Belajar Kebersamaan dari Wae Rebo
Melihat Mbaru Niang dan mengamati kehidupan bersahaja warga Wae Rebo. Begitulah tujuan saya. Ya, sejak mendengar keelokan rumah adat Wae Rebo beberapa tahun ini, keinginan saya untuk mengunjungi tempat ini begitu menggebu.
Pati gici arit, cingke gici iret (bagi seadil-adilnya, belahdengan sebijaksana mungkin) adalah pepatah Manggarai yang diusung tinggi warga Wae Rebo. Itu sebabnya, kehidupan di sini begitu rukun tanpa banyak riak perselisihan. Paling tidak, itulah yang saya rasakan selama 3 hari berada di tempat yang kerap dijuluki sebagai negeri di atas awan ini.
Sebelum menjejakkan kaki di bumi Wae Rebo, Yori Antar, arsitek yang memprakasai pembangunan kembali desa Wae Rebo sudah menceritakan kepada saya bahwa hanya ada 7 rumah kerucut di sana. Jumlah ini tak boleh ditambah sejak dulu kala, karena itu sudah merupakan aturan mendasar dari nenek moyang mereka.
Nah, karena hanya ada 7 buah rumah, hanya keturunan laki-laki dan keluarganya saja yang bisa tinggal di desa ini. Wanita yang menikah dengan orang di luar Wae Rebo atau anak-anak yang mesti menempuh pendidikan, tinggal di Kombo, desa “kembaran” Wae Rebo.
Di satu rumah tersebut, tinggal 6-8 keluarga. Jika masing-masing memiliki 3-4 anggota keluarga saja, dalam satu Mbaru Niang, terdapat sekitar 20-25 orang. Bagaimana mereka bisa hidup berdampingan dengan rukunnya?
Ketika menanyakan hal ini kepada Alexander Ngandus, ketua adat Wae Rebo, beliau tidak menjawabnya dengan kata-kata. Ia malah mempersilahkan saya masuk ke rumah yang mana saja, untuk melihat sendiri kehidupan mereka. Tawaran yang tentu tak akan saya sia-siakan.
Saya masuk ke dalam salah satu Mbaru Niang, yang terletak persis di sebelah Mbaru Tembong. Di Wae Rebo, terdapat 2 jenis rumah tinggal di sini, yakni Mbaru Tembong (Gendang) yang merupakan rumah terbesar dan tersuci, dan Mbaru Niang, yang ditinggali warga kebanyakan. Mbaru Niang berukuran tinggi 11m, dengan diameter berukuran sama, sementara Mbaru Gendang berukuran lebih besar, yakni 15m. Semua rumah ini dibuat menghadap compang, altar batu yang disucikan.
Seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia, Mbaru Niang berbentuk panggung dengan kolong setinggi kurang lebih 1m. Menurut Pak Alexander, ketua adat Wae Rebo, rumah dibuat tinggi karena ada aturan dari leluhur: lantai rumah tak boleh menyentuh tanah.
Begitu masuk ke dalam rumah, terdapat sebuah ruangan terbuka yang luasnya kurang lebih setengah dari luas total Mbaru Niang. Ruangan ini adalah lutur, sebuah ruangan multifungsi. Di sinilah tempat menerima tamu, tempat para penghuni rumah (khususnya laki-laki) bersosialisasi, sekaligus tempat tidur kaum laki-laki yang sudah dewasa. Di Mbaru Gendang, lutur ini berfungsi juga sebagai tempat upacara dan musyawarah.
Setengah bagian rumah lainnya disebut nolang. Area nolang ini terbagi lagi menjadi dua ruangan: dapur (sapo) dan kamar tidur (loang). Ada 5 buah kamar tidur di sana, yang masing-masing dimiliki oleh satu keluarga. Kamar-kamar ini menghadap ke sebuah dapur dengan tungku besar di tengah-tengah rumah.
Masak Bersama
Memang benar kata Pak Alex, untuk menjawab pertanyaan saya, saya harus melihat sendiri mereka di rumah. Kebersamaan memang amat terasa di rumah yang saya sambangi. Saat itu, tamu datang silih berganti, karena ada Mora, upacara adat yang baru mereka lakukan kembali sejak 365 tahun lalu. Para laki-laki sibuk mempersiapkan acara dan menyambut tamu, sementara para wanita sibuk memasak di dapur sambil sesekali ikut tertawa mendengar obrolan kami.
Melihat bentuk ruangan yang begitu komunal, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana cara mereka menandai “kepemilikan” mereka, karena area adalah milik bersama. Dapur bersama, tempat penyimpanan pun bersama.
Sugiarto, relawan LSM yang beberapa bulan ini tinggal di sana, menjawab pertanyaan saya, “Masing-masing punya lemari untuk simpan barang-barang keperluan pribadi dan lemari untuk alat masak sendiri. Tapi ada alat masak untuk bersama. Begitu juga soal penyimpanan di lobo. Masing-masing ada kavelingnya sendiri, “tuturnya.
Ia juga menceritakan soal proses memasak warga Wae Rebo. Karena hanya ada satu dapur, mereka selalu memasak bersama-sama. Semua makanan dimakan bersama, meskipun ada juga masakan yang memang dimasak hanya untuk keluarga sendiri. “Selama saya tinggal di sini, ndak pernah ada yang namanya rebutan makanan dan barang. Semua sudah tahu mana yang milik dia, milik orang lain, atau milik bersama.”
Ya, memang itu intinya. Semua tau porsinya, semua tahu miliknya, semua dibagi bersama. Sesuatu yang harusnya ditiru oleh seluruh bangsa Indonesia.