Jakarta. Di sinilah kami mulai melihat secuil kehidupan asli warga Kolkata. Ada perahu kecil milik nelayan yang bersandar, ada perahu besar yang digunakan entah untuk apa. Di sisi lain, yang lebih landai, belasan warga mandi, mencuci, dan menggosok gigi. Tak beda sebenarnya dengan desa-desa di Indonesia. Bedanya, di Indonesia sungai yang biasa dipakai mencuci lebih bersih dan jernih, serta tak ada yang tidur-tiduran di dekatnya. Yup, ternyata banyak tunawisma yang berdiam diri di pinggir sungai.
Di sepanjang sungai ini terdapat taman yang dilengkapi trotar. Taman yang lumayan untuk melonjorkan kaki kami yang mulai kelelahan. Tapi, bukan di Kolkata namanya jika ada taman yang kosong. Bangku-bangku dan tempat duduk yang ada di sana sudah dipenuhi oleh orang-orang yang sekadar mengaso. Kalaupun ada bangku kosong, panasnya luar biasa.
Omong-omong soal matahari, Kolkata saat itu memang sangat panas. Entah berapa suhu di sana saat itu, yang jelas, kami merasa kehausan terus menerus. Berbotol-botol air kami habiskan sepanjang hari. Saking seringnya kami kehausan, teman saya bahkan memberi julukan baru bagi Kolkata: The City of Thirsty.
——–
Sudder Street adalah tujuan berikutnya. Tempat ini adalah pusat backpaker di Kolkata, seperti halnya Khaosan Road di Bangkok atau gang Poppies di Bali. Tadinya saya pikir, tempat ini akan penuh dengan restoran, kafe, toko-toko sovenir, layaknya pusat backpacker lainnya. Restoran memang ada, kafe pun juga ada, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Di tengah rasa lapar yang mendera, kami memutuskan untuk mengisi perut kami di restoran pertama yang kami temui. Ternyata kami tak salah pilih, restorannya mantap walaupun kami harus menunggu lama untuk mendapatkan sepiring besar nasi biryani.
Saya lupa nama restoran ini, yang jelas di depannya terpampang tulisan “halal food”. Di seberangnya ada money changer tempat kami menukarkan uang di sana. Dan entah kenapa, saya tak memfoto makanan dan tempat ini. Mungkin karena kami sudah sangat kelaparan yaa…
—-
Saat menuju ke Sudder Street, kami melewati gang-gang perumahan, sehingga bisa melihat kehidupan masyarakat Kolkata. Berbeda dengan area umum yang terkesan kumuh, area perumahan ini rapi dan bersih. Tak ada sampah. Bangunannya indah, bercat warna-warni walaupun terkelupas di sana-sini. Di sini kami bisa melihat warga India, yang entah mengapa lebih banyak laki-lakinya, duduk-duduk sambil ngobrol, atau yang paling umum, bermain kriket di depan gang rumahnya. Tak ada yang mengganggu kami, walaupun tak ada juga yang menyapa kami dengan ramah. man saya, area perumahan memang rapi karena tak ada tunawisma di sana, sementara area publik terkesan jorok karena banyaknya tunawisma yang menjadikan tempat itu sebagai rumahnya.