Menyaksikan Upacara Mora di Wae Rebo

wae rebo-2

Di tengah-tengah agenda merayakan kemerdekaan Indonesia di tanah Wae Rebo, kami mendapatkan kesempatan langka untuk menyaksikan Mora, upacara adat yang sudah 365 tahun tak dilakukan.

“Seharusnya hari-hari ini sudah panas. Namun kedatangan bapak-ibu sekalian disambut hujan terus menerus. Ini pertanda keberuntungan bagi kami.”

Itu yang dikatakan Alexander Ngandus, ketua adat Wae Rebo, sewaktu rombongan kami menginjakkan kaki di desa adat yang terletak di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur ini. Ya, panas seharusnya sudah menaungi desa ini di bulan Agustus, namun kenyataannya selama 3 hari berada di sana, kami terus menerus diberkahi tetesan air hujan.

Mungkin hujan ini adalah salah satu tanda rezeki bagi penduduk Wae Rebo, juga tanda keberuntungan bagi kami, karena bersamaan dengan waktu kedatangan kami, masyarakat Wae Rebo sedang mengadakan upacara adat Mora, upacara adat terbesar di Wae Rebo, yang baru dilaksanakan lagi setelah 7 generasi. Setelah 365 tahun silam. Tentu kami sangat bergembira karena ini momen yang sangat berharga dan langka dan tak semua orang bisa melihatnya.

Penghormatan untuk Leluhur

Upacara adat Mora dilangsungkan untuk menghormati leluhur Wae Rebo, Empo Kato. Walaupun sudah tersentuh kehidupan modern, masyarakat Wae Rebo masih sangat menghormati leluhur mereka. Mereka meyakni, keluarga dan tanah yang mereka diami akan terhindar dari bencana jika mereka terus menjalankan adat istiadat yang telah digariskan para leluhur.

Mora juga diadakan sebagai bentuk “pemutihan” generasi terdahulu. Dengan melaksanakan Mora ini, warga Wae Rebo percaya, “hutang” dan kesalahan generasi sebelumnya akan lunas terbayar.

Rangkaian Upacara

Rangkaian upacara adat Mora mulai dilaksanakan setelah kami tiba. Dimulai dengan pemotongan manuk (ayam) hitam dan babi hitam, yang merupakan simbol dari hal-hal buruk. Dengan memotongnya, masyarakat Wae Rebo percaya, segala keburukan akan hilang dan mereka akan dijauhkan dari segala bencana.

qs9a0137
Daging babi yang sudah dipotong dipanggang lalu dibagikan ke seluruh warga.

Meskipun hanya tamu, kami dipersilakan mengikuti seluruh rangkaian upacara Mora, layaknya para kerabat. Tentu saja kesempatan ini tak kami sia-siakan. Kami mengikuti setiap tahap upacara di Mbaru Gendang, rumah terbesar di Wae Rebo, hingga ke puncaknya.

Karena ini merupakan upacara besar yang sudah lama dinantikan, banyak kerabat yang berdatangan, kembali ke desa Wae Rebo. Mereka ini adalah penduduk Wae Rebo yang tinggal di desa Kombo, desa “kembaran” Wae Rebo. Ya, karena jumlah Mbaru Niang di sini hanya ada 7, ada sebagian warganya yang merantau dan menetap di luar desa. Namun, ketika acara adat berlangsung, semua pasti “pulang kampung” ke desa adat ini.

Salah satunya adalah Lukas, yang kini mengajar di sekolah dasar di Denge. Ia datang dengan menggunakan baju khas Manggarai: kemeja, sarung tenun, dan penutup kepala. Lelaki bersuara lantang yang gemar bercanda ini mengaku bahwa ia sangat bangga karena generasinya bisa memiliki rezeki yang cukup sehingga dapat mengadakan upacara Mora.

Terjaga Hingga Malam

Acara puncak upacara adat Mora berlangsung pada pukul 3 dini hari, yang ditandai dengan pemotongan kerbau. Bagi masyarakat Wae Rebo, kerbau adalah simbol persembahan tertinggi yang hanya diberikan saat upacara besar seperti Mora ini. Tanduk kerbau menyimbolkan kekuatan, sehingga nantinya akan diletakkan di atas Mbaru Gendang, rumah terbesar di Wae Rebo.

Sejak malam hari hingga upacara berakhir esok harinya, seluruh masyarakat Wae Rebo—termasuk anak-anak—tak boleh memejamkan mata sedikitpun. Untunglah kami mendapatkan “keringanan”, kami diperbolehkan tidur sejenak, namun harus sudah terjaga pukul 2 malam.

Tepat pukul 2 malam, Pak Frans, warga Wae Rebo yang menjadi pemandu kami mengetuk pintu dan membangunkan kami semua. Setengah sadar, saya dan anggota rombongan lain berjalan di tengah kegelapan, menjuju Mbaru Gendang, tempat upacara akan dilaksanakan.

Sebelum pemotongan kerbau dilaksanakan, para pemuka adat dan warga berkumpul di dalam Mbaru Gendang. Di sini dilakukan pemotongan manuk putih dan babi. Setelah dipotong, hati binatang-binatang ini dikeluarkan, lalu diberikan ke Alexander Ngandus, untuk dilihat. Mereka percaya, jika hati tersebut rusak atau dalam kondisi tidak baik, persembahan mereka tidak diterima para leluhur.

Ritual selanjutnya, yang merupakan puncak acara, adalah pemotongan kerbau di halaman Mbaru Gendang. Sama seperti babi dan ayam, setelah dipotong, hati kerbau dikeluarkan dan diberikan ke ketua adat untuk dilihat. Jika hati memiliki banyak goresan, artinya persembahan mereka tidak diterima. Untunglah, semua hati dalam kondisi sempurna.

Sampai Lilin Padam

Upacara belum berakhir. Kerbau, ayam, dan babi dipotong, dibakar, lalu disatukan dengan nasi, dan kemudian ditaburkan ke lantai Mbaru Gendang. Hal ini merupakan simbol persembahan segala bentuk hasil bumi kepada leluhur dan Sang Pencipta.

Setelah itu, sebagian persembahan diletakkan di atas langkar, semacam meja saji kecil tempat meletakkan sajian untuk leluhur. Di dalam Mbaru Niang, ada 2 macam langkar. Yang pertama adalah langkar yang dimiliki setiap keluarga dan digantung di depan pintu ruang tidur masing-masing. Yang kedua adalah langkar utama yang ditaruh tiang utama Mbaru Niang. Langkar ini diganti setiap Penti, tahun baru masyarakat Wae Rebo.

Saat upacara Mora, persembahan kepada leluhur diletakkan di atas langkar utama yang terbuat dari daun pohon pinus, padi, dan bulu manuk hitam. Di atas langkar ini juga ditaruh lilin, yang harus terus menyala hingga batang lilin habis. Saat lilin habis, barulah langkar dinaikkan untuk digantung di dalam Mbaru Gendang.

Upacara berakhir di sini. Setelah menenggak secangkir kopi dan teh hangat sebagai sajian penutup, kami pun dipersilakan tidur kembali,  mempersiapkan tenaga untuk menuruni lembah, kembali ke kota.

5 Comments

    • rahma

      Waktu saya ke sana, ada LSM yang membimbing mereka mbak. Dan pembimbing itu muslim. Jadi dia yang potong ayam dan memastikan masakan untuk pengunjung dibikin halal.

  • indrijuwono

    Hai, Rahma. Aku baru dari Wae Rebo juga minggu lalu. Pas nggak ada upacara apa2 sih. Tapi emang keren banget dan pengen rasanya balik lagi ke sini. Bapak2nya ramah2 tapi ibu2nya agak pemalu ya?
    Anak2nya lucu2, asyik diajak main..

    • rahma

      Halo Indri,
      Senengnya blog gw dikunjungi Indri.
      Iya, mereka masih kuat banget gender laki-lakinya. Wanitanya areanya masih di dapur, jadi jarang berinteraksi ama wisatawan yang dateng.
      Kemaren ga sempet ngeliat upacara Penti ya?

      • indrijuwono

        Nggak tuh. Gak cocok sama skedulku, hehe. Tapi seneng juga karena ke sana pas sepi, tamunya cuma 3, sehingga aku bisa keliling2 dan ngobrol dengan banyak penduduk.
        Bisa ngamatin bangunannya dengan santai, dan main2 sama anak2 rame.. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!