6 Perbedaan Travelling Zaman Dulu vs Zaman Sekarang

“Better to see something once than hear about it a thousand times”

~Anyonymous

Saya mulai travelling ke luar negeri secara mandiri sejak 15 tahun lalu, sejak saya bisa membiayai sendiri perjalanan saya tanpa campur tangan orang tua. Saat itu, Airasia baru melebarkan sayapnya ke Indonesia, sehingga harga tiket pesawat yang tadinya selangit dan cuma bisa dibeli segelintir orang, jadi terjangkau untuk semua orang. Mengutip kata Tony Fernandes, CEO Airasia, “Now everyone can fly.”

Selama 15 tahun itu, teknologi makin berkembang. Kecepatan informasi pun makin bertambah. Dalam waktu singkat, berbagai informasi soal travelling bisa dicari dari berbagai belahan dunia. Dulu, untuk mencari informasi tentang suatu destinasi, saya mesti bertanya langsung ke orang-orang atau membeli buku panduan semacam Lonely Planet yang harganya minta ampun mahalnya. Kini, semuanya tinggal klik, tinggal cari di google.

Selain soal informasi, banyak hal jadi berbeda di dunia travelling. Nah, ini dia beberapa perbedaan travelling zaman dulu  dan sekarang, versi saya tentunya.

1. Tak Ada Internet, Janjian Ketemu Pakai SMS

Zaman awal saya travelling dulu, tak ada provider internet atau Mifi seperti Java Mifi, dan lain sebagainya. Paling banter ada internet roaming dari provider lokal yang tarifnya mencekik. Penjual SIM card lokal di bandara pun tak sebanyak sekarang, dan kalaupun ada, syarat pembeliannya luar biasa susah. Misalnya saja dulu di China, untuk mendapatkan harus fotokopi paspor, dan hanya bisa dibeli di gerai resminya di tengah kota.

Karena mahal, biasanya saya cuma mengandalkan wifi gratisan di penginapan atau restoran, yang seringkali nyala-hidup semaunya. Atau paling sering, wifi-nya hanya ada di public room atau di ruang komunal dekat resepsionis. Jadi kalau mau cari info, ya mesti nongkrong di sana, sambil memandangi mas resepsionis.

Nah, karena tak bisa dibantu internet sepanjang perjalanan, mau tak mau persiapan saya harus matang sebelum berangkat. Itenerary harus dibuat selengkap mungkin, disertai dengan cara menuju ke sana dari titik ke titik.

Yang repot, kalau pergi beramai-ramai dan terpisah. Janjiannya susah, paling murah pakai SMS yang tarifnya sekali SMS sekitar 10 ribu rupiah. Kalau sekarang mah gampang, kepisah pun tinggal telp via WA, kan?

Anehnya, walau tanpa internet, saya dan kawan-kawan sukses-sukses saja travelling ke negara-negara yang waktu itu masih “mentah” dan minim informasi seperti Myanmar, Kamboja, dan Vietnam.  Sukses janjian di satu titik kalau terpaksa berpisah, tanpa harus nyasar dan cari-mencari. Pernah, saya dan kawan-kawan terpisah di Angkor Wat dan tanpa internet, kami berhasil bertemu di tengah

Kalau sekarang, tanpa internet, pusingnya luar biasa.

2. Peta Cetak Vs Digital

map
Map seperti ini yang saya dulu saya bawa ke mana-mana. Sumber: GISResource.com

Zaman awal saya travelling dulu, belum ada yang namanya google map apalagi movit dan segala macam aplikasi untuk membantu mencari jalan. Kalau cari alamat, ya mesti liat peta cetak. Peta segede gaban itu mesti dibawa-bawa ke mana-mana.

Peta itu biasanya saya dapatkan dari teman yang sudah ke sana atau dari Tourist Information Center di bandara. Atau biasanya, di dekat pintu keluar akan ada rak besar tempat segala flyer dan peta ada di sana. Tinggal ambil.

Sebagai cadangan, biasanya saya mengunduh lebih dahulu peta di internet lalu mengeprintnya. Nanti di penginapan, barulah saya minta atau pinjam peta dari hotel. Kalau nggak ada juga, ya nasib. Cuma bisa mengandalkan GPS alias Gunakan Penduduk Setempat.

Tak enaknya, tas jadi lebih berat dengan peta-peta itu. Enaknya, saya lebih paham soal arah dan letak suatu destinasi ketimbang sekarang yang cuma mengandalkan suara dari mbak di Google Map: “two hundred meter, turn left“.

Baca Juga: Restoran dan Makanan Halal di Bukit Bintang

3. Google Translate Manual

google_translate
Sumber: ayosemarang.com

Karena internet tak ada, segala aplikasi penunjang pun juga ga ada, termasuk google translate. Nah, kalau ke negara-negara yang masyarakatnya tak bisa bahasa Inggris seperti China, mau tak mau di itenerary saya ada dua bahasa.

Seperti yang saya buat waktu ke China. Itenerarynya saya buat dalam bahasa Indonesia, dan di sebelahnya ada aksara Cina. Biasanya kan kalau googling destinasi, akan muncul nama dengan aksara China.  Nah itulah yang saya copy dan paste di itenerary saya.

Akibatnya, itenerary saya jadi panjang. Bahkan waktu ke China, itenerary saya sudah seperti buku. Ada 30 halaman!

4. Airasia Mirip Angkot

airasia
sumber: thejakartapost.com

Di awal kemunculannya, Airasia itu tidak menerapkan nomer seat. Jadi penumpang bebas memilih seat sesuai kemauannya. Siapa cepat, dia dapat kursi yang enak.

Jadi, begitu pintu gate dibuka, kita harus lari sekencang-kencangnya agar bisa naik ke pesawat lebih dulu dan dapat kursi oke. Apalagi kalau pergi bareng teman, biasanya saya yang kebagian lari duluan ke pesawat sementara kawan saya membawakan tas saya agar saya bisa lari lebih cepat.

Mirip naik kereta Commuter Line atau Transjakarta di jam sibuk., deh. Rusuh!

Baca Juga: 6 Hal yang Harus Dilakukan di Luang Prabang

5. KLIA 2 Dulu Mirip Gudang

lcct-inside
Sumber: backpackingmalaysia.com
P1290916
Tempat “melantai favorit di LCCT, üntuk ngecharge hp. Di sebelah kiri itu Marrybrown.  (Foto tahun 2011)

KLIA 2, tempat mendarat pesawat Airasia, dulu tak sebagus sekarang. KLIA 2 ini baru dibuka tahun 2014 silam. Dulu namanya masih LCCT (Low Cost Carier Terminal) dan bentuknya masih mirip gudang.

Ya, benar-benar seperti gudang besar. Atapnya dari lembaran baja yang langit-langitnya terekspos. Jalur pipa AC terlihat jelas di sana. Dindingnya dari gipsum yang di beberapa bagian sudah agak kotor. WC-nya pun jorok, dan tak banyak bangku untuk duduk sehingga saya lebih sering “melantai” alias duduk di lantai saat sedang menunggu penerbangan.

Tempat makannya hanya ada beberapa, salah satunya adalah Marry Brown, fast food asli Malaysia. Restoran ini kecil dan banyak lalatnya!

6. Fiskal yang Bikin Harga Tiket Selangit

Tahu fiskal luar negeri? Fiskal luar negeri ini adalah pajak yang harus dibayarkan oleh orang yang mau melakukan perjalanan ke luar negeri, baik melalui udara, laut, maupun darat. Tarif fiskal ini sebesar Rp1.000.000 untuk perjalanan udara, dan Rp500.000 untuk perjalanan darat dan laut. Lumayan mahal kan?

Nah, waktu pertama kali ke Singapura tahun 2004 , saya nggak sanggup membayar fiskal satu juta itu. Akhirnya, demi mengirit bujet 500ribu, saya terbang dulu ke Batam dan kemudian naik ferry ke Singapura. Niat banget kan?

Untungnya, di tahun 2009, fiskal perlahan-lahan mulai dihapuskan. Mayan, irit sejuta!

Baca Juga: 4 Tempat Wisata Gratis di Singapura yang Jarang dikunjungi Turis Indonesia

 

 

 

 

Comments

  1. Meskipun kadang bawa wifi untuk memastikan koneksi internet terjaga, kalau mengunjungi negara yang baru pertama kali dikunjungi saya selalu memadukan gaya traveling jaman sekarang dengan konvensional. Untuk beberapa hal penting saya selalu siapkan backup manualnya sih. Sekadar antisipasi. Kaya misalnya kalau tahu-tahu wifi ngadat/ga aktif begitu kita mendarat. Biasanya map menuju hotel/penginapan dari halte bus/stasiun metro terdekat selalu saya simpan. Seringkali saya cetak, sering juga hanya disimpan fotonya di hape.

    1. Ideem…aku sampe sekarang masih ngeprint rute dari stasiun/airport sampe hotel. Biar aman dan tenang 😀

      1. Daripada repot ntar ya Mba, setidaknya nyampe kamar hotel dulu kan, baru nanti utak atik wifi ngadatnya atau nanya2 ke orang kalo ada masalah 🙂

  2. KLIA2 bener2 keliatan evolusinya sekarang. Pun buatku yang baru mulai di 2014, udah berasa sekali bedanya. Ah jadi kangen jalan2. Semoga pandemi segera berlalu.

  3. Dulu pertama kali ke luar negeri tahun 2010. Katanya kalau mau bebas fiskal mesti ada NPWP, akhirnya diurus deh itu NPWP, padahal ga ngerti sama sekali soal perpajakan, wkwk. Waktu check in kepake rasanya, jadi saya ga pernah tau berapa besarnya fiskal.

  4. Dulu Singapura dan Malaysia sudah mewah banget cetakan brosur wisatanya, berbanding Bali yg cuma kertas satu warna keluaran rental mobil. Trus internet masih mahal, brosur masih kepakai banget. Sekarang, takut traveling sejak covid-19 melanda dunia.

    1. Iya bener banget. Singapura malah udah berbentuk buku tipis, sementara Bali nyari peta aja susah setengah mati.

      Semoga taun depan udah pulih yaa…aku masih ada tiket akhir taun ke KL nih, tapi masih liat-liat kondisi. Kalau ga memungkinkan ya wasalam, diangusin aja deh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!