Dari Seratus Ribu di BSI, Impian Haji Muda Pun Dimulai
“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu ”
Saya menatap foto-foto yang diperlihatkan kakak saya, saat menunaikan ibadah haji bersama sang suami. Di foto itu tampak mereka sangat sumringah, berfoto di depan Kabah, di Jabal Rahmah, di Jumrah Aqobah, ataupun di saat wukuf di Arafah.
“Bergetar dan haru banget rasanya berada di sana. Beda, ini beda dengan umrah biasa yang kita lakuin tahun lalu. Ini perjuangan hati yang nggak ada duanya,” ceritanya menggebu-gebu.


Kakak saya dan suaminya selepas melempar Jumrah dan di Madinah.
.
Mendengar ceritanya saya jadi tersenyum haru, terbayang tiga belas tahun lalu saat kami bertiga—saya, kakak, dan kakak ipar saya—akhirnya memutuskan untuk membuka tabungan haji di Bank Syariah Indonesia (saat itu masih Bank Syariah Mandiri).
Sebenarnya orangtua kami sudah berkali-kali mengingatkan kami untuk segera mendaftarkan haji, namun beribu alasan di kepala membuat kami menundanya. Kami merasa saat itu masih sangat muda—saya baru 30 tahun dan kakak saya 32 tahun—dan masih punya waktu panjang untuk beribadah ke Tanah Suci. Kami masih menunggu waktu yang “pas” untuk berangkat.
Namun semua itu berubah karena satu hal: kakak menemukan sebuah buku yang saya lupa judulnya. Buku ini menceritakan soal tekad kuat pasangan berumur 22 tahun yang ingin pergi haji di waktu muda. Alasan mereka simpel: agar fisik mereka masih kuat saat berhaji karena haji membutuhkan fisik yang prima.
Padahal, ibadah haji menuntut kekuatan fisik. Rangkaian aktivitas ibadah haji cukup padat dan melelahkan. Tawaf 7 putaran mengelilingi kabah, sai, wukuf di Arafah, melempar tiga jumrah, mabit di Mina, semuanya menuntut fisik yang prima.
Belum lagi jarak penginapan yang jauh dengan tempat ibadah membuat jamaah haji harus berjalan. Contohnya saat prosesi lempar jumrah. Jamaah harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh dari dari tenda penginapan di Mina menuju Jamarat, tempat melempar jumrah. Bahkan menurut data dari NU Jawa Tengah, jamaah haji harus berjalan kaki sepanjang 4,5km sekali jalan. Jika ditotal, selama melempar jumrah, mereka bisa berjalan 27-40km. Itu baru saat melempar jumrah, belum termasuk lainnya.
Ditambah lagi, cuaca di Tanah Suci yang kering dan panas—atau malah dingin sekali—serta banyaknya orang dari negara lain, berpotensi menyebabkan penyakit. Sangat rentan untuk lansia.
Dana Belum Mencukupi
Kami yang tadinya menunda untuk mendaftar haji langsung sadar. Kalau saya tidak segera mendaftar haji saat itu, dengan kondisi antrean haji di Indonesia, bisa-bisa kami baru berangkat haji di usia tua. Di saat kondisi fisik sudah tak lagi paripurna.
Ya, anteran haji di Indonesia memang luar biasa. Sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak yang memberangkatkan jamaahnya, anteran haji di Indonesia bisa mencapai belasan bahkan puluhan tahun. Di tahun itu, anteran haji di Jakarta sekitar 10-11 tahun. Kini, di Jakarta, antreannya sudah mencapai 28 tahun. Sementara di Bantaeng, Sulawesi Selatan, anteran haji bahkan mencapai 47 tahun. Wow!
Namun ada masalah utama: uang kami belum cukup untuk mendaftar dan mendapatkan porsi haji. Dana yang harus disetorkan ke Kemenag untuk mendapatkan porsi haji adalah 25 juta.
Maklum, gaji kami—saya sebagai wartawan, kakak saya adalah ASN dan kakak ipar dosen muda—tidak seberapa. Tak cukup untuk mendaftar. Apalagi, kakak saya mesti membiayai anak-anaknya masuk sekolah, sementara saya harus membiayai kuliah pascasarjana yang biayanya tak sedikit. Rasanya mustahil bisa segera mendaftar haji.
Ini Bukan Sekadar Tabungan
Alhamdulillah, Allah memberi kami jalan. Kami “berkenalan” dengan Tabungan Haji dari sebuah brosur di depan CS Bank BSI. Sesuai namanya, tabungan ini memang difokuskan untuk membantu nasabah merencanakan dan mempersiapkan biaya ibadah haji dan umrah.
Beda dengan tabungan biasa, Tabungan Haji ini tidak bisa diambil kecuali untuk haji dan umrah. Karena tidak bisa diambil itulah, dana untuk pendaftaran haji akan lebih cepat terkumpul.
Kami mendaftar tabungan haji bersama dan masing-masing menyetor dana awal sekitar seratus ribu rupiah. Customer Service membantu menghitung berapa nominal yang harus kami setorkan per bulannya agar target waktu yang kami inginkan segera tercapai. Karena target kami dalam dua tahun harus mendaftar, maka dalam sebulan kami minimal harus menabung minimal satu juta rupiah.
Sesuai saran dari Customer Service, agar dana cepat terkumpul, kami mendaftar program auto debet. Setiap bulannya akan dipotong satu juta rupiah dari rekening BSI kami.

Awalnya saya pikir, sejuta itu akan sangat berat. Namun setelah membuka tabungan haji, saya jadi sadar kalau tabungan haji ini bukan hanya soal setor uang, tapi soal meneguhkan niat. Satu juta yang dipotong setiap bulannya terasa enteng setelahnya.
Memang berkali-kali saya harus menahan diri dari keinginan-keinginan duniawi: menunda liburan, mengurangi jajan, atau berhenti belanja impulsif. Tapi semua itu terasa ringan karena ada satu tujuan besar yakni bertemu Allah saat Haji di Tanah Suci.
Setiap kali saya menabung, saya membayangkan suasana wukuf di Padang Arafah—tempat paling sakral dalam ibadah haji. Di sana, jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul, berdiri, berdoa, menangis, memohon ampunan. Di sinilah dosa-dosa digugurkan, hati dilapangkan, dan jiwa seolah dilahirkan kembali. Saya membayangkan berdiri di bawah langit Arafah, bersama ribuan umat muslim lainnya. Tanpa perbedaan jabatan, tanpa status, hanya seorang hamba yang tunduk total kepada Rabb-nya.
Dengan tekad ini, alhamdulillah, dalam waktu satu setengah tahun saja saya sudah berhasil menabung 25 juta dan bisa mendapatkan nomor porsi haji. Kakak saya yang berhasil mengumpulkan dana lebih cepat, akhirnya mendaftar lebih dahulu,
Alhamdulillah, kakak saya dan suami telah berangkat haji dan InsyaAllah, dua tahun lagi, di 2027, saya akan menjemput impian emas saya menuju tanah suci untuk berhaji.
Menuruskan Tradisi, Menabung Haji di BSI
Impian berhaji sejak muda saya teruskan ke kedua keponakan saya, anak kakak saya. Mereka, yang sedari kecil telah dicekoki tentang keistimewaan dan keutamaan berhaji langsung mengiyakan tawaran saya ini.
Tadinya saya akan buka di cabang BSI di dekat rumah, namun ketika saya berkunjung ke BSI Internasional Expo di JCC, saya melihat ada stand BSI. Ternyata, di situ saya bisa membuka Tabungan Haji untuk kedua keponakan saya.
Karena sudah punya KTP, si kakak bisa mendapatkan Tabungan Haji, sementara si adik yang usianya masih di bawah 17 tahun bisa membuka Tabungan Haji Muda.


Mengapa BSI?
aya memutuskan tetap menggunakan BSI untuk kedua keponakan saya. Alasannya sederhana: BSI adalah bank syariah milik pemerintah, jadi keamanan dana benar-benar terjamin. Selain itu, cabangnya ada di mana-mana, sehingga mudah diakses kapan saja.
Proses pendaftarannya juga sangat praktis. Semuanya bisa dilakukan secara online lewat aplikasi ByondbyBSI. Bahkan setoran awalnya sangat terjangkau—cukup mulai dari Rp100.000 saja, tanpa biaya administrasi bulanan.
Tabungan Haji BSI ini juga sudah terhubung langsung dengan Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT), sehingga proses validasi data lebih cepat dan akurat. Setelah saldo mencukupi untuk pendaftaran porsi haji, nasabah akan menerima notifikasi secara otomatis.
Semua kemudahan ini membuat saya semakin yakin bahwa menabung haji di BSI bukan hanya langkah finansial, tetapi juga bentuk kesiapan spiritual yang nyata untuk menggapai impian emas ke Baitullah.
Sumber:
- https://www.bankbsi.co.id/produk&layanan/tipe/individu/parent/produk/bsi-tabungan-haji-indonesia
- https://jateng.nu.or.id/
