Backpacking ke Hallstatt, The Most Beautiful Village in Austria

Begitu kereta dari Salzburg memasuki wilayah Bad Goisern, mata saya langsung tertumbu pada sebuah danau dengan pergunungan penuh pohon cemara di belakangnya. Di ujung-ujung cemara itu samar-samar terlihat bekas salju sisa musim dingin sebelumnya. Dan di seberang danau itulah terdapat desa yang sangat ingin saya datangi: Hallstatt.

DSCF4772

Kereta berhenti sebentar di sebuah stasiun kecil, memberikan cukup waktu untuk semua penumpangnya turun. Puluhan turis yang kebanyakan datang bersama keluarga dan pasangannya turun bergegas, menuju ferry yang akan membawa kami menyebrang danau Hallstätter See, menuju Hallstatt.  Saya menutup kancing coat merah musim semi saya. Udara dingin yang sedari kemaren sudah menyergap saya, makin terasa dingin. Udara di Eropa saat itu memang sedang anomali. Walaupun sudah di ujung musim semi, suhu udara kembali turun drastis. Salju pun turun beberapa kali.


Dari atas perahu, sudah terlihat bangunan-bangunan cantik di tepi danau bergaya Baroque, yang merupakan hasil rekontruksi bangunan asli yang pernah terbakar habis di tahun 1750. Konon, bangunan asli di desa yang terletak di wilayah Salzkammergut, Upper Austria ini seluruhnya terbuat dari kayu dan merupakan permukiman milik para penambang garam yang kaya raya. Memang, menurut sejarah, sejak 5.000 tahun sebelum masehi di era Iron Age, Hallstatt merupakan lokasi tambang garam yang cukup besar dan terkenal. Itu sebabnya, desa ini dinamakan Hallstatt, yang dalam Bahasa Celtic berarti “lokasi garam”.

Lokasi tambang garam purbakala ini kemudian dijadikan objek wisata yang dapat dikunjungi selama berada di Hallstatt.  Tur menusuri lokasi penambangan ini dibuka setiap hari mulai pukul 9.30 pagi hingga 16.30. Tur selama empat jam ini dikenai biaya 30 euro untuk dewasa dan 15 euro untuk tiket anak-anak usia 4 hingga 15 tahun. Tiket sudah termasuk fasilitas kereta kabel menuju lokasi pada ketinggian 838 meter. Dalam perjalanannya, kereta kabel akan melewati rel pipa Brine yang didaulat sebagai rel pipa tertua di dunia. Sayangnya ketika saya di sana, pertambangan ini ditutup karena tiba-tiba cuaca di Hallstatt memburuk. Hujan salju yang seharusnya sudah menghilang di bulan April, kembali datang.

Baca juga: Backpacker ke Eropa: Lihat Tulip Gratis di Desa Lisse Belanda

Sebenarnya, kalau bisa mengunjungi Hallstatt salt mine, saya bisa sekalian menjejakkan kaki di panoramic bridge yang letaknya tak terlalu jauh dari salt mine. Dari deck besi yang berada ketinggian 900m di atas permukaan laut ini, katanya tersaji pemandangan desa Hallstatt di tengah-tengah hamparan danau, diapit deretan gunung Alpen. Hiks…

Untunglah, sebelum badai salju mendera, saya sempat menikmati desa yang oleh Tripadvisor dinobatkan sebagai 10 desa tercantik di dunia ini. Untung juga saya memutuskan bermalam di sini, yang walaupun cukup menguras kantong, tak saya sesali.


Market Square, semacam alun-alun kecil yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan cantik yang dicat dengan warna-warna lembut, adalah tujuan pertama saya, Dulunya, bangunan tersebut adalah tempat tinggal para penduduk, namun kini semuanya telah disulap menjadi kafé, restoran, penginapan, dan toko-toko souvenir yang cozy dan homy. Biasanya menjelang Natal, Market Square ini akan makin indah dengan pohon cemara besar, hiasan-hiasan Natal yang meriah, serta Christmas bazaar yang menyajikan produk dan makanan khas Hallstatt. Tengah kota Hallstatt ini tak boleh dilalui mobil, sehingga nyaman dijelajahi dengan berjalan kaki.

DSCF4782.JPG
Market Square
DSCF4836-x.jpg
Perkuburan para penambang garam di Catholic Church

Setelah Market Square, saya bergerak naik ke Catholic Church of Hallstatt, sebuah gereja bergaya Roman yang didirikan pada tahun 1811. Gereja ini menjadi terkenal karena di sebelahnya terletak Charnell House, sebuah kapel yang berisi 610 tengkorak yang dilukis dengan nama pemilik, keluarga, kata-kata atau gambar-gambar. Budaya melukis tengkorak ini merupakan budaya yang jamak ditemukan di daerah pegunungan Alpen pada abad 18, dan Hallstatt termasuk salah satu tempat penyimpanan tengkorak terbanyak. Konon, hal ini dilakukan karena tak ada lagi tempat cukup untuk pemakaman sehingga kemudian, makam yang ada dibongkar, tengkorak yang ada dikeringkan dan kemudian dilukis dengan tangan.

Berpisah dengan kawan baru saya dari Amerika, saya membiarkan kaki saya melangkah tanpa arah, menjelajahi setiap sudut Hallstatt, menaiki tangga-tangga yang menghubungkan satu rumah dengan lainnya, dan menyelusup di antara permukiman di tanah berkontur yang hampir seluruhnya sudah berubah menjadi penginapan-penginapan mahal. Lalu berjalan di tepian danau, sekejap melihat keindahan rumah tepi danau dan Church of Christ, sebelum kabut dan badai salju datang dan menutupi desa indah ini.

hallstatt 1.jpg
Jika ingin menikmati setiap jengkal Hallstatt, menginaplah.

Saya kembali ke penginapan, sebuah penginapan indah yang mengingatkan saya pada cerita di novel Poirot kegemaran saya. Kursi-kursi antik khas Eropa, lukisan, karpet tebal, dan sebuah piano menghiasi lorong menuju kamar saya.

DSCF4916.JPG
Badai Salju di Hallstatt

Sayang, badai salju tak kunjung menghilang hingga esok siang membuat saya harus berdiam diri di dalam kamar sambil menyesap teh hangat yang dibuatkan oleh sang pelayan di restoran bawah.

Walaupun singkat, Hallstatt menyisakan ingatan indah tentang keindahan sebuah danau indah di dunia.


How to get there:

  • Dari Salzburg Station naik kereta tujuan Attnang Puchheim,  lalu menyambung ke Hallstatt railway station, dan menyebrang ke Hallstatt dengan ferry.
  • Bisa juga menggunakan bus 150 dari Salzburg Station menuju Bad Ischl. Lalu berganti bus 542 ke Gosau dan kemudian berganti bus 543. Berbeda dengan naik kereta, bus akan berhenti di stasiun bus di sisi kiri Hallstatt (tidak perlu naik ferry lagi)
  • Untuk mendapatkan pemandangan berbeda, saran saya, gunakan dua moda ini. Saya pergi dengan menggunakan kereta, lalu pulang dengan bus.

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Home Living Edisi April 2018

Comments

  1. Kalau nyari makan yang jelas kehalalannya di austria khususnya di hallstatt gmn caranya sist?

    Tolong jg dibagiin tips n triknya nyari makanan halal saat travelling ke negara mayoritas nonmuslim.

    Terima kasih.

    1. Hai Mbak Diana, aku ga nyoba nyari karena pastinya mahal-mahal bgt di sana. Aku makan siangnya makan bekel, malamnya ngeindomi, dan paginya dapet sarapan dari hotel

  2. MasyaALLAH keren banget austria tuh, jadi pengen kesana hehe btw penulis nya juga keren sampe udah dimuat di majalah juga hihi. btw udah pernah ke palestina, mesir sama yordania belum mba? kalau belum yuk mampir ke blog ku, ada sedikit cerita tentang 3 negara itu, siapa tau jadi pengen kesana juga hihi.. salam kenal ya 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!