Jalan Panjang Menuju Wae Rebo

ars 300-G

Saya diundang oleh salah satu merek cat di Indonesia untuk berkunjung ke Wae Rebo. Saya sungguh beruntung sebab saya memang sudah lama menantikan berkunjung ke Wae Rebo, negeri di atas awan yang akhir-akhir ini mencuat namanya.

Awalnya, atasan saya yang ingin berpergian ke sana. Namun dia mengundurkan diri setelah melihat medan menuju Wae Rebo yang cukup sulit.

Memang tak mudah. Dari Labuan Bajo, saya dan 38 anggota rombongan lain harus menumpang minibus selama 8 jam menuju Dintor. Perjalanan yang panjang, berliku, dan bergejolak. Jalan di flores memang berliku dan tak rata. Ditambah lagi, hari sudah cukup larut sehingga pengemudi menjalankan kendaraannya di atas kecepatan normal. Ya, akibat pesawat yang terlambat, perjalanan kami jadi ikutan terlambat. Seharusnya, menurut jadwal, kami sudah sampai di Dintor pukul 7 sore. Tapi ternyata, kami baru sampai di sana pukul 2 dini hari.

P1120480
Homestay milik Pak Martinus

Di Dintor, kami bermalam di homestay milik Bapak Martinus, satu-satunya homestay yang ada di sana. Homestay ini menyediakan kamar-kamar berbagai tipe. Ada kamar plus kamar mandi, ada pula kamar dengan kamar mandi terpisah. Ada juga satu kamar bangsal, kamar yang terdiri dari 6 buah kasur. Karena jumlah kamar terbatas, terpaksa satu kamar diisi 3 orang. Dan…karena saya dianggap anak muda, saya bergabung dengan para “pemuda” lainnya (yang terdiri dari 3 mahasiswa, saya, dan 2 wartawan dari KompasTV), di kamar bangsal.

Selain jauh, perjalanan juga tidak mulus. Ban bocor, air mobil kering, sempat menghambat pergerakan kami. Ditambah lagi hujan yang turun terus menerus. Terus terang, saya khawatir. Hujan sama artinya dengan jalan ke Wae Rebo akan becek dan banyak pacet. Duh.

Esok pagi, setelah mengisi perut dengan makanan yang cukup, kami menuju Denge untuk memulai trekking ke Wae Rebo. Untung, kali ini saya bersama rombongan, sehingga tak perlu membawa banyak barang. Saya hanya mengantongi sebuah kamera saku, minuman, madu, cokelat, dan jas hujan. Barang lainnya dititipkan ke porter.

Ternyata, jalan ke Wae Rebo memang sulit, apalagi untuk saya yang tak terbiasa naik gunung. Untung, salah seorang kawan saya sempat meminjamkan saya trekking pole. Tongkat pendaki ini sangat membantu, terutama ketika melewati medan yang licin.

Awalnya, saya ada di rombongan yang mendaki pertama kali. Tapi di tengah jalan, saya jadi berada di rombongan tengah, bersama satu rekan dari Kompas TV, dan dua orang arsitek. Dua jam pertama, kami masih semangat. Satu jam selanjutnya, kami mulai kepayahan. Apalagi menjelang km3000. Setiap 5 menit berjalan, kami berempat berhenti. Kami sempat menyebut area itu dengan tanjakan putus asa.

Setelah melewati 3000km, jalan mulai menurun. Dan akhirnya, setelah 4,5 jam, saya sampai juga di Wae Rebo!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!