Pelesiran Bangkok-Chiang Mai-Chiang Rai (part 8): Menuju White Temple
White temple di Chiang Rai, itulah tujuan kami hari ini.
Awalnya, saya dan kawan-kawan ingin menggunakan jasa tur dari Chiang Mai. Tur ini nantinya akan mengunjungi White Temple dan Golden Triangle, perbatasan antara Myanmar, Thailand dan Laos. Kami sudah menyiapkan dana untuk mengikuti tur ini, tapi ternyata waktunya tak matching dengan jadwal kami. Hampir semua tur kembali ke kota Chiang Mai sekitar pukul 7 malam, sementara kami harus naik bus kembali ke Bangkok sekitar pukul 9 malam. Jeda yang hanya 2 jam dianggap cukup mepet, tak ada tur yang mau mengambil risiko ini.
Akhirnya, kami menggunakan bus umum, Greenbus namanya. Satu-satunya bus menuju Chiang Rai ini bisa didapat dari Chiang Mai Bus Arcade terminal 3 dan beberapa tempat lainnya di Chiang Mai. Ada beberapa kelas yang ditawarkan, dengan harga yang berbeda tentunya. Ada kelas standar 1, standar 2 dan VIP. Kami sebenarnya ingin membeli tiket kelas standar saja, tapi karena mengejar waktu, kami membeli tiket bus yang akan segera berangkat. Ternyata, yang ada hanya tiket VIP. Cukup mahal jika dibandingkan kelas standar, tapi ya sudahlah. Kalau tidak salah ingat, harganya sekitar 200bath sekali jalan. (Untuk harga dan jadwal liat website Greenbus ini ya).
Tadinya saya pikir, karena berembel-embel “green”, saya akan mendapatkan bus berwarna serba hijau. Lucu nih, pikir saya. Ternyata warna hijau hanya ada di plang loket, sementara busnya tetap berwarna putih, dengan interior berwarna krem dan hitam. Tak penting sebenarnya warna interiornya, karena bus VIP yang kami dapatkan ini sangat menyenangkan (ya iyalah, VIP gitu loh). Selain bangku yang nyaman, ia juga dilekapi dengan TV dan game stick. Bisa maen game!
Setelah 3 jam, bus kami sampai di Chiang Rai. Sebenarnya, tujuan akhir bus ini adalah Chiang Rai New Bus Station, tapi agar lebih gampang, kami minta kepada sopir bus untuk menurunkan kami di dekat White Temple. Ya, white temple ini terletak tak jauh dari pinggir jalan yang dilewati bus-bus yang akan menuju Chiang Rai Bus Station, termasuk greenbus yang kami naiki. Dari situ, tinggal berjalan kaki menuju sebuah gang. Tak terlalu jauh. Jangan khawatir terlewat karena hampir separuh isi bus turun di sini, dan supir berteriak-teriak menyuruh penumpang white temple turun. Tapi untuk jaga-jaga, mintalah kepada orang di hostel untuk menuliskan kata-kata “white temple” dalam bahasa Thailand, lalu tunjukkan kepada supir bus.
****
Ketika saya bertanya soal White Temple ini kepada Dave, pemilik hostel di Chiang Mai, ia menyarankan untuk tidak mengunjungi tempat ini karena hanya akan menghabiskan waktu di jalan.
“Seven hours you have to spend, only to see new temple. Not make sense,” katanya. Lebih baik waktu yang kami punya dimanfaatkan untuk mengeksplor Chiang Mai, katanya lagi.
Saya mengiyakan saja. Memang benar, untuk menuju ke sana, saya butuh waktu lebih dari 6 jam (pulang pergi). Tapi di dalam hati, saya tetap ingin pergi ke Chiang Rai. Kalaupun nanti hasilnya mengecewakan, toh paling tidak saya telah mengunjunginya, kan? Bagi saya, ini lebih baik ketimbang tak ke sana dan hanya mendengar keindahan White Temple dari mulut orang.
Untung saya mengikuti ego saya. Untung pula kawan-kawan saya sependapat dengan saya. White Temple memang benar-benar indah, paling tidak, ia berbeda dengan kebanyakan temple yang berwarna emas. Perjalanan lama menuju tempat ini lunas terbayar begitu menyaksikan temple yang sebenarnya bernama Wat Rong Khun ini. Segala sudut rasanya sangat menarik untuk dijadikan objek foto, apalagi jika ditambah cerita dan filosofi yang ada di balik pembuatan kuil ini.
Kuil putih ini dibangun di tahun 1997 oleh seorang seniman asal Thailand yang bernama Chalermchai Kositpipat. Seniman ini sangat memuja Antonio Gaudi, arsitek sekaligus seniman asal Spanyol yang membangun Sagrada Familia, gereja di kota Barcelona. Ia juga ingin membangun sebuah tempat ibadah untuk agama Budha yang penuh filosofi dan detail yang rumit. Sama dengan Sagrada Familia yang tak kunjung selesai dibangun karena kerumitannya, White Temple juga belum selesai dikerjakan. Konon, bangunan ini baru akan rampung di tahun 2070. Wow!
Nantinya, saat semua bangunan selesai, kompleks kuil ini akan terdiri dari 9 bangunan. Saat ini, yang bisa dilihat hanya empat bangunan saja yakni bangunan utamanya dan jembatan yang ada di depannya. Yap, sebelum masuk ke dalam wat, ada sebuah jembatan yang agak menyeramkan. Di kanan kiri jembatan ini ada “kolam” yang berisi sclupture tangan-tangan yang berusaha menggapai ke atas. Saya pikir, ini adalah simbolisasi neraka. Menyeramkan. Tapi ternyata, tangan-tangan ini merupakan simbol dari harapan dan keinginan manusia.
Setelah melewati jembatan yang membuat bulu kuduk saya merinding, ada sebuah gerbang lagi, yang dinamakan Gate of Heaven. Ini tempat yang cocok untuk bernarsis ria karena gerbangnya sangat indah. Tapi bagi saya, bukan gerbangnya saja yang indah, semua sudut bangunan buatan ini indah. Apalagi saat ditimpa matahari, karena di ujung-ujung bangunan ada semacam kaca yang akan berkilauan jika terkena cahaya matahari. Menurut cerita teman saya yang menggemari fotografi, di sore hari, tempat ini jadi jauh lebih indah. Hmmm…
***
Setelah puas, dan sedikit panik karena paspor saya tak ada di tas, kami kembali ke Chiang Mai. Tak seperti saat datang, ketika pulang ini kami harus menuju stasiun bus dahulu. Dari jalan utama (tempat turun tadi), kami harus naik songtheuw menuju stasiun bus. Cukup lama kami harus menunggu. Kami sempat khawatir kami salah menunggu, tapi untunglah ada dua orang ibu-ibu yang berbaik hati menemani kami hingga kami mendapatkan taksi merah itu. Padahal, mereka tak bisa bahasa Inggris, dan kami tak mengerti sedikit pun kalimat yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya tahu satu hal: kami ingin menuju stasiun bus.
Tapi memang benar kata William Arthur Ward, pujangga asal Inggris: Kindness is a universal languange. Kita tak perlu mengerti bahasa orang lain untuk membantu mereka.