Myanmar Day 1: Meet Good People in Shwedagon Pagoda
Di tulisan sebelumnya, saya dan kawan saya diantar dari bandara untuk membeli tiket bus di Aung Mingular Bus Station. (Baca: Myanmar Day 1: From Airport to Mingalar Bus Station)
Seteleh tiket bus didapatkan, kami bertolak ke Shwedagon Pagoda, bersama supir taksi yang mengantar kami dari bandara. Setelah tawar menawar, dia memberikan harga 7.000 kyat untuk menuju ke sana. Karena tidak tahu kisaran harga, dan berhubung hujan mulai turun, kami pun langsung mengiyakan.
Pagoda yang tingginya 99m. |
Shwedagon Pagoda atau yang dikenal juga dengan nama Shwedagon Zedi Daw adalah pagoda terbesar dan tersuci di Yangon. Menurut kepercayaan masyarakat, pagoda ini sudah ada sejak 2600 tahun lalu, dan dibangun oleh dua orang bersaudara yang baru saja bertemu Budha Gautama. Namun menurut para arkeolog, pagoda ini kemungkinan dibangun sekitar abad 6-10 M.
Pagoda yang dijuluki sebagai Golden Pagoda ini pernah mengalami kerusakan hebat akibat gempa bumi yang terjadi di tahun 1768. Hampir seluruh Pagoda hancur, dan kemudian dibangun lagi hingga menyerupai sekarang ini.
Untuk mencapai pagoda, ada beberapa pintu masuk; eastern, southern, northern, dan western. Oleh pak supir, kami diturunkan di Northern. Padahal menurut beberapa sumber, pintu masuk yang paling bagus itu terletak di Eastern dan Southern, karena di sana terdapat street vendor alias pedagang jalanan.
Nah, untuk menuju ke Pagoda, kami ternyata harus melewati tangga yang cukup tinggi. Untungnya, di Northern Gate ini ada eskalator untuk naik. Ke-modern-an sudah mencapai Myanmar rupanya. Namun bukan itu saja unsurr modern di Pagoda ini. Sebelum pintu masuk, terdapat pemeriksaan menggunakan x-ray detector dan hand detector. Sepertinya, dari semua pengunjung yang dateng, cuma kami saja yang diperiksa. Maklum, di Myanmar sedang hangat-hangatnya isu soal konflik antar Islam dan Budha.
Eskalator menuju Pagoda |
Swedagon ini sangat menarik. Di pelataran Pagoda, banyak bangunan-bangunan menarik tempat umat Budha melakukan ritual. Kabarnya, Pagoda ini akan sangat menarik di sore dan malam hari. Tapi sayangnya, saat kami datang, hujan turun dengan derasnya sehingga kami terpaksa berteduh lama di salah satu bangunan.
Saat berteduh itulah, saya ditegur oleh seorang bernama Tun. Dia rupanya seorang guide, dan menawarkan jasa guide buat kami. Berhubung dana kami terbatas, saya menolak tawaran dia. Alih-laih pergi, dia malah mengajak saya ngobrol ngalor ngidul. Dia bertanyadarimana saya berasal. Setelah saya berkata saya dari Indonesia, dia bilang, ini pertama kalinya dia melihat orang Indonesia, berjilbab pula, di Pagoda itu.
Setelah ngobrol ngalor ngidul soal asal usul, hujan pun berhenti. Dia menawarkan untuk mengantar kami berkeliling. Lagi-lagi saya tolak. Bukannya menjauh, dia malah mengikuti kami. Saya yang mulai curiga dengan orang ini, berusaha menghindari dengan berbagai cara. Tapi dia selalu mengikuti kemana pun kaki saya melangkah, sambil menjelaskan segala hal yang ada di depan mata.
Saya masih curiga, sehingga saya sama sekali nggak menggubris penjelasan dia. Di otak saya yang ada hanyalah cara berusaha kabur dari dia. Akhirnya, saya beralasan, ingin keluar dari Pagoda untuk mencari tempat makan. Tun, yang sepertinya menyadari kecurigaan saya, akhirnya berkata. “I will show you the gate. Then I will meet my friend in other gate. I really want to visit your country. If I do someday, you must accompany me and explain everything, for free. Like I do right now.”
Huaaa…dia nggak minta bayaran. Dia bilang lagi, dia merasa beruntung bisa menjelaskan tentang negaranya ke saya, orang Indonesia berjilbab pertama yang dia temui. Tau gitu, saya nanya banyak-banyak, deh.
Info: Tiket masuk Pagoda $5 atau 5.000 kyat