Sehari di Dubai

Saya bangun pagi-pagi, supaya bisa mengunjungi tempat-tempat yang sudah ada di list saya. Tapi ternyata, sarapan di hotel baru disediakan jam 7.30 pagi. Terpaksa, saya mesti menunggu. Tak saya sangka, sarapan di hostel ini cukup melimpah. Saya langsung mengisi penuh perut saya, bahkan mencomot beberapa buah roti untuk bekal saya. 😀 (Minta kantong pulaaaa). (Baca: Hotel di Dubai )

Tujuan pertama saya adalah Dubai Marina. Saya sengaja menempatkan ini di urutan pertama karena letaknya yang cukup jauh dari hostel saya. Marina Dubai adalah pelabuhan kapal-kapal pesiar ala orang kaya Dubai. Di sepanjang pelabuhan, terdapat jalan setapak yang enak untuk dilalui.

Sebenarnya, waktu yang tepat untuk berkunjung ke sini adalah di sore hari. Saat itu, di tepi marina banyak café yang enak untuk dinikmati sambil memandang yacht-yacht berseliweran. Di pagi hari, seperti yang saya datangi, hanya satu dua café yang buka, itupun dengan harga yang cukup lumayan.

Salah satu pedestrian di tepian Dubai Marina

Setelah puas, saya menuju Burj Beach, pantai di dekat Burj Al Arab , sekadar untuk berfoto di depan ikon Dubai itu. Hahaha…tak mampu rasanya kalau mesti masuk ke hotel termahal di dunia itu.  Di sini saya bertemu dengan rombongan ibu-ibu asal Jakarta yang sedang berlibur di sini. Tapi sombongnya bukan main. Ketika saya tanya dari rombongan mana, mereka menjawab dengan rada pamer: “rombongan arisan. Abis arisan di Eropa.”

Yaelah Buu…arisan di Eropa aja bangga. Saya, arisan di Ragunan, biasa aja.

Untuk menuju ke sana, saya terpaksa menggunakan taksi. Lebih mahal dari naik metro memang, tapi saat itu sangat terik dan saya dikejar waktu. Jaraknya juga lumayan jauh dari stasiun Metro (Mall of Emirates). Saya lupa berapa harga taksinya, tapi masih dalam ukuran wajar dan tak menghabiskan bujet dan isi kantong saya.

Burj Al Arab dari kejauhan

Saya sempat mengobrol sebentar dengan supir yang berasal dari Pakistan.  Menurut ceritanya, ia sudah tinggal 5 tahun di sini. Katanya, standar hidup di Dubai memang mahal, tapi jauh lebih baik dari kehidupannya di Pakistan.  Sang Sopir yang sudah mulai beruban ini juga bercerita, Dubai memang dipadati pekerja asing, mulai dari pekerja asal Amerika, Eropa, hingga pekerja asal India, Pakistan, dan Filifina. Memang, sepanjang perjalanan saya ini, saya lebih sering menjumpai pekerja asing. Itu sebabnya, rok mini dan baju tanpa lengan jadi pemandangan yang lumrah dijumpai di sini.

Dari Burj Beach, saya kembali naik taksi ke stasiun Emirates Mall. Dari situ, saya meneruskan perjalanan ke Dubai Museum dengan menaiki metro dan turun di Al Fahidi Stasion. Lumayan jauh juga jarak antara stasiun dengan Museum, tapi di sepanjang jalan kita bisa melihat kehidupan asli Dubai, warna cokelat dengan pertokoan-pertokoan yang padat. Saya memang sengaja memilih lokasi ini sebagai lokasi terakhir saya di Dubai karena di sini, saya bisa melihat bentuk lain Dubai, di luar gedung-gedung megah yang menjulang.

Dubai Museum

Dubai Museum dibangun di bekas benteng, berbentuk segi empat dengan menara di 3 sudutnya. Dibangun dari batuan berwarna cokelat, yang merupakan batuan khas bangunan di daerah Arab. Konon, bangunan ini didirikan tahun 1787 dan merupakan bangunan tertua yang masih tersisa di Dubai.

salah satu bagian dalam Museum Dubai

Untuk memasuki museum, hanya dikenakan biaya sebesar 5 AED.  Tak terlalu mahal, karena bagian dalam museum cukup menarik.  Di tengah museum terdapat courtyard besar yang berisi berbagai benda replika. Salah satunya replika rumah asli bangsa Arab.  Di basement juga terdapat patung-patung yang menggambarkan kehidupan sehari-hari bangsa Arab.

Tak jauh dari Dubai Museum terdapat Dubai Port. Pelabuhan lama ala Dubai. Sebenarnya ini tak ada dalam planning saya. Tapi salah seorang imigran asal Nigeria yang mengobrol dengan saya saat saya sedang ngaso di depan Museum merekomendasikannya. Katanya tempat itu punya perahu penyebrangan yang unik. Jelas saya jadi tertarik.

Sebenarnya penerbangan saya hanya tinggal 3 jam lagi, tapi saya nekat. Dengan setengah berlari penuh semangat 45, saya menuju pelabuhan lama Dubai yang ada di tepian Dubai Creek. Tak jauh sebenarnya, tapi saya mesti melewati semacam pasar yang berisi karpet-karpet, pashmina, dan beraneka ragam souvenir yang memikat mata. Ini yang susah. Apalagi, mas-mas penjaga yang kebanyakan genteng-ganteng itu kerap mencegat saya untuk membeli barang dagangannya.

Pasar ini sebenarnya juga sangat menarik. Seluruh gedungnya terbuat dari bahan yang sama dengan museum, warnanya cokelat dengan bentuk khas Timur Tengah. Sangat berbeda dengan gedung pencakar langit Dubai yang rata-rata berwarna putih. Tapi, sayangnya, saya terburu-buru sehingga tak sempat mengeksplor banyak hal di sini.

Setelah berlari-lari, saya sampai di tepian sungai Dubai. Di sana berderet perahu-perahu kayu kecil, yang di dalamnya terdapat dua bilah papan panjang. Rupanya, papan panjang itu adalah tempat duduk penunmpang. Tak berbeda dengan di Indonesia sebenarnya. Tapi jika di Indonesia para penumpang saling berhadapan, di sini para penumpang duduk saling membelakangi.

Begini perahu khas Dubai
Duduknya punggung-punggungan

Untuk menyebrang dengan perahu ini, hanya dikenakan biaya sebesar 1 dirham. Tak mahal, karena ini memang angkutan sehari-hari warga Dubai. Saya pun langsung melompat ke salah satu perahu, duduk dengan tenang, dan kemudian menyadari kalau saya satu-satunya wanita di sana. Ya, semuanya laki-laki!!

Perahu yang penuh laki-laki itu membawa saya ke seberang sungai. Saya sebenarnya tak tau saat itu saya berada di mana, yang jelas di kanan-kiri saya penuh dengan pertokoan padat. Saat melihat jam, saya panik; penerbangan tinggal 2,5 jam lagi. Alhasil, saya lari-lari lagi, mencari stasiun Metro terdekat. Capek karena ternyata lokasi metro tak sedekat yang saya kira. Lari terusss….

—–

Sayang, saya hanya punya waktu sebentar di Old Dubai ini. Padahal, ini tempat yang paling saya sukai di Dubai. Mungkin, suatu saat, saya akan kembali ke sini.

Comments

    1. Bisa kook…aku ke sana juga ga pake tur. Angkutan umum di sana juga enak dan gampang, dan rata2 petugasnya bisa bahasa inggris.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!