Sepiring Beshbarmak dan Sejuta Cerita dari Turkistan

Saya tidak pernah menyangka bahwa keputusan spontan untuk mengunjungi sebuah kota kecil di selatan Kazakhstan akan menjadi salah satu perjalanan berkesan dalam hidup saya. Kota itu adalah Turkistan; sebuah kota yang awalnya namanya terasa asing di telinga saya, tapi ternyata menyimpan lapisan-lapisan sejarah dan budaya yang kaya.

Saya ke sana bukan karena alasan spiritual atau ziarah. Saya hanya ingin tahu apa yang membuat kota ini tercatat sebagai kota yang penting dalam sejarah Asia Tengah.

Perjalanan “Hangat” Menuju Turkistan

Perjalanan panjang menuju Turkistan saya mulai dari Almaty. Dari sana, saya terbang menuju Shymkent, bermalam semalam di sana,  dan esoknya menaiki marshrutka dari sebuah terminal kecil di pinggir kota. Tak sulit menemukannya, hanya butuh bertanya dengan penyesuaian bahasa saja.

Marshrutka adalah semacam minibus umum yang murah meriah. Tidak ada pendingin udara di dalamnya, hanya jendela setengah terbuka untuk memasukkan udara ke dalam.

Di dalamnya, ada ibu-ibu yang membawa belanjaan dari pasar, anak muda yang setengah tertidur dengan headphone di telinganya, dan seorang bapak tua berjas hitam yang terus menatap keluar jendela sambil menggenggam tas kulit. Awalnya wajah mereka terlhat datar dan dingin, tapi sedetik kemudian mereka menyapa saya dengan ramah. Salah satu ibu bahkan memberi saya roti pipih hangat dan berkata, “nan,” sambil tersenyum. Saya jelas tak bisa bahasa Kazakh dan mereka tak bisa berbahasa Inggris, tapi keramahan itu cukup untuk merubuhkan tembok perbedaan bahasa di antara kami semua.  

Supir marshrutka menurunkan saya di pusat kota, di depan sebuah kedai kecil yang dipenuhi anak muda. Saya melihat sekeliling: di sini tidak ada gedung tinggi, hanya ada jalan lebar, pepohonan rapi, bangunan-bangunan berwarna putih-coklat, dan nuansa kota tua yang amat terasa. Kota ini tenang, tapi tidak sepi. Ada kehidupan yang mengalir pelan, tanpa harus terburu-buru.

Turkistan, Kota yang Tumbuh dari Jalur Sutra              

Dari awal, saya tahu kota ini bukan kota biasa. Turkistan—yang dulunya bernama Yasi—pernah menjadi kota penting di Jalur Sutra, jalur perdagangan legendaris yang menghubungkan Tiongkok dan Eropa. Kota ini telah ada lebih dari 1.500 tahun. Di masa lalu, para pedagang, penyair, dan pemikir dari berbagai penjuru Asia berkumpul di sini, menjadikan Yasi sebagai titik temu budaya, ide, dan pusat penjualan barang dagangan.

Namun yang membuat Yasi berubah menjadi kota besar dalam sejarah adalah sosok Khoja Ahmad Yasawi, seorang penyair, sufi, dan guru spiritual yang hidup pada abad ke-12. Ia lahir sekitar tahun 1093 di Sayram, sebuah kota tua di wilayah yang kini masuk Kazakhstan, dan kemudian menetap di Yasi. Sejak usia muda, Ahmad Yasawi dikenal karena ketekunannya dalam ilmu agama dan pencarian spiritual. Ia merupakan murid dari sufi besar Arystan Bab dan kemudian menimba ilmu di Bukhara, di bawah bimbingan Syaikh Yusuf al-Hamadani, tokoh besar dalam tarekat Naqsyabandiyah.

Ahmad Yasawi dianggap sebagai pendiri tarekat sufi Yasawiyah, yang ajarannya menekankan pada kesederhanaan hidup, kedekatan dengan masyarakat awam, serta penyampaian pesan-pesan spiritual. Ia mengajarkan sufisme melalui puisi dan hikmah pendek yang disebut hikmet—yang kelak dikumpulkan dalam karya terkenalnya, Divan-i Hikmet (Kumpulan Hikmah). Gaya puisinya sederhana tapi mendalam, mengandung pesan moral, sosial, dan spiritual yang masih dibaca hingga kini.

Setelah merasa tidak layak lagi tampil di hadapan umum karena merasa sudah terlalu tua untuk berdakwah secara aktif, Yasawi mengasingkan diri ke sebuah ruang bawah tanah (khalwat) dan menjalani hidup dalam kontemplasi dan ibadah hingga akhir hayatnya. Ia wafat sekitar tahun 1166 dan dimakamkan di Yasi, yang kemudian menjadi pusat ziarah dan spiritualitas penting di Asia Tengah.

Mausoleum dan Keheningan yang Dalam

Berbekal petunjuk dari seorang gadis kecil di halte bus, saya melangkah perlahan menuju Mausoleum Khoja Ahmad Yasawi, ikon utama kota ini sekaligus Situs Warisan Dunia UNESCO. Dari kejauhan, bangunannya sudah tampak mengesankan; sebuah struktur raksasa dengan kubah besar berwarna biru kehijauan yang bersinar di bawah terik matahari Asia Tengah.

Mausoleum ini dibangun pada akhir abad ke-14 atas perintah Amir Timur (Tamerlane), penguasa besar dari Uzbekistan yang menginginkan sebuah monumen agung untuk menghormati Ahmad Yasawi. Menariknya, pembangunan makam ini tidak pernah benar-benar rampung karena wafatnya Timur, namun bahkan dalam ketidaksampaiannya, kemegahan bangunan ini sudah cukup membuat siapa pun terpukau.

Seteleh melewati deretan kios yang mengingatkan saya dengan film-film negeri 1001 malam, saya sampai di depan bangunan mausoleum dengan kagum. Strukturnya megah, dindingnya terbuat dari bata tanah liat dan dilapisi ubin biru tua, pirus, dan putih yang membentuk pola mozaik geometris dan kaligrafi Kufik. Di antara kaligrafi itu, terdapat kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan puisi sufi yang menambah kesan sakral. Bagian depannya dihiasi portal (pishtaq) raksasa setinggi lebih dari 38 meter dengan lengkungan runcing dan relief berornamen halus. Luar biasa.

Kubah utamanya, berdiameter hampir 20 meter, merupakan yang terbesar di Asia Tengah pada masanya. Bentuknya sedikit oval, tidak bulat sempurna, memberikan kesan unik sekaligus monumental. Di belakangnya terdapat ruang-ruang ziarah, ruang doa, dan ruang bawah tanah yang konon dahulu digunakan untuk meditasi dan penyimpanan manuskrip suci.

Saat saya mendekat, aroma batu tua dan udara kering yang khas mulai terasa. Saya melihat para peziarah berdoa dalam hening, ada pula sekadar duduk bersandar sambil menunggu giliran masuk ke dalam makam. Suasananya tenang, khidmat, dan hening.

Saya menghabiskan cukup lama berjalan-jalan di kompleks ini, memotret dari berbagai sudut, dan kemudian duduk di sebuah bangku di taman. Di sekeliling Mausoleum memang ada taman yang luas dan terawat, lengkap dengan bangku-bangku untuk duduk dan menikmati suasana.  Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat saya ingin duduk sejenak di sana. Bukan untuk berdoa, namun hanya untuk diam saja sambil menikmati ketenangan yang terasa dalam.  

Kota Tua dengan Wajah Baru

Turkistan ternyata tidak hanya soal bangunan tua. Kota ini sedang dikembangkan besar-besaran oleh pemerintah Kazakhstan sebagai pusat sejarah dan budaya. Jalan-jalan utama baru diperluas, trotoar dibangun rapi, taman dan ruang terbuka hijau diperbanyak.

Tak jauh dari Mausoleum ada Masjid

Karavan Saray, kompleks hiburan dan wisata budaya yang dirancang seperti pasar dan penginapan kuno zaman Jalur Sutra. Di sana saya bisa melihat pertunjukan air mancur, museum interaktif, dan bazar suvenir yang menjual kain bordir, topi tradisional, dan kerajinan tangan khas Kazakh.

Beshbarmak dan Keramahan yang Hangat

Salah satu kenangan paling hangat dari perjalanan saya di Turkistan datang dari pertemuan tak terduga dengan seorang guru bahasa Inggris bernama Noor. Kami bertemu secara tak sengaja di sebuah halte dekat Mausoleum Khoja Ahmad Yasawi. Dengan senyum hangat, Noor mengundang saya ke rumahnya untuk menikmati beshbarmak yang ia masak bersama murid-muridnya. Meskipun baru pertama kali bertemu, saya langsung mengiyakan ajakannya; ada ketulisan dalam sikapnya yang membuat saya langsung percaya.

Setibanya di rumah Noor, aroma harum bawang langsung menyambut dan menggoda selera saya. Di atas meja telah tersaji sepiring besar beshbarmak: mie pipih lebar yang disiram kuah kental dan ditaburi potongan daging kuda yang empuk. Melihatnya saja sudah membuat saya tak sabar mencicipinya.

Noor dan murid-muridnya mengajak saya duduk dan mulai menyantap hidangan khas Kazakhstan itu. Saat saya mencoba menggunakan garpu, mereka tertawa dan berkata, “You should eat with fingers, because beshbarmak means five fingers, like this.” Sambil memperagakan cara makannya, mereka tertawa, membuat saya merasa seperti sudah lama mengenal mereka.

Di tengah obrolan yang cair dan tawa yang lepas, saya sadar satu hal:  bukan hanya sepiring beshbarmak yang membuat sore itu istimewa, tapi juga keramahan dan keterbukaan yang tulus dari orang-orang yang baru saja saya temui di Turkistan.

Tak Megah, Tapi Menggugah

Saya menutup kunjungan ke Turkistan dengan mencicipi sepiring sambosadan secangkir teh hitam di sebuah kafe lokal di dekat terminal matrsuhka. Rasanya sederhana, tapi mengingatkan saya bahwa hal-hal kecil bisa menimbulkan kesan mendalam.

Seperti Turkistan. Kota ini bukan kota yang megah seperti destinasi wisata populer lainnya di Kazakhstan, ia tidak punya pusat perbelanjaan atau wisata glamor. Tapi itulah kekuatannya. Kota ini mengajarkan saya bahwa tempat indah tidak harus ditemukan di kota besar atau reruntuhan megah. Kadang, ia ada dalam kota kecil yang tenang, dalam bangunan yang terus dirawat, dan dalam orang-orang yang dengan bangga menjaga warisan mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!