Backpacker ke Myanmar: Mati Gaya di Yangon

Sule Paya di waktu malam

Hari terakhir backpacker di Myanmar saya habiskan dengan berkeliling Yangon. Tak banyak objek yang ingin saya kunjungi di sini. Rasanya saya sudah puas melihat kuil di Bagan, dan menyaksikan biksu di Mandalay.

Kawan saya rupanya sependapat dengan saya. Namun sayang rasanya bila berdiam diri di hostel saja. AKhirnya kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Sule Paya Pagoda.


Sule Paya Pagoda ini adalah pagoda emas yang terletak tepat di jantung Yangon. Kami tak berniat masuk ke dalamnya. Keliatannya ia tak begitu menggoda. Kami hanya mengitarinya, sambil melihat kehidupan masyarakat Yangon yang mulai tersentuh kemodernan.

Berbeda dengan masyarakat di Mandalay dan Bagan, penduduk Yangon mulai banyak yang meninggalkan Longji (pakaian khas mereka yang seperti sarung), menguyah sirih, dan menggunakan tanaka (bedak dingin khas Myanmar). Gadget seperti telepon genggam dan tablet pun mulai banyak digunakan. Kios-kios penyewaan telepon bermunculan di mana-mana.

Liat deh apa yang ada di pinggang bapak-bapak itu. Tablet!


Puas melihat-liat, kami bergegas menuju Bogyake Market. Pasar ini dapat dijadikan tempat membeli oleh-oleh. Pada dasarnya, kerajinan yang dijual di pasar ini tak berbeda jauh dengan kerajinan ala Kamboja dan Thailand. Entah mana yang meniru mana.

Kios penyewaan telepon

Di perjalanan menuju Bogyoke, kami ditegur seorang pemuda tampan berkacamata. Anawar namanya. Ia bekerja sebagai tenaga IT di salah satu perusahaan telekomunikasi asal China. Ia tak menggunakan longji, tak bersirih, dan fasih berbahasa Inggris. Tuntutan pekerjaan, katanya. Rupanya perusahaan tempat ia bekerja meminta pegawainya untuk lebih modern.

Anawar adalah seorang muslim. Begitu mengetahui kami hanya berjalan berdua, ia langsung khawatir,  dan meminta kami menelpon dia jika terjadi sesuatu. Dia bilang “We , moslem, are brothers.” Modus ini, mah…


Dengan uang tersisa hanya beberapa kyat (lainnya sudah kami habiskan untuk membeli oleh-oleh), kami berusaha mencari makanan halal. Walau masih punya simpanan dolar, kami tak ingin menukarnya dengan kyats. Kyats hanya berlaku di negara ini. Tak ada negara lain yang mau menukarnya.


Sambil berjalan mencari makanan, kami menyadari bahwa cukup banyak masjid di dekat Bogyoke Market. Tapi lagi-lagi, semua masjid menganut paham Hambali, yang artinya kami tak bisa menumpang sholat di sana. 


Akhirnya, setelah berputar-putar, kami mendapatkan makanan cepat saji berlabel halal, yang lumayan bersih. Padahal, menurut imel yang saya terima dari Anawar, tepat di seberang Bogyoke Market ada gang yang seluruhnya menjual makanan halal. Oalah..

Taman di Yangon

Perut kenyang, kami mati gaya. Tak tau apalagi yang dapat dikunjungi di Yangon. Sambil menunggu sore, kami akhirnya berdiam diri di sebuah taman, tak jauh dari Sule Pagoda. Taman yang cukup bersih ini nampaknya jadi tempat berkumpul warga Yangon. Makin sore, taman makin penuh. 

Menjelang malam, di taman ini ternyata ada pertunjukan air mancur. Sayangnya, pertunjukannya minus music, sehingga tak terlalu memukau. Tapi lumayan lah, sebagai pengisi waktu dan penutup malam kami.

6 Comments

  • Fanny Fristhika Nila

    Apa kabar aku yg 7 hari di Myanmar cuma Yangon doang wkwkwkwkwk. Biasanya tiap kali traveling aku rajin bikin itin yg padat mba. Ntah Napa, kali ini ke Myanmar aku males. Sempet2nya pesen hotel 7 malam di Yangon Thok hahahaha. Mati gaya biarin deh. Sbnrnya tema jalan2 kali ini leyeh-leyeh Ama suami sih. Makanya santai banget. Bagan yg terlalu turis ga pengen aku datangi . Aku liat ajalaah bakal gmn ntr di Yangon :D.

  • echi

    mau nanya dong emang muslim bahaya kalo trip ke myanmar? btw saya ada rencana ke myanmar solo trip apakah aman jalan sendirian ke myanmar?

  • echi

    mau nanya dong emang muslim bahaya kalo trip ke myanmar? btw saya ada rencana ke myanmar solo trip apakah aman jalan sendirian ke myanmar?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!