Kisah Erwin: Berhenti Merokok Karena Harganya Mahal

roko 3
Sumber: 123rf.com

“Orang Indonesia mesti dipaksa buat berenti merokok. Dipaksanya mesti pake hitung-hitungan duit.

Begitu kata Erwin, kawan saya yang kini hidup dan bekerja di Sydney, Australia, saat saya melakukan video call dengannya kemarin sore. Kami berbicara soal kebiasaannya merokok yang berubah sejak ia memutuskan pindah ke Australia dan bekerja di sana.

Ya, sejak pindah ke Sydney tiga tahun silam, Erwin mengurangi belanja rokoknya cukup drastis. Perubahan tampak jelas terasa, wajahnya yang dulu kuyu dengan bibir menghitam sekarang terlihat segar.

Ia “dipaksa” mengurangi konsumsi rokok karena harga rokok di Australia amat mahal. Sebungkus rokok isi 20 batang dibanderol dengan harga sekitar 30 – 48 AUD atau sekitar 300.000- 500.000 rupiah. 

“Waktu di Jakarta, gue bisa ngerokok setengah bungkus sehari. Kadang sebungkus kalau lagi stres ama kerjaan atau lagi nongkrong ama temen. Paling banyak abis 25 ribu (rupiah) lah. Nah kalau di sini gue kayak gitu, bisa tekor gue.”

Ia memberikan hitungan begini: kalau ia masih tetap dengan kebiasaan merokoknya, dalam sebulan ia akan menghabiskan uang minimal 1.000 AUD atau setara  10 juta rupiah lebih.

“Gaji gue sebagai professional di sini cukup lumayan, jauh di atas gaji kelas menengah di Indonesia. Tapi mending duit segitu gue pake buat makan dan sewa rumah daripada beli rokok, kan,” tambahnya.

Mengapa Mereka Merokok?

Ada beberapa alasan kenapa Erwin, dan banyak orang Indonesia merokok dan sulit menghentikannya. Alasannya antara lain adalah karena adiksi nikotin dan harga rokok yang murah. 

Adiksi alias kecanduan zat nikotin yang ada di dalam rokok menjadi penyebab utama. Jadi, ketika nikotin yang diisap terserap ke dalam darah dan diteruskan ke otak, akan terjadi pelepasan dopamin yang memberikan rasa bahagia dan nyaman.

Ketika dopamin berkurang, rasa nyaman bisa hilang dan ujung-ujungnya timbul keinginan untuk kembali merokok.

Ditambah lagi, ketika perokok berhenti merokok, akan muncul gejala putus nikotin yang menyebabkan tubuh merasa tak nyaman. Hal itu dikarenakan neuro transmitter yang selama ini membawa efek nyaman pada perokok jadi berdampak sebaliknya.

Begitu nikotin tidak lagi masuk ke dalam tubuh, perokok akan batuk-batuk, tak enak badan, sakit kepala, sulit tidur, dan lain-lain. Dan akhirnya, balik lagi ke rokok.

Murahnya Harga Rokok di Indonesia

Alasan lainnya adalah karena murahnya harga rokok di Indonesia. Saat ini, sebungkus rokok di Indonesia hanya dibanderol dengan harga 19.000-30.000 rupiah. Para pekerja yang gajinya di bawah UMR masih sanggup membeli ini. Anak-anak sekolah pun, kalau mereka patungan, bisa membeli ini dengan uang jajan mereka.

Apalagi di warung-warung kecil seperti di warung dekat rumah saya, rokok bisa dibeli secara eceran dengan harga hanya Rp2.000-2.500 per batang. Dengan harga tersebut, remaja dan anak sekolah masih mampu membeli rokok dengan uang jajan mereka. 

Saya ingat, Erwin juga menceritakan kalau ia memulai merokok sejak berada di bangku sekolah menengah. Mereka patungan membeli sebungkus rokok bersama teman-temannya dan kemudian mengisapnya sepulang sekolah. 

Coba kita bandingkan dengan harga rokok di beberapa negara ini.

Dari infografis di atas, terlihat kan kalau sebungkus rokok merek Marlboro isi 20 di Australia dihargai USD 20,38 atau kira-kira Rp300.000. Sementara saat ini rata-rata harga 1 bungkus rokok Marlboro di Indonesia adalah sekitar Rp30.000.

Masih terbilang murah.

Harga rokok yang murah ini menyebabkan jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data yang saya kutip dari TCSC (Tobacco Control Support Center) Indonesia menyatakan saat ini di Indonesia ada 89 juta jiwa perokok aktif, dan merupakan jumlah terbesar ketiga di dunia dan pertama di ASEAN.

Pantas aja, kawan saya di Singapura pernah bilang, “Akhirnya Indonesia menang juga dari Singapura, di bidang rokok!”

Perokok Remaja Makin Meningkat

Sedihnya ya, jumlah ini termasuk perokok dari usia remaja. Saya mencoba mencari tahu soal ini dan menemukan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan.

Di situ tertulis kalau makin tahun makin banyak saja perokok remaja di Indonesia. Di tahun 2018 aja, ada 9,1% perokok remaja. Kalau populasi pada kelompok usia itu sekitar 40,6 juta jiwa,  berarti sudah ada sekitar 3,9 juta anak yang merokok. 

diolah dari artikel di: infodatin-hari-tanpa-tembakau-sedunia terbitan kemkes.go.id dan TCSC

Para perokok muda ini karena sudah kecanduan nikotin, umumnya akan terus memertahankan kebiasaan mereka merokok hingga dewasa dan akan sulit untuk berhenti. Erwin contohnya.

Sementara di Australia, di mana harga rokok sangat mahal, jumlah perokok turun setiap tahunnya. Mengutip Laporan Australian Institute of Health and Welfare (AIHW), di tahun 2016 12,8% orang dewasa merokok setiap hari. Sementara di tahun 2019 angkanya menjadi  11,6%.

Artinya, ada penurunan sebesar 1,2 %, dalam kurun waktu 3 tahun. Banyak lho ini untuk ukuran Australia yang jumlah penduduknya hanya 25 juta jiwa.

Pandemi, Saat Tepat Naikkan Cukai Rokok  

Karena itulah, sebagai upaya untuk mengurangi jumlah perokok, banyak pihak yang meminta pemerintah Indonesia mengatur lagi regulasi soal rokok ini. Salah satunya  dengan menaikkan harga cukai tembakau supaya harga rokok menjadi lebih mahal.

Hal ini terungkap dalam siaran Ruang Publik Berita KBR dengan tema “Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi” pada tanggal 29 Juli 2020 lalu. Siaran ini menghadirkan dua pembicara yakni Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau,  dan  R. Renny Nurhasana, Dosen dan Peneliti Sekolah Kajian Strategic dan Global Universitas Indonesia. 

Screenshot_20200729-090133

Screenshot_20200729-090226
Para pembicara di Ruang Publik Berita KBR. Atas kanan:  Prof. Hasbullah Thabrany, bawah kanan: R. Renny Nurhasana

Kenaikan harga cukai sebenarnya sudah dilakukan pemerintah Indonesia beberapa kali. Terakhir, pada 1 Januari 2020 lalu, pemerintah sudah menaikkan cukai rokok sebesar 23% sehingga harga eceran rokok pun rata-rata jadi naik 35%.  Harga rokok Marlboro misalnya, yang tadinya sebesar Rp27.000/bungkus kini jadi sekitar Rp 30.000/bungkus.

Namun menurut Prof. Hasbullah, kenaikan cukai sebesar ini belum cukup untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Ia menyarankan, “Kalau  kajian kami, harga rokok di Indonesia saat ini harusnya Rp70.000/bungkus lah, supaya yang lama saja, yang baru-baru tidak memulai merokok.”

Jadi, Kenapa Cukai Harus Naik Saat Pandemi?

Ada beberapa alasan mengapa pandemi ini adalah saat yang tepat untuk menaikkan cukai rokok.

1. Rokok Mempermudah Masuknya Virus Covid-19.

Covid-19 adalah virus yang  berdiam di paru-paru, menyumbat saluran pernapasan dan menyebabkan sesak napas. Nah, rokok dan zat yang terkandung di dalamnya, memudahkan virus masuk ke dalam tubuh dan mempermudah kerusakan paru-paru. Ditambah lagi, perokok lebih sering memegang mulutnya ketika merokok tanpa mencuci tangan dan ini berisiko memicu infeksi Covid-19 masuk ke dalam tubuh.

Mirisnya, meski banyak yang telah mengetahui risiko ini dan harga cukai pun telah dinaikkan di awal tahun, permintaan rokok selama pandemi ini justru meningkat.

Saya tak menemukan data resmi yang mencatat jumlah kenaikan permintaan rokok total, namun mengutip artikel dari situs tempo.co, menurut Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus, Agus Sarjono, beberapa pabrik rokok di Kudus menaikkan jumlah produksi rokoknya selama pandemi ini.

rokok 12
Sumber: malangkota.go.id

2.  Perokok Pasif Bisa Bertambah

Senada dengan Prof. Hasbullah, Renny juga menekankan pentingnya menaikkan lagi cukai rokok saat pandemi ini.

“Mengapa? karena saat pandemi begini, para perokok rata-rata work from home. Di gedung (kantor) mereka kan nggak bisa sembarangan merokok. Sementara di rumah bisa semaunya, sehingga ada kemungkinan anak-anaknya terkena paparan asap rokok,” tukasnya.  

Ditambah lagi, saat pandemi ini banyak orang yang terkena masalah ekonomi dan segala macam beban pekerjaan, yang membuat mereka pusing dan stress sehingga rokok pun jadi bahan pelarian.

Seperti yang kita ketahui, paparan asap rokok yang diisap oleh keluarga dan anak-anak perokok bisa menimbulkan banyak masalah. Perokok pasif, begitu sebutannya, bisa mendapatkan penyakit sama dengan yang didapatkan oleh perokok aktif.

3. Mengembalikan Kesejahteraan Keluarga dan Mencegah Stunting

Dari hasil penelitiannya, Renny menemukan fakta bahwa selama ini dana bantuan tunai  (BLT) yang diterima masyarakat malah digunakan untuk membeli hal-hal lain yang tidak relevan, termasuk membeli rokok.

Hasil penelitian yang ia lakukan juga memperlihatkan bahwa penerima bantuan langsung tunai membeli rokok lebih banyak dari yang tidak menerima bantuan.

Hasil riset yang dilakukan Reny dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) juga menemukan bahwa pada tahun 2014 terjadi peningkatan konsumsi rokok  sebanyak 2%, dan ini menyebabkan penurunan pengeluaran beras, protein, sumber lemak, serta pendidikan.

PKJS-UI juga melakukan studi kasus terhadap keluarga yang punya balita stunting (balita yang mengalami pertumbuhan lebih lambat akibat kekurangan gizi) di Kabupaten Demak, dan terbukti kalau jika di keluarga tersebut, gizi untuk anak tidak terpenuhi akibat orang tuanya mengkonsumsi rokok.

Nah, jika cukai dinaikkan dan rokok menjadi mahal, harapannya para kepala keluarga mengurangi belanja rokok bahkan kalau memungkinkan menghilangkan rokok dari daftar belanja keluarga. Ujung-ujungnya, uang yang tadinya dikeluarkan untuk rokok bisa dialihkan untuk belanja makanan bergizi dan stunting pada anak pun bisa dihindari.

Seperti pernyataan Prof. Hasbullah, “Duit 20.000 daripada mereka belikan rokok, mending dibelikan telur. Biar terpenuhi proteinnya.”


Memang sudah saatnya cukai rokok dinaikkan lagi agar harga rokok semakin mahal, dan jumlah perokok menurun.

Saya jadi ingat teori ekonomi terkenal yang saya pelajari di bangku kuliah: “Semakin mahal harga barang, konsumen akan mengurangi konsumsi barang tersebut atau beralih ke barang lain. Sebaliknya, semakin murah suatu harga, konsumen akan loyal terhadap barang tersebut”.

Jadi, semakin mahal harga rokok, konsumen akan mengurangi konsumsi rokok. Terbukti pada  kawan saya,  Erwin.


Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

***
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog KBR.

Referensi artikel:

Comments

  1. Aku bukan perokok. Lingkaran paling dekat pun jarang ada yang merokok. Jikapun ada yang merokok aku nggak masalah asal… nggak deket-deket aku, gak merokok dekat anak kecil dan buang puntung sembarangan. Nah, denger pengalaman temennya yang tinggal di Oz dan Jepang berhenti karena rokok mahal, setuju banget. Indonesia harus berani gitu.

    Orang gak serta merta berhenti, tapi bakalan mengurangi. Beberapa kerabatku sering mengeluhkan bokek tapi untuk rokok jalan terus. Ini yang aku kadang gak habis pikir.

    1. Kereen deh ga ngerokok. Jarang-jarang nih yang begini.

      Bener, org Indonesia walau bokek tetep ada duit buat rokok. Pernah ada pengemis yg minta2 di depan warung Padang deket rumah. Dia bilang ga punya duit buat makan, tapi terus di tangannya ada rokok. Nyebelin banget

      1. Haha iya, aku bisa ngap kalau cium asap rokok. Bener, aku kalau ada pengemis, pengamen tapi merokok langsung bhay. Pedagang yang ngerokok juga aku hindarin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!