Membuncah Bangga di Pulau Ndana, Pulau Terluar Indonesia

Tak banyak yang tahu pulau Ndana, pulau kecil di selatan Pulau Rote ini yang merupakan pulau terluar Indonesia. Saya pun demikian. Saya baru tahu ada pulau ini ketika mengecek peta, beberapa hari sebelum kami tiba di Pulau Rote.

Tujuan kami di sini hanya satu, melongok perbatasan Indonesia dan menuju Danau Merah. Tapi siapa sangka, di sinilah rasa nasionalisme saya tergugah.

Barak Tentara di Ndana

Saat perahu kecil yang saya dan kawan-kawan naiki dari Pulau Rote berlabuh di pulau terluar Indonesia ini, kami diminta melapor ke barak militer yang ada di sana.

Awalnya saya ogah-ogahan mendekat, berpikir kalau di sana hanya ada sebuah barak tentara. Biarlah teman saya saja yang melapor, begitu pikir saya.

Namun mau tak mau saya mendekat setelah melihat lambaian tangan seorang pria tegap. Sang Komandan. “Kalian tak boleh jalan sendirian ke arah Danau Merah, Kami akan antar kalian,” tukasnya dengan ramah namun tegas.

Saya melihat sekeliling saya. Pak Komandan, dan kami, berdiri depan sebuah bangunan sederhana, di tengah padang yang tandus dan panas. Bangunan itu dibuat dari dinding bata yang dicat dengan warna loreng-loreng khas TNI, atapnya dari seng, dan berbendera Indonesia. Di sebelahnya ada 3 bangunan lain yang tampak serupa.

Dikawal Sepuluh Tentara

Bukan tanpa alasan kami tak dibiarkan sendirian. Pulau Ndana memang bukan tujuan wisata. Pulau ini adalah pulau terluar Indonesia, pulau yang menjadi markas Tentara Nasional Indonesia yang menjaga perbatasan dengan negara tetangga, Australia.

Tak ada fasilitas wisata di sini, tak ada pula rambu-rambu yang menunjukkan jalan ke Danau Merah. Berjalan sendirian tanpa ditemani orang yang sudah tahu medan tentu bukan pilihan.

Saya mengira, hanya ada satu atau dua orang tentara yang akan mengikuti langkah kami. Namun kami salah. Ternyata ada sepuluh orang anak buah Sang Komandan yang ditugaskan berjalan bersama dengan kami. Ya sepuluh, padahal kami hanya berlima. Wow, kami bagaikan orang penting yang punya banyak pengawal!

Salah satu tentara yang ikut adalah Pak Benny. Dia selalu berjalan bersisian dengan saya. Karena itulah, saya banyak mendengar cerita darinya. 

“Enam bulan. Kami di sini enam bulan,” ujar Pak Benny menjawab pertanyaan saya.

“Lama banget Pak. Ga bosen ama tempat isinya padang tandus begini?” tanya saya penasaran. Sebagian besar dataran di Pulau Ndana memang ditumbuhi rerumputan kering yang menguning bagaikan savana Afrika. Itu sebabnya, pulau ini dijadikan cagar alam untuk para rusa.

Saya melihat sekeliling lagi. Di kanan kiri hanya ada rerumputan kering setinggi betis. Di beberapa tempat bahkan ada yang tingginya mencapai pinggang saya. 

Pulau Ndana
Padang savana di Pulau Ndana

“Ya kadang-kadang bosan. Tapi ini tugas, mau ndak mau dijalanin.” ujarnya dengan logat Jawa yang kental. Pak Benny memang lahir dan tinggal di Surabaya.

Habis Makanan Karena Ombak Besar

Pak Benny bercerita, ia hanya satu di antara 30 orang yang bertugas menjaga tempat itu. Gabungan dari Marinir dan TNI AL. Tiga puluh orang yang bersedia jauh dari keluarganya selama enam bulan.

Tiga puluh orang yang mesti bergantian berpatroli di lautan, memastikan tak ada kapal asing yang memasuki perairan tanpa izin. Tiga puluh orang yang harus membunuh kebosanan di sela-sela pekerjaan.

Kadang-kadang katanya, persediaan makanan habis karena ombak cukup besar. Mereka seminggu sekali memang berbelanja ke Pulau Rote atau bertukar ikan dengan nelayan. Kalau tak ada makanan, mereka mesti memotong ayam-ayam peliharaan mereka. Di belakang barak memang ada kandang kambing dan ayam.

Pak Benny yang ternyata pernah beberapa kali ditugaskan ke medan perang juga berkisah,  di baraknya dulu ada anterna parabola sehingga ia bisa melihat acara televisi. Kini, antena itu rusak; ia dan kawan-kawannya hanya mengandalkan sinyal WiFi untuk mencari berita dan menyambung komunikasi dengan keluarga.

DSCF4435
Patung Jenderal Sudirman yang berdiri gagah memandang lautan ujung pantai di depannya. Pantai yang menjadi titik awal penarikan garis perbatasan, garis zona ekonomi antara Indonesia dan Australia.

Setelah 10 menit berjalan di tengah padang tandus yang panas, kami semua sampai di sebuah lapangan yang tidak terlalu luas. Di tengahnya ada patung Jenderal Sudirman yang berdiri dengan gagahnya, menghadap ke arah Samudra Hindia di depannya.

Saya iseng bertanya, “Kenapa Pak Sudirman malah lihat ke arah Australia, Pak. Bukan ke Indonesia?”

“Hussh…beliau itu lagi ngeliatin kami. Ngeliat tentara yang menjaga laut Indonesia.” kelakar Pak Benny.

Hutan Mistis Berlantai Karang

Perjalanan menuju Danau Merah ternyata memang tak mudah. Selama 1 jam lebih kami harus melewati hutan yang “lantainya” terbuat dari karang yang tajam. Saya harus berjalan hati-hati agar kaki saya, yang hanya dibalut sendal jepit, tak terluka. Para tentara sudah memberitahu hal ini sebenarnya. Malah kawan saya ada yang dipinjamkan sepatu, yang sayangnya hanya ada satu. (Sepatu yang lain ukurannya tak pas dengan kaki saya).

Tak ada petunjuk jalan, kecuali kode batu dan torehan di karang yang dibuat para tentara. Pantas Sang Komandan tak memperbolehkan kami berjalan sendirian .

“Danau merah ini banyak cerita mistisnya. Di deket barak juga ada. Di seluruh pulau emang ada. Makanya ga ada penduduk yang mau tinggal di sini,” kata Pak Benny tiba-tiba. Berbisik, seakan takut ada yang mendengar perkataannya.

Konon, menurut cerita rakyat, dasar danau yang terletak di Pulau Ndana ini berwarna merah dikarenakan Nallesanggu, seorang panglima, membersihkan padang dan tubuhnya dari darah manusia setelah melakukan pembunuhan massal. Ia melakukan ini untuk membalas dendam atas kematian sang ayah, Sangguana, yang dihukum mati oleh penduduk pulau Ndana ini.

Itu sebabnya, menurut Pak Benny, tak ada lagi penduduk yang mau tinggal di sana, kecuali para tentara.

Mendengar cerita Pak Benny, saya bertanya lagi, tak takutkah ia berada di sana? Sambil tertawa lebar ia menjawab, “Ya pasti takut. Tapi kami lebih takut kalau negara ini direbut tetangga.”

Saya jadi terkesima mendengar jawabannya. Tak tau mesti bicara apa.

DSCF4450

Keindahan Tepi Laut Ndana

Selepas dari Danau Merah, kami pulang melewati jalur yang berbeda sebelumnya. Pak Benny dan kawan-kawannya memilih jalan di tepi pantai. Biar bisa lihat sisi lain Ndana yang indah, katanya. Ya, Ndana memang indah. Hamparan pasir putih yang kontras dengan warna lautan yang biru, bersanding indah dengan savana kekuningan di sebelahnya. Cantik.

“Indah memang”, kata Pak Benny seakan membaca pikiran saya. “itu sebabnya, kita nndak mau pulau ini dan pulau lainnya direbut sama Australia. Jangan sampai Sipadan terulang lagi,” katanya bersemangat. Luar biasa.

DSCF4498
Salah satu bagian pantai pasir putih di Ndana.
DSCF4518
Saya, kawan-kawan, dan beberapa orang “pengawal” kami.

Setelah tiga jam lebih berjalan, saya dan kawan-kawan kembali ke barak. Melepas lelah sejenak, lalu pamit kepada para “pengawal” kami. Tiga jam yang saya lalui di sana meninggalkan rasa salut yang luar biasa. Saya tak bisa membayangkan jika saya harus yang tinggal di sana. Hidup tanpa televisi, tanpa hiburan, tanpa keluarga, enam bulan lamanya.

Rasanya, sisi nasionalisme saya jadi lebih bangkit karena mendatangi Ndana. Saya tak pernah sebangga ini dengan tentara-tentara Indonesia.

Sebelum pulang, saya kembali menengok ke patung Sudirman yang kini jauh di sana. Saya jadi teringat tulisan yang ada di dekatnya: “Tak akan sekali-kalipun kulepaskan Pulau Dana Rote ini kepada siapapun yang akan memisahkannya dari pangkuan ibu pertiwi”

10 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!