Catatan dari Iran: WiFi Gratis dari Tuhan

Tehran adalah kota maju yang punya prasarana lengkap. Hanya satu hal penting yang tak dimiliki Tehran: WiFi. Bahkan di cafe mahal sekalipun. Alhasil, tanpa bantuan internet, saya harus menjelajah Teheran seharian penuh. Untunglah saya mendapatkan WiFi gratis dari Tuhan.

Perjalanan backpacking saya di Iran dimulai dari ibukota Iran, Tehran. Di sini saya menginap di rumah salah satu kenalan saya, Mbak Afifah, seorang penulis buku Road to Persia yang saya kenal via dunia maya.

Baca Juga : Keliling Iran Naik Bus

Mbak Afifah awalnya ingin mengantar saya keliling Tehran, namun kondisi kesehatannya yang belum pulih benar membuat niat itu mesti diurungkan. Ia hanya mengantar kami hingga ke stasiun terdekat dengan menggunakan taksi.

Walaupun namanya taksi, moda transportasi ini lebih mirip mobil sedan omprengan yang bisa dinaiki siapa saja yang searah. Jadi, di tengah jalan, taksi  macam ini bisa berhenti mencari penumpang lain. Tak ada rute tetap, si calon penumpang mesti bertanya kepada si pengemudi apakah si taksi akan melewati tempat yang dituju.

Kalau tak mau ada orang lain yang naik, tinggal katakan kata ajaib, “Darbast” yang artinya kurang lebih closed door. Harganya pasti lebih mahal, tapi yang penting lebih terjamin sampai tujuan. Taksi berlogo resmi sebenarnya juga banyak, biasanya ada di dekat stasiun. Warnanya kuning, berlogo taksi di atas atau di badannya. Saya tahu pasti apa taksi kuning inu bisa menggunakan argo, tapi selama saya di sana, selalu nego harga.

DSCF2795.JPG


Kami tiba di stasiun MRT (Metro) terdekat yang saya lupa namanya. Saya cukup takjub, karena tak menyangka Teheran sudah selangkah lebih maju dari Indonesia dalam masalah transportasi. Ada MRT di sini, yang nyaman, aman, dan bersih. Lebih bersih dari MRT di Jakarta yang baru saja dibuka.

Metro di Iran dipisahkan antara gerbong wanita dan laki-laki, namun ada gerbong yang campuran.

Shahr Rey, Iran 2013 (20) (15025618305).jpg
Sumber: wikipedia

Saat di stasiun metro, Mbak Afifah mengajak kami membeli Iran Sim Card. Kami memang sangat perlu SIM Card ini untuk berkomunikasi dengan para host kami di kota lain dan juga mencari jalan ke tujuan wisata. Di bandara, konter sim card-nya tutup. Dan dasar nasib, konter khusus di stasiun MRT yang kami datangi ternyata juga tak bisa menyediakan kartu untuk turis. “Sehabis tahun baru, kuota habis,” kata mas-mas di konter. Ya, seminggu lalu Iran memang baru saja merayakan Nowruz, tahun baru yang didasarkan pada kalender kuno Persia. Mungkin karena banyak turis yang datang, maka kartu habis. Mungkin.

Karena tak mendapat SIM Card, mbak Afifah memberi kami catatan di mana ia tinggal, dalam bahasa Iran tentunya.  Saya pun sebelumnya sudah memfoto segalas sudut jalan menuju rumah Mbak Afifah, tapi ternyata kemudian tak berguna, karena di mata saya semua pojokan bentuknya jadi mirip.


DSCF2771.JPG
Golestan Palace

Saya dan kawan saya berjalan dengan pede-nya, walaupun tanpa internet di hape. Ah, dulu-dulu travelling tanpa internet juga bisa, pikir saya. Lagipula, saya sudah mengunduh peta offline di google map saya.

Semua berjalan lancar di awal. Kami bisa naik turun MRT, melihat secuil kehidupan Teheran, tanpa ada kesulitan berarti.

Kami juga mengunjungi beberapa tempat di Tehran yang memang sudah masuk bucket list saya. Golestan Palace, istana raja terbesar di Iran yang sangat mewah, kami datangi.  Pun dengan Yarjani Street, sebuah kawasan yang terkenal dengan banyaknya museum.

Kami juga sempat makan burger besar di dekat pasar sambil cuci mata memandang makhluk-makhluk ganteng yang berseliweran. Ditambah dengan nongkrong di 30th Tir Street yang penuh dengan cafe tenda kekinian.

Bahkan, setelah keluar dari Golestan Palace kami sempat diwawancara televisi lokal Iran dan diminta menyapa pemirsa TV sana dengan bahasa Indonesia. Hostnya tentu saja ganteng. Saking gantengnya, saya jadi lupa foto bareng!

Baca Juga: Tip Backpacking ke Iran

DSCF2807.JPG
Salah satu museum di Yarjani Street
DSCF2810.JPG
Salah satu jalan di Tehran

Masalah baru timbul ketika kami ingin pulang ke rumah Mbak Afifah. Meski ada catatan alamat, tapi tak ada catatan di stasiun mana kami harus turun, lalu naik apa dari sana. Akhirnya kami berusaha mencari WiFi. Kami masuk cafe, melipir ke dekat bank dan hotel, berharap ada sedikit sinyal WiFi yang mampir di handphone kami. Nihil. Nggak satu tempat pun di sini yang punya WiFi. Fiuhh…

Di tengah-tengah upaya keras mencari WiFi, saya tiba-tiba ingat kalau rumah Mbak Afifah ini terletak dekat dengan Azadi Tower, landmark terkenal di area barat Tehran yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Persia. Kami pun akhirnya menuju ke sana, buat foto-foto tentunya. Daripada bingung nggak tau mesti pulang ke mana, mending cari tempat terdekat buat narsis kaan….


Azadi Tower ternyata tak terlalu ramai sore itu. Sambil memandang tower yang dibuat dari pualam putih Isfahan ini,  saya iseng menyalakan WiFi saya. Dan ajaib …… ada WiFi terbuka, tanpa password pula! Sepertinya, Wifi itu berasal dari handphone salah satu pengunjung di sana.

Langsung saya WA Mbak Afifah, mengabarkan di mana posisi kami saat itu dan menanyakan arah pulang. Teman saya masih asyik foto sana-sini, mengabadikan menara yang dibangun tahun 1971 ini. Sementara saya berdiri saja, diam di bawah lengkungan Azadi Tower yang penuh detail indah, tak berani bergerak satu centimeter pun. Saya takut sinyal WiFi hilang gara-gara saya pindah tempat.

Ajaibnya, begitu saya berhasil mendapatkan petunjuk arah pulang, sinyal WiFi menghilang. Sepertinya, si pemilik sudah pergi dari Azadi. Di saat yang tepat.

Saya melambaikan tangan ke teman saya yang masih sibuk memfoto Azadi dari segala arah, mengajaknya pulang karena langit mulai gelap. Setelah saya cerita kalau saya sudah berhasil me-WA Mbak Afifah, dia bingung dan menanyakan dari mana saya dapat WiFi.

“Dari Tuhan,” jawab saya sambil nyengir lebar.

 

22 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!