Satu Hari di Perkampungan Muslim Champa Vietnam

Kalau bicara soal Vietnam, yang terbayang di benak saya adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang dikuasai partai komunis. Empat kali ke sini, saya tak menyangka kalau di sini termyata ada suatu area perkampungan yang didominasi umat muslim yang berasal dari Suku Champa.

Perkampungan muslim Suku Champa ini terletak di Chau Pong, Provinsi An Giang, Vietnam Selatan, yang berbatasan dengan Kamboja. Kali ini saya diajak berkunjung ke sana oleh Inviet.MS, sebuah perkumpulan nirlaba yang menitikberatkan hubungan antara umat muslim Indonesia dan Vietnam.

Perjalanan menuju Chau Pong kami lakukan di malam hari dengan menggunakan bus sewaan. Setelah 6 jam berkendara, kami tiba Chau Doc, pelabuhan kecil di tepian Hau River. Rupanya kota Chau Pong ini dikeliling sungai sehingga cara tercepat untuk sampai di sana adalah menyebrang dengan menggunakan feri.

Suasana penyebrangan ferry

Berkenalan dengan Muslim Champa

Kami tiba di Chau Pong dini hari dan diajak beristirahat sejenak di rumah penduduk yang masih kerabat dengan pengurus Inviet. Saya, yang tak bisa memejamkan mata sedikit pun karena kamar yang disediakan amatlah kecil dan tak dapat menampung kami semua, memutuskan untuk berjalan-jalan pagi saja sambil menikmati suasana kampung.

Ditemani Bunda Mudrikah, salah satu peserta tertua, saya mencoba mengamati kehidupan muslim Vietnam.

Di sini, saya tak merasa berada di Vietnam. Orang-orang Chau Pong wajahnya sangat Melayu: bermuka bulat, berkulit putih, dan bermata besar—tak sipit seperti kebanyakan orang Vietnam yang saya temui di Ho Chi Minh dan kota-kota lain di Vietnam. Hampir semua wanitanya berjilbab dan yang laki-laki berjanggut. Lebih mirip dengan orang Kamboja, mungkin karena wilayah ini amat dekat dengan perbatasan Kamboja.

.

.

Salah satu sudut perkampungan yang ternyata berada dekat dengan sungai

Banyak literatur yang mengatakan bahwa penduduk kampung ini berasal dari Kerajaan Champa di Nin Thuan, Vietnam. Saat perang, mereka bermigrasi ke Kamboja dan setelah perang usai, mereka kembali ke Vietnam.

Dulu, kerajaan Champa ini adalah kerajaan yang memeluk agama Hindu-Budha, namun di abad ke-9, Islam masuk ke kerajaan ini melalui pedagang-pedagang Arab.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa masyarakat yang ada di kampung ini sekarang bukan berasal dari kerjaan Champa, namun merupakan perpaduan dari berbagai etnis yang ada di Malaysia, Vietnam, dan Kamboja. Terbukti dari bahasa yang mereka gunakan, yang merupakan campuran dari bahasa-bahasa tersebut.

Mencicipi Kuliner Lokal Champa

Pagi hari di sini hampir mirip dengan pagi hari di desa-desa di Indonesia. Suara azan menggema di masjid dekat rumah tempat kami menginap. Ya, karena ini perkampungan muslim, ada beberapa masjid di sini.

Layaknya kampung Indonesia, di pagi hari banyak warung kecil yang menjajakan kue, yang lagi-lagi malah mirip kue di Indonesia. Ada pisang goreng, kue wafel, dan beberapa kue yang sering saya temukan di pasar dekat rumah. Ada pula penjual buah yang berkeliling dengan sepeda motor ataupun gerobak yang ditenagai motor.

Yang membedakan dengan Indonesia hanyalah ada pedagang bunga di sini. Ya, rupanya kesukaan warga Vietnam pada bunga juga terlihat di sini.

..

.

Saya yang ingin mencicipi kuliner yang berbeda dengan di Indonesia akhirnya berlabuh di sebuah warung kecil yang menjual mie putih berkuah bening yang mirip dengan Mie Pho. Saya tak tahu namanya; ibu penjual sebenarnya sudah berusaha menjelaskan nama makanan itu tapi saya tak bisa mencerna kalimatnya dengan baik.

Baca Juga: Makanan Halal di Ho Chi Minh

Kunjungan ke Dua Pesantren

Tujuan utama saya dan rombongan ke sini adalah untuk memberikan donasi dan al quran ke umat muslim Champa di Chau Pong. Karenanya kami berkunjung ke dua tempat. Pertama, ke pesantren laki-laki yang terletak di kompleks Masjid Jamiul Azhar.

Di masjid bergaya Moorish ini, kami bertemu dengan para santri sekaligus menikmati makan siang di sini. Para santri ini tampak sangat antusias bertemu kami namun sayangnya, mereka sama sekali tak bisa berbahasa Inggris sehingga kami kesulitan berkomunikasi.

Satu-satunya yang bisa berbahasa Inggris dan Melayu hanyalah pemimpin pesantren yang pernah mengenyam pendidikan di Malaysia.

Penyerahan donasi kepada para santri

Kunjungan kedua adalah ke pesantren khusus wanita, yang lokasinya sekitar 200 meter dari pesantren pertama. Kami disambut para santriwati yang berpakaian serba hitam dan pengajarnya–yang bisa berbahasa Inggris karena pernah juga menempuh pendidikan di Malaysia.

Agak berbeda dengan pesantren di Indonesia yang pernah saya lihat, pesantren ini terdiri atas beberapa kamar-kamar bersebelahan yang malah mengingatkan saya dengan rumah kontrakan petak dekat rumah. Beberapa ruangan mereka gunakan untuk belajar, ruangan lainnya berfungsi sebagai ruang tidur.

Walaupun bersih, namun sepertinya luas pesantren ini tak cukup besar untuk menampung santri-santri yang jumlahnya cukup banyak.

Pesantren wanita Champa di Vietnam
Pesantren wanita Champa. Photo by: Vina

Rasanya seru berlama-lama di sini, namun sayangnya kami harus segera kembali ke Ho Chi Minh.

Baca Juga : Cara Lain Menikmati Ho Chi Minh

28 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!