Berburu Ilmu Ke Negeri Keju

“Kalau mau jadi arsitek sukses, belajarlah ke Belanda,” petuah Pak Iwan, seorang arsitek lulusan ITB yang sudah lama malang melintang di dunia desain bangunan.

Kalimat itu diucapkan ketika saya bertemu dengannya di Pengalengan, beberapa bulan setelah daerah tersebut dilanda gempa hebat. Saya saat sedang mewawancarai beliau, sehubungan dengan desain rumah tahan gempa yang sedang dikembangkannya.

“Kalau mau bukti, ayo ikut saya,” katanya lagi.  Ia lalu membawa saya menuju sebuah rumah, yang letaknya masih di derah Pengalengan. Dari pengamatan sekilas, saya tahu kalau rumah itu pastinya milik orang Belanda, atau paling tidak dulunya milik orang Belanda. Benar saja, ternyata rumah itu milik Mr. Boscha, tuan tanah asal Belanda yang namanya diabadikan sebagai observatorium bintang di Lembang.

“Lihat tuh, rumahnya masih tegak, sementara rumah lainnya luluh lantak kena gempa,” katanya lagi. Benar, rumah yang dikelilingi halaman luas itu berdiri dengan gagahnya. Padahal, gempa berkekuatan besar baru saja menimpanya.

“Belanda itu pintar. Mereka nggak sembarangan bangun rumah. Survey dulu kondisi lokal, baru bangun. Lihat ini, mereka sadar di sini rawan gempa. Itu sebabnya, mereka nggak pakai beton. Mereka pakai bambu sebagai struktur utama, baru ditutup dengan plester, ” jelas Pak Iwan sambil menunjuk ke sebuah dinding yang plesterannya sedikit terkoyak. Jelas terlihat, ada anyaman bambu di sana.

“Bambu itu gampang ditemuin di sekitar Pengelengan ini, jadi murah. Dan yang penting, sifatnya lendut. Jadi mudah menyesuaikan dengan gerakan tanah, termasuk gempa. Itu yang bikin rumah mereka tahan gempa”

Hmm..benar juga. Mereka memang memerhatikan betul kondisi Indonesia yang rawan gempa. Hebat, sedetail itu mereka memerhatikan sebuah bangunan

                      Rumah Boscha sumber: Ir. Iwan Darmasetiawan 

Saya jadi teringat bangunan SD saya dulu. Sebuah bangunan besar peninggalan Belanda. Pintunya besar, jendelanya juga besar, plafonnya tinggi. Bagian bawahnya dibuat dari batu kali, sementara bagian atasnya dari batu bata yang tebalnya sama dengan panjang kaki saya waktu SD dulu. Dulu saya pikir, alasan mereka membuat bangunan yang besar begitu karena tubuh mereka juga besar. Baru setelah kuliah, saya tahu alasan yang sebenarnya.

Semua bagian bangunan dirancang untuk menyesuaikan dengan iklim Indonesia yang lembap dan panas. Plafon yang tinggi (sekitar 4 m) berguna agar angin lebih mudah mengalir, sehingga bangunan terasa lebih dingin. Tembok yang tebal bukan karena mereka ingin bangunan yang kokoh, namun tujuannya untuk memperlambat proses masuknya panas matahari ke dalam bangunan. Pantas aja SD saya itu selalu terasa nyaman dan dingin.

Banjir? Belanda Ahlinya

Ngomong-ngomong soal ilmu desain ala Belanda, saya jadi terbayang percakapan saya dengan salah satu petinggi di perusahaan developer yang mengembangkan perumahan elite di Jakarta Utara. Kawasan miliknya ini rawan banjir karena terletak tak jauh dari area pantai. Mereka pun berguru ke negerinya Van De Broer. Di sana, mereka mempelajari sebuah sistem penangkal banjir yang dinamakan polder system.

Dari penjelasan yang dipaparkan si bos, polder system ini merupakan cara menangkal banjir yang menggunakan tanggul. Jadi, sekeliling perumahan dibuat tanggul untuk mencegah air laut masuk ke dalam area. Di tengah-tengah perumahan dibuat sebuah danau besar yang fungsinya menampung air  hujan ataupun air lainnya. Jika air danau ini sudah melampaui batas, maka air akan dipompa ke luar area, dan dibuang ke laut. Cara ini diterapkan sang pengembang, dan menurut mereka, hingga saat ini kawasannya selalu bebas banjir.

Cara ini diterapkan di Amsterdam sejak abad 17 karena ¼ bagian kota kanal ini terletak di bawah permukaan laut.  Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai. Nah, katanya, sebelum ditemukan pompa, kincir angin lah yang digunakan untuk memompa air dari satu polder ke polder yang tinggi. Itu sebabnya, banyak banget kincir angin di negeri ini.

                                  sumber: www.wikimedia.org

Hebatnya, di negara ini rencana penanganan banjir sudah ditetapkan pada level nasional, lalu provinsi, dan berkahir di kotapraja. Mereka membuat sebuah Badan Manajemen Air yang berperan khusus dalam perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air. Sebuah sistem menyeluruh, yang patut ditiru.

Konon Herman van Breen (ahli tata kota dari Belanda) ingin menerapkan system ini di Batavia dulu, tapi entah kenapa tidak behasil diwujudkan. Tapi kabarnya, dari koran Kompas yang saya baca entah kapan, pemerintah Jakarta akan menggunakan sistem  ini untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Mudah-mudahan saja..

Pak Iwan benar. Belanda memang tempat yang tepat untuk belajar bagaimana menjadi desainer yang baik, desainer yang mengerti betul tentang kotanya, desainer yang tahu bagaimana mesti memperlakukan alam. Di negeri oranye itu terdapat banyak universitas berbahasa Inggris yang mengajarkan ilmu desain, antara lain Technische Universiteit Delft, University of Groningen, dan Fontys University of Applied Sciences.

Yuk, berguru hingga ke negeri keju….. 

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!